Kajian PolitikOpiniPolitik

Perspektif Strategi Politik Antisipatif Jokowi Tokoh Para Terpapar Korup Dijadikan Menteri

Perspektif Strategi Politik Antisipatif Jokowi Tokoh Para Terpapar Korup Dijadikan Menteri

Perspektif Strategi Politik Antisipatif Jokowi Tokoh Para Terpapar Korup Dijadikan Menteri

Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)

 

Pekalongan, 4 Januari 2024

( “Jokowi Kontemporer dan pemerintahan ” masa depan ” )

Terpapar korupsi, layak disematkan menjadi istilah oleh sebab adanya hubungan individu terhadap perilaku korupsi yang pernah ramai serta publish, sehingga sosok tokoh – tokoh sempat terserempet noda atas perbuatan kotor.

Oleh karenanya “diksi terpapar secara majas dimaknai kepada subjek hukum yang status dirinya merupakan tokoh publik ( public figure )” serta sosoknya oleh individu atau para individu maupun atas nama sebuah kelompok/ormas pernah dilaporkan sebagai pelaku delik korupsi atas dasar temuan publik atau atas dasar temuan penyidik, baik penyidik Polri, Penyidik Kejaksaan maupun penyidik KPK. Sehingga tokoh tersebut statusnya sedang dalam proses hukum oleh para penyidik, terkait kasus korupsi.

Indikasi, daripada sosok – sosok figur para terpapar korupsi, diantaranya adalah, pemilik nama yang cukup populer, yakni Tito Karnavian, saat dirinya menjabat Kapolda Metro Jaya, Tito tersangkut kasus yang dikenal oleh publik sebagai Catatan Buku Merah.

Namun ketika kasus tersebut dalam penyelidikan dan atau penyidikan KPK, tersiar publish gambar video hasil rekaman CCTV di gedung KPK. Isi video tersebut memperlihatkan atau menggambarkan terjadinya peristiwa ( kejahatan ) hukum, yang dilakukan oleh 2 ( dua ) orang penyidik KPK. yang nampak jelas telah merobek atau menghilangkan catatan penyidik KPK terkait kasus yang melibatkan Tito. Namun ternyata tehadap kedua orang yang merobek beberapa catatan milik KPK dimaksud, tidak pernah tersentuh hukum, bahkan infonya justru mendapat promosi jabatan oleh institusi Polri, yang saat itu Tito sudah menjabat sebagai Kapolri, dan dalam perkembangannya, setelah Tito pensiun dari jabatan Kapolri, justru dilantik menjadi Menteri Dalam Negeri di Kabinet Indonesia Maju, Periode Kedua Presiden Jokowi, untuk kurun waktu jabatan 2019 – 2024.

Begitu pula yang terjadi, terhadap sosok Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hassan/ Zulhas, Keduanya adalah pengusaha, juga selaku politikus, mereka terpapar korupsi dalam beberapa kasus, diantaranya sempat dilakukan penyidikan oleh KPK, Kejaksaan Agung maupun Polri, namun stagnan.

Kasus yang pernah memapar jatidiri Ketua Umum Golkar Airlangga adalah, terkait beberapa kasus temuan kepada dirinya dalam beberapa peristiwa korupsi yang menyangkut Kasus PLTU Riau, dan terpapar pemberitaan terkait korupsi penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) dan juga kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah ( crude oil palm / CPO ) dan turunannya, termasuk minyak goreng pada periode 2021-2022. Tapi alhasil lacur, Airlangga mendapat posisi Menko Ekonomi.

Sedangkan terhadap Zulhas, Ketua Umum Partai PAN. Ia pernah tersangkut beberapa perkara korupsi, diantaranya adalah kasus Zulhas kasus suap pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit di Riau pada 2014. Dan keterlibatan Zulhas yang diduga menitipkan calon mahasiswa di Universitas Lampung (Unila) serta memberikan sesuatu agar diluluskan. Namun justru buah jabatan didapatkan Zulhas sebagai Menteri perdagangan RI.

