Larangan Cawe-Cawe Dan Minta Jokowi Cuti Atau Turunkan Ramai-Ramai
Larangan Cawe-Cawe Dan Minta Jokowi Cuti Atau Turunkan Ramai-Ramai
Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum Mujahid 212,Koordinator TPUA )
Jakarta, 22 November 2023
Sebelum menyentuh diksi dan narasi “politik cawe – cawe” ada baiknya mengupas sejarah asal usul lahirnya “kebijakan politik cawe – cawe” atau intervensi yang dilatar belakangi seseorang yang menduduki kursi RI 1 lalu konstitusional memiliki kekuatan hukum yang disebut hak prerogatif.
Eksplisit secara hukum tidak dikenal bahkan tidak akan ditemukan didalam sistim konstitusi NRI yang didasari sistim presidensial terkait ketentuan atau pasal yang menyebut kata dan atau larangan “cawe – cawe”.
Ketentuan larangan politik cawe – cawe atau hak mengintervensi atau lebih tepatnya sikap diskriminatif justru akan ditemukan jika ditelusuri dari sisi terminologi bahasa ( etimologis ), kemudian memenuhi unsur pelanggaran hukum, jika dihubungkan dengan sebuah peristiwa kepentingan suksesi kepemimpinan nasional, dari seorang Jokowi selaku Presiden RI aktif terhadap praktik mempersiapkan agenda suksesi kepemimpinannya untuk bakal pengganti dirinya menjelang habis masa jabatannya.
Maka bila menjurus kearah hal yang demikian, maka sang presiden walau menjelang masa jabatannya berakhir, yang ditengarai kuat telah melakukan politik intervensi serta diskriminatif, maka tetap merupakan hal yang terlarang oleh sistim hukum, karena presiden merupakan pejabat penyelenggara pemerintahan negara atau pejabat eksekutif yang terikat oleh ketentuan sistim hukum yang berkewajiban berperilaku objektif, netralitas dan tidak diskrimnatif, dengan kata lain presiden mesti berada diatas semua kepentingan anak bangsa, sehingga wajib terbebas dari ikatan kelompok, agama dan primordial serta golongan tertentu atau bebas dari politik SARA.
Kewajiban dan atau segala larangan bersikap pro SARA tersebut tetap berlaku walau dalam rangka suksesi kepemimpinan nasional, ketika masa jabatannya, dalam hal ini 2 ( dua ) periode jabatan akan berakhir, yang ditengarai oleh sebab temuan hukum perilaku Jokowi selaku presiden telah melakukan intervensi politik kekuasaan atau praktik politik dinasti, metode politik yang melanggar sistim demokrasi dan sistim presidentil.
Ambisi politik “dinasti” Jokowi disalurkan dengan menggunakan pola preparing penggantinya kepada atau melalui figur anak kandungnya Gibran RR bin Joko Widodo, yang diinsert ( sisipkan ) sebagai kontestan cawapres di pemilu pilpres 2024 kepada kroninya capres Prabowo Subianto, sehingga perilaku politik cawe cawe Jokowi ini identik sebagai perbuatan inkonstitusional dengan pola nepotisme, oleh sebab Prabowo menjabat pembantu dalam kabinetnya sebagai pejabat Menhan.
Dari unsur biologis dan kepentingan keluarga serta kepentingan politik, tentu lumrah dan manusiawi, jika bakal terjadi kausalitas imbal balik political interests yang kini dikenal sebagai politik “cawe – cawe” namun hanya boleh terbatas hak prerogatif dan atau menentukan posisi para pejabat dikabinet sang presiden ataubpada posisi posisi tertentu, agar pelaksanaan kinerja sang presiden berhasil sesuai susunan agenda prioritas maupun rencana jangka panjang. Dan oleh sebab, realitas politik seorang presiden yang menjadi presiden hasil usungan oleh sebuah partai atau koalisi partai, walau dirinya sendiri sekalipun bukan anggota partai tertentu, maka dapat dipastikan ada deal – deal politik sebelumnya, paling tidak sesuatu yang halal oleh sebab hukum dengan tetap idealnya didasari objektifitas, profesinalitas dan proporsional, serta tidak menyimpang dari koridor hukum.
Contoh beberapa kursi kabinet sebagai “hadiah” akibat buah kemenangan politik bersama koalisi partai politik, sebatas imbal balik deal politik, jika merujuk Jo. UU. Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas UU. RI Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu Menjadi Undang – Undang dan sumber hukumnya yaitu UUD.1945 tidak didapati larangan.
Namun asas hukum lainnya, terkait cawe-cawe politik untuk melanjutkan periode kepemimpinan selanjutnya ketika masa tugasnya menjelang berakhir tentu sebagai presiden tetap berlaku larangan-larangan untuk tidak melewati batasan hak prerogatif serta tidak menyimpang dari rule of law atau sistim konstitusi.