Maka tentu ada imbal jasa politik dari keduanya, Airlangga dan Zulhas terhadap Jokowi, selaku presiden, andai Jokowi membutuhkan sesuatu, mereka harus mendukungnya, atau sebaliknya ” lakukan pembelaan, tergantung situasi kebutuhan, sebagai kompensasi dalam bentuk ” transaksi politik kepentingan “.

Alhasil kemudian riil, Jokowi berhasil memanfaatkan eks seterunya, Prabowo Soebianto dalam dua kali pilpres ( 2014 & 2019 ). Prabowo pun digarap menjadi ” pembantu setianya ” di Kabinet Indonesia Maju, lalu Jokowi mengusung Prabowo menjadi bakal Capres di 2024.

Walau sempat terbentur masalah, oleh sebab Ketua MK. Anwar Usman, terbukti melanggar kode etik hakim, karena menjadi Ketua Majelis MK. yang objek perkaranya ditugaskan oleh Jokowi, ” mengacak – acak sistim hukum pemilu yang terdapat di dalam Undang – Undang No. 7 Tahun 2017. Demi hajat menggolkan batasan usia dibawah 40 Tahun dihapus atau direvisi, sehingga putra sulungnya Gibran, dapat menjadi wakil presiden, atau tepatnya berhubungan dengan isi putusan yang bakal mengesahkan pencalonan Gibran Raka Bumi, selaku keponakannya untuk menjadi Wakil Presiden dari Prabowo, namun setelah menggolkan hajat Jokowi, Anwar Usman sebagai semenda dalam garis pertama dengan Jokowi, karena terbentur faktor kode etik hakim, yang terdapat ketentuan berupa larangan mengadili, jika terdapat adanya hubungan semenda, maka antara Anwar selaku Ketua Majelis Hakim dengan Jokowi memang terkait hubungan materi perkara dan hasil putusan dengan Gibran sang bakal calon presiden, akhirnya secara beralaskan ketentuan Kode Etik Hakim, hasil persidangan ditemukan pelanggaran kode etik, lalu Anwar Usman pun menjadi ” korban konspirasi mafia politik “, ditandai dengan fakta hukum, putusan MKMK ( Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ). Anwar dieksekusi, diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan sebagai hakim di MK.

Inilah track dan hasil dari sebagian kebijakan rekayasa yang Jokowi lakoni, yang Ia representasikan melalui hak prerogatif berikut politik dan kekuasan yang dimiliki, sehingga Ia berani menerapkan berbagai gagasan dengan langkah diskresi, walau gagasan serta diskresi yang Ia praktikan tidak sesuai ketentuan yang berlaku, melainkan melalui logika terbalik, karena realitasnya, Jokowi mempercayakan jabatan menteri terhadap individu – individu yang memiliki historis hukum terpapar kasus korupsi, dan perlu digaris bawahi, logika terbalik yang diterapkan oleh Jokowi juga banyak yang bertentangan jiak merujuk pada prinsip good governance ( asas – asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik ).

Selain, tak kalah kontroversialnya, dari sisi pandang hukum, sepanjang Jokowi sebagai presiden, dirinya dikenal sebagai seorang yang berkepribadian buruk, karena hobi melakukan kebohongan publik, sehingga Ia punya julukan si Raja Bohong, bahkan estimasi publik, bohongnya Jokowi mencapai 100 X lebih, termasuk dugaan publik bahwa Jokowi menggunakan ijasah S.1 palsu, seolah alumni dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Kembali terhadap semua ulah negatif yang sering disuguhkan Jokowi, nyatanya DPR RI emoh menggunakan hak angket yang mereka miliki, untuk melakukan investigasi perihal benar atau tidaknya dugaan terjadinya perilaku yang mengandung unsur – unsur kebohongan yang dilakukan pejabat publik, dalam hal ini terkait hal kebohongan yang pernah disampaikan oleh Jokowi, yang dari sisi pandang yuridis, masuk pada kategori ” Menyampaikan Keterangan Bohong ” dan terbukti banyak membuat kegaduhan di masyarakat, diantaranya sampai – sampai ada individu – individu yang divonis penjara, lantaran menyampaikan Jokowi berijazah palsu dan ada juga kelompok masyarakat yang sudah mengajukan gugatan terhadap Jokowi, melalui lembaga peradilan dengan objek perkara ” Jokowi menggunakan ijasah palsu “, dan termasuk menjadi pemberitaan hampir sepanjang tahun selama Jokowi berkuasa, termasuk segala cemoohan diberbagai media sosial, satu diantaranya terkait janji – janji politik yang pernah Ia sampaikan, namun tak terealisasi, serta perkataan atau statemennya yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, termasuk ” tuduhan publik ” bahwa Jokowi menggunakan ijasah palsu.

DPR RI bergeming, dampak efek Jokowi melakukan diskresi hak prerogatif-nya yang anomali. Karena diantara para subjek hukum terpapar tersebut, note bene adalah Ketum Partai, yang lumayan signifikan perolehan kursinya di legislatif. Tentunya berawal dari rekan separtai yang mengusungnya, Ketua DPR RI ” anak dari pemilik partai tempat dirinya ‘ bertugas ‘ dan Capres No. 3 Ganjar Pranowo dalam kasus terpapar kasus E. KTP. mereka termasuk para sosok politisi yang sudah dikunci oleh Jokowi.

Maka, seiring waktu menyimak serta memperhatikan secara seksama tentang fenomena diskursus politik ( sepak terjang yang Jokowi lakukan), maka tentunya publik tidak perlu mempertanyakan lagi kenapa Jokowi melakukan diskresi prerogatif dengan gunakan pola anomali ? Jawabannya adalah karena para subjek hukum ” terpapar ” yang dirangkul tersebut, note bene adalah ketum, sehingga diharapkan berbuah politik transaksi, atau kompensasi imbal jasa, terhadap segala sepak terjang negatif Jokowi, baik semua kebohongan, dan ” praktik KKN ” yang Ia representasikan dihadapan seluruh anak negeri.

Maka apa yang terjadi, Justru Jokowi semakin menggila, menambah kuantitas produksi hoaks – nya. Bahkan, secara sadar Jokowi ingin mengangkangi UUD. 1945 sumber hukum yang amat sakral, dengan metode, Jokowi melakukan politik hukum pembiaran wacana oleh para menteri dan kroninya untuk supaya, Ia dapat menjabat presiden 3 periode, hal yang Ia lakukan dengan menggunakan metode pinjam tangan, diantaranya tangan dari 3 ( tiga ) orang menteri eks ” terpapar korupsi “, yakni Airlangga dan Zulhas, serta Tito. Selaku mendagri Tito juga turut memberi dukungan Jokowi 3 periode, namun nampaknya bersembunyi dibalik rasa simpati dari dukungan Apdesi ( Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia ) yang meminta Jokowi menjabat 3 periode, sambil Tito ” ber statemen, bahwa amandemen UUD 45 tidak tabu “, yang seharusnya Tito yang paham hukum, justru seharusnya melarang gagasan atau desakan Apdesi, Jokowi 3 periode, oleh sebab melanggar konstitusi yang berlaku positif ( melanggar ketentuan dan norma hukum ) serta amandemen UUD. 45 harus melalui MPR. RI. Bukan melalui sekedar usulan Para Menteri dan usulan sekedar dari APDESI

Justru dukungan Jokowi 3 periode pun terus berlanjut termasuk sebelumnya sudah datang dari Bahlil, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, kemudian berlanjut dukungan dari LBP disertai pernyataan bohong LBP. bahwa, ” dirinya memiliki big data 110 juta rakyat, yang menginginkan pemilu ditunda ” lalu statemen LBP. ini menimbulkan kegaduhan yang luar biasa, antara lain gedung Pos Pol dibakar oleh massa, korban eigenrichting ( Penganiayaan plus ” pembugilan ” terhadap Dr. ade Armando ) serta tewasnya seorang anggota Polri di Kendari saat mengamankan demo mahasiswa yang menolak Jokowi 3 periode, disusul kemudian mengalir dukungan Jokowi 3 periode dari para kroninya di badan legislatif, yaitu Ketua MPR RI. Bambang Soesatyo, yang juga petinggi Partai Golkar, termasuk dukungan dari A. Mattaliti, Ketua DPD RI.