Hukum yang melarang nepotisme terdapat dibeberapa undang – undang diantaranya adalah larangan bahkan disertai ancaman sanksi hukuman kurungan selama 12 tahun penjara berikut denda nominal rupiah bagi pejabat publik yang melanggarnya atau berlaku nepotisme tertera pada pasal 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara negara yang bersih bebas dari KKN, Jo. UU. Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Adminstrasi Pemerintahan, pada kedua sistim hukum ini, terdapat unsur-unsur atau asas-asas yang menjadi keharusan dan larangan bagi penyelenggara negara yang dikenal dengan istilah Good Governance, yang meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
Maka untuk mengantisipasi agar presiden Jokowi tidak terhanyut hal yang lumrah dan wajar dari sisi manusiawi karena faktor ikatan batin akibat fakta hukum adanya hubungan biologis antara dirinya dengan Gibran RR serta hubungan dirinya selaku presiden kepada Prabowo selaku bawahan, sehingga cenderung berdampak konflik interest serta melanggar sistem hukum.
Dan terpenting demi memaksa pemenuhan kewajiban presiden berlaku netral atau mengedepankan faktor indevendensi, DPR RI segera bersidang dan memutuskan agar presiden diberi kebebasan melakukan cawe-cawe politik, asalkan dengan sebelumnya mengajukan “cuti presiden” dengan diikuti atau dibarengi dengan dan atau melalui kepres atas persetujuan paripurna legislatif, sebagai keputusan diskresi bersama sebuah bentuk rule breaking ( terobosan hukum ) dalam ruang lingkup Hukum Adminstrasi Negara atau Hukum Tata Negara.
Selanjutnya Jokowi selaku Presiden RI digantikan sementara oleh wakil presiden Maruf Amin, sampai dengan berakhirnya pemilu pilpres dan penghitungan akhir suara diumumkan oleh KPU, lalu kembali aktif berfungsi sebagai presiden RI Sampai dengan berakhir masa jabatannya pada Bulan Oktober 2024.
Adapun landasan hukum meminta Jokowi cuti memiliki dasar bukti kuat hukum adanya perbuatan cawe-cawe atau faktor nepotisme dan kepentingan dengan adanya pernyataan Jokowi sendiri, “akan melakukan cawe – cawe” untuk melanjutkan pola kepemimpinannya yang amburadul dengan segala diskresi suka – suka dengan metode “fasisme mini atau machiavelisme van Java”, dan hal ini terbukti dengan bukti fakta hukum diberhentikannya Anwar Usman adik Iparnya selaku ketua Mahkamah Konstitusi/ MK oleh putusan MKMK perihal pelanggaran etik oleh Anwar Usman selaku Ketua MK yang merupakan adik ipar Jokowi yang memutuskan “Usia Gibran” yang dibawah 40 Tahun, dapat menjadi cawapres, sehingga putusannya sarat dengan nepotisme, Anwar Usman selaku Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dijadikan oleh Jokowi sebagai alat cawe – cawe politik, untuk memuluskan ambisi, atau nafsu syahwat politik dinasti-nya melalui praktik hukum yang melanggar kode etik hakim konstitusi Jo. melanggar Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan perlu diketahui Anwar Usman telah dilaporkan ke Penyidik Polri Polda Metro Jaya oleh publik melalui Tim Pembela Ulama & Aktivis atas perbuatan nepotisme terkait alasan hukum yang menjadi objek dan putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sehingga secara data empkrik Jo. lahirnya diskresi Jokowi Cuti yang kelak dikeluarkan oleh Jokowi atas persetujuan legislatif dengan ditindaklanjuti melalui Kepres Cuti Presiden, memiliki dasar dan kelengkapan historis hukum.
Pertanyaannya bagaimana bila Jokowi tidak mau cuti dirinya sebagai presiden ?
Maka atas semua perilaku Jokowi selaku Presiden RI Selama dirinya menjadi presiden RI selain terkait cawe-cawe, includ estimasi seratus lebih kebohongan atau dusta yang selama ini Ia lakukan kepada bangsa dan negara ini termasuk beberapa diskresi politik yang menyimpang dari sistim hukum, maka DPR RI dapat meminta Jokowi untuk menyatakan mengundurkan diri dari kursi RI.1 termasuk dihubungkan segala perilaku penyimpangan atau perilaku hukum jika merujuk Bab II TAP. MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa,
“siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara”.
Lalu bagaimana jika, Jokowi nyatanya tidak indahkan TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 tersebut?, Maka solutif DPR RI tegas menggunakan haknya untuk melakukan impeachment terhadap Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden RI. Berdasarkan UUD 1945 Jo. UU.RI Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD 3 .
Selanjutnya bagaimana justru DPR RI atas fenomena perilaku Jokowi yang banyak melanggar etika dan melanggar ketentuan konstitusi ini emoh atau menolak?, Maka Rakyat dapat menggunakan hak hukum sesuai pasal 28 UUD 1945 tentang kadaulatan ditangan rakyat dengan cara mendesak turun rame-rame baik Jokowi maupun semua para anggota DPR RI karena “vox populi vox dei” atau suara rakyat adalah suara tuhan, semata demi menyelamatkan rakyat dan bangsa ini dari ego politik dari proses sistim kedisnatian pola Jokowi serta para kroni yang melanggar Pancasila dan UUD 1945 sehingga “salus populi suprema ekstra esto atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”.