Akhirnya, manufer politik tak tahu diri ” ala Jokowi ” pola amoral, untuk menjadi presiden 3 kali, terhenti di- barrier oleh Megawati, ” pemilik partai ” dimana Jokowi bertugas.

Selanjutnya apa yang terjadi, Jokowi sakit hati, lalu Jokowi mainkan ” dirty politics, ” politik kotor yang tidak peduli konstitusi dan tidak peduli sosok Megawati, yang sudah mencalonkan Ganjar sebagai Capres, Jokowi banting stir, Jokowi memberikan dukungannya kepada Prabowo sebagai Capres dan inkonstitusi menjadikan Gibran selaku Cawapres Prabowo, lalu berbarengan Jokowi dengan kekuasaannya ” menjadikan Kaesang sebagai Ketum PSI. Partai Sosialis Indonesia, yang justru menjadi pesaing PDIP. partai yang membesarkan dirinya dan mengusung dirinya menjadi presiden dua periode. Namun Megawati tokoh piawai dalam urusan politik, yang sudah kenyang makan asam garam, malang melintang di dunia politik, nyata tidak berkutik, mungkinkah karena pernah terperangkap opzet ? Dalam hubungannya Mega dengan pelarian Harun Masiku ? Sehingga akhirnya, Hasto Sang Sekjen PDIP pun hanya berani teriak dari luar pagar. Bahkan Jokowi berani berkampanye untuk kebesaran Partai PSI Pimpinan Adik Kandung Gibran, Sang Bakal Wapres dari Bakal Capres Prabowo. Lalu hubungan simbiosis mutualisme dengan Megawati dan senioren partai PDIP selama hampir 9 tahun pun justru berbalik, dari kemesraan dengan status sekutu dari partai kepada petugas partai, sementara kini praktis menjadi seteru, and ” maybe “, now it’s over alias the end.

Walau Gibran dalam posisi cawapres atas dirinya terjerat implikasi hukum karena tentunya ada kausalitas hukum atau akibat hukum daripada Anwar Usman nyata telah diberhentikan dari jabatannya selaku Ketua MK dan sebagai hakim MK. Namun fakta hukumnya Gibran semakin gagah, ” bocah matang hasil karbitan MK ” ini tetap melaju menjadi Cawapres 02 dan jumawa melangsungkan debat cawapres pada 22 Desember 2023. Dan Gibran terus melakukan pelanggaran pemilu, namun lolos daripada sanksi hukuman KPU. Maupun oleh Bawaslu.

Politik kotor ( dirty politics ) Jokowi semakin brutal, ( dirty and brutal politics ). Dirinya terang – terangan cawe – cawe ikut campur politik terhadap Prabowo dan Gibran, Ia menolong KPU selaku penyelenggara pemilu 2024 yang opzet, melakukan kecurangan dengan pola menyelenggarakan Pemilu di Taipei (Taiwan) pada Desember 2023, sebelum agenda resmi pemilu mendatang pada Februari 2024.

Jokowi hanya cukup mengklarifikasi secara sederhana dihadapan publik, pada sebuah acara, bahwa pengiriman kerta pemilu sengaja didahulukan oleh KPU dengan alasan , ” karena ada libur panjang tahun baru, ” tanpa menjawab fokus substantif pelanggaran hukumnya, mengapa pemilu di Taipei didahulukan ? ”

Maka kejahatan politik Jokowi semakin kompleks, merata di semua lini, dari pembiaran atau tidak melaksanakan kewajiban cawe – cawe atas kematian 894 petugas KPPS pada Pemilu Pilpres 2019, acuh, atau tak peduli atas korban kematian 9 orang meninggal terkait aksi demo ke MK dan terkait Perihal KPU. Curang, serta acuh terhadap korban unlawful killing 6 Pengawal Imam Besar Negeri Indonesia, Dr. Habib Rizieq Shihab di Km. 50 tol Cikampek, termasuk perilaku kriminalisasi ulama dan aktivis, selain tentunya seratus lebih kebohongan, dan tidak apriori, sampai saat ini, faktor kebohongan – kebohongan tersebut ” masih terus diproduksi ” oleh Jokowi.

Namun kausalitas daripada sepak terjang Jokowi yang terus berlangsung dan berkelanjutan secara ” porno ” dan inkonstitusional serta brutal ?

Sehingga jika publik memperhatikan fenomena politik Jokowi yang menjadikan Prabowo, Menhan RI. Tentu ini ide yang bukan dari Megawati, ini ide dari Jokowi, identik dengan teori politik ” pemanfaatan lawan menjadi kawan “, maka Jokowi pun memanfaatkan Prabowo sama.persis dengan para terpapar lainnya, bahkan sosok dari sisi ” terpapar ” prabowo lebih dahsyat lagi, biografi track record sosok Prabowo justru lebih menyeramkan, dan umumnya publik sudah mengetahui ( notoire feiten notorius ) tentang jati dirinya, terlebih beberapa orang eks petinggi militer / ABRI saat itu, sudah gamblang menyiarkannya, baik secara resmi maupun non formal, diantaranya narasi terkait biografi Prabowo telah dipublis oleh Agum Gumelar dan Wiranto, dan Jokowi kini sudah berangsur – angsur menggeser sisi gelapnya Prabowo, justru melalui sosok Agum dan Wiranto bahkan SBY yang kini berbalik 180 derajat, mereka mirip anak kelinci kepada induknya, mengintil, mereka bertekuk lutut dibuat Jokowi, terbukti, mereka aklamasi mendukung Prabowo, walau dulunya alergi ( berseteru ). Namun kini oleh karena berlatar pandangan politik yang sama, yakni menolak kemenangan atau kekuasaan dengan jas politik identitas yang dituduhkan kepada Capres Nomor 01 Anies Baswedan, maka mereka eks petinggi TNI koor, kompak dengan Prabowo eks anggota TNI / Kopassus yang mereka rekomendasikan diberhentikan dari dinas militer saat itu, melalui putusan DKP/ Dewan Kehormatan Perwira, dan catatan pentingnya adalah, bahwa mereka justru merupkan bagian dari anggota DKP yang memeriksa dan menyidangkan Prabowo, hingga melahirkan rekomendasi pemecatan Prabowo kepada Presiden Habibie pada tahun 1998, saat itu.

Maka fenomena dan dinamika saat ini, dengan ditinggalkannya Megawati oleh Jokowi secara terang – terangan sonder permisi, bahkan sebaliknya mencabik, namun yang patut tergambar dibenak publik adalah, Jokowi telah dan akan terus melakukan teori politik menggunakan segala cara ( machiavelisme ) terutama target prirotas, yaktu agenda Prabowo dan Putranya Gibran Bin Joko Widodo wajib menang dalam kontestan pilpres 2024, ” walau berapapun jumlah konstituennya “, walau tak mencukupi kemenangan? .

Namun apa yang akan terjadi, apakah Megawati dan fanatisme wong cilik serta Anies dan para pemilihnya yang sudah panas hati, inginkan segera lahir perubahan sistim hukum, ekonomi dan politik dari era Rezim Jokowi yang suka – suka, namun akan kah rakyat tetap pasrah dan ikhlas terhadap berbagai kecurangan yang terjadi ? apakah justru bakal melahirkan revolusi sosial, dengan pola turun rame – rame atau rakyat melakukan people power, sesuai hak konstitusional serta hak hidup demokrasi atau rakyat berdaulat, maka ketika publik mendapatkan temuan pada pilpres bulan depan Februari 2024 kecurangan yang amat fantastis luar biasa dengan pola berbagai pola kecurangan yang SMT ( Struktural , Terorganisir dan sistimatis ) dengan berbasis fakta hukum, inklud data dan bukti, apakah rakyat yang merasa dikebiri hak haknya dengan gerakan perlawanan rakyat subtantif sama dengan vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara tuhan. Dan pelaksanaan perlawanan semata berdasar kesadaran serta niat luhur yakni amar makruf nahi munkar atau implemèntasi melawan segala kedzoliman, selain demi melindungi kepentingan rakyat dan hukum itu sendiri sesuai filosofis Yunani ” Salus populi suprema lex esto, bahwa, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi “.

Lalu jika analisa narasi hukum dan politik kontemporer akumulatif ( semua peristiwa anomali ), maka tidak mustahil akhirnya menciptakan gejolak rakyat bangsa berupa pola Turun Rame – Rame istilah khas penulis artikel ” ( author ) “, atau bisa saja terjadi People Power istilah yang sering dikumandangkan oleh senioren aktivis muslim Eggi Sudjana atau Revolusi Sosial, istilah umum menurut etimologi merujuk terminologi politik, yakni peristiwa politik yang faktual banyak terjadi di dunia internasional, termasuk pernah terjadi di Negara Indonesia pada era orde lama, orde baru maupun pada masa reformasi ini.

Namun terhadap Jokowi yang ” abnormal attitude “, serta preseden melakukan kecurangan melalui banyak kebohongan publik, sehingga Ia banyak mendapat gelar yang merendahkan martabat dirinya selaku Presiden RI. Diantaranya Mr. King of Big Liar versi Dr. Amin Rais. Dan King Of Lip Service dari kelompok Mahasiswa UI.

Lalu apakah Jokowi dan para kroninya tidak memprediksi akan adanya revolusi sosial akibat dampak berbagai kumulasi kecurangan yang selama ini telah terjadi dan sedang Ia lakukan ?

Jawabnya tentu saja Jokowi dan kroni menyadari, sewaktu – waktu akan terjadi implikasi politik curang yang banyak mereka lakukan.

Lalu metode antisipatif apa yang akan digunakan Jokowi untuk meredam terhadap prediktif dimaksud ? Jika lahir gejala – gejala gejolak sosial dan politik yang bakal muncul baik dampak ringan ( sekedar demo – demo ) maupun turbulensi politik yang high level, dalam bentuk chaotic tingkat tinggi. Terlebih dan mengingat di pilpres 2024 target pencapaian politik Jokowi demi tentunya kemenangan pembantu setianya Prabowo, selaku Capres dan ” kloningan ” karakter anak biologisnya Gibran, harus duduk di kursi RI.1 dan RI.2. Selain sebagai ” representatif ( obsesi ) dirinya yang kandas oleh Megawati, untuk menjabat 3 periode secara inkonstitusional.

Maka dihubungkan dengan hasil Pemilu Pilpres 2024 serta situasi ( kondisional ) tentu saja publik harus memiliki pondasi gambaran karakter Jokowi secara semilogi, terkait tipikal atau model kepribadian Jokowi dengan gejala – gejala ” genuine ” leadership, dilengkapi julukan cukup subtansial ” Mr. big liar “.

Maka mengingat serta berkaca dengan karakteristik kepemimpinan model Jokowi sesuai data empirik, tidak tertutup kemungkinan, Solutif, Beliau akan menggunakan beberapa diskresi dengan model kebijakan yang kesemuanya cukup radikalis dan ekstrem, yang misi-nya adalah semata – mata keselamatan pribadi, keluarga dan kroni serta kepentingan oligarki.

Beberapa opsi diskresi Jokowi, kemungkinan besar diantaranya adalah :

1. Jika ternyata target prioritas kemenangan Capres 02 gagal, bisa jadi, Jokowi menyatakan mundur sebagai Presiden RI. sepaket dengan Wapres Ma’ruf Amin, maka otomatis negara menggunakan asas triumvirat, kepemimpin pemerintahan RI yang dikendalikan oleh Menhan, Mendagri serta Menlu. Selanjutnya ? Otoritarian – kah ?

2. Jika Capres 02 memperoleh kemenangan melalui pemilu Pilpres, namun ditengarai oleh publik berdasarkan data dan fakta hukum, pemilu pilpres mengandung berbagai unsur kecurangan atau kemenangan diraih berdasarkan putusan MK. Lalu jika berakibat chaotic yang luar biasa, maka opsi yang akan ditempuh Jokowi, adalah mengambil langkah antisipatif demi proteksi pribadi serta kroni ( oligarkis ), alternatifnya adalah ;

3. Dengan alasan sekena – kenanya ( ala.suka – suka ) Jokowi menetapkan negara dalam kondisi darurat sipil.

4. Atau opsi terkahir, Jokowi merekayasa situasi , ” kemudian tak terkendali” sehingga tercipta kondisi darurat militer, dengan pola penyelamatan terhadap bangsa dan negara, lalu negara dalam keadaan darurat, sehingga tercipta kondisi martial law ( darurat militer ), dengan prinsip menuju rekonsiliasi nasional dan substantif diantaranya, lupakan semua kekeliruan serta kesalahan pemerintahan masa lampau , masa era rezim Jokowi secara totalitas menuju masa depan, masa yang bisa semakin rumit ;

5. Sebaliknya, Jokowi semakin menemukan jalan mulus akibat kelemahan kelompok ” oposan ” masyarakat bangsa ini yang kontra kepemipinan dirinya atau yang mengaku oposan, namun kalah, terbukti Jokowi terus berlanjut berkuasa hingga saat ini dengan “segudang kelucuannya “, publik nalar sehat justru logis atau wajar berprediksi bahwa peluang besar untuk kemenangan Jokowi ( 02 ) untuk tiga periode, dengan segala keberanian seorang Jokowi miliki, yang gunakan rumus, ” wajib ” usungannya menang dengan segala cara ( radikal dan ekstrim ) dan serta merta memanfaatkan fasilitas kekuasaanya yang amat besar serta tunggangi kelemahan oposan, !
akhirnya tentu logis juga jika ada pihak yang nenyatakan, bahwa kontes capres 2024 menjadikan Jokowi tidak berakhir masa jabatannya pada oktober 2024, justru merupakan awal mula kepemimpinan Jokowi di negeri ini, sejak saat pelantikan Capres yang awalnya punya nomor 02, Jokowi justru menjadi sosok pemimpin nomor 1 pada babak keduanya, setelah dua periode jabatan presidennya pertama berakhir.

Maka jawaban tuk meraih sistim perubahan, adalah super radikal melakukan perlawanan, sehingga ” Pemilu 2024 tanpa Jokowi “, sehingga pemilu pilpres Jurdil dan Luber.

Maka one ticket namun lengkap ( one complete ticket package ) demi raih kemenangan, yaitu radikal menjaga kemenangan, melebihi keradikalan dan ekstrim-nya Joko Wiedodo, tidak lagi gunakan kata mubazir” oposan ” mulai saat ini, jika sekedar lips service, kecuali wajib serius ” memerangi kemungkaran walau langit runtuh ” atau fiat justicia ruat caelum.

Jika tidak, maka tunggu saja, pesta semakin panjang, dikarenakan prinsip diam atau pembiaran, ” karena toh cukup berguru dengan hujan, yang pasti turun tanpa diupayakan turun “, cukup tunggu musim kemarau panjang pasti berlalu atau walau ” bagaimana pun panasnya cuaca, kemarau pasti usai !? “

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button