KIPP : Pilkada 2024, “Kedaulatan Rakyat” Tidak Hanya Menjadi Slogan Dan Semakin Jauh Dari Pemaknaan
KIPP : Pilkada 2024, “Kedaulatan Rakyat” Tidak Hanya Menjadi Slogan Dan Semakin Jauh Dari Pemaknaan
Jakarta , 7 Agustus 2024
Penyelenggaraan Pilkada 2024 serentak di seluruh Indonesia yang akan dilaksanakan November 2024 mulai membuat suhu politik di berbagai daerah kembali menghangat. Persiapan-persiapan pun dilakukan baik oleh penyelenggara pemilu,partai-partai politik, maupun para calon kepala daerah yang berniat mendaftarkan diri mengikuti ajang kontestasi demokrasi tingkat lokal tersebut.
Tentu kita menginginkan penyelenggara Pilkada sebagai sarana seleksi para pemimpin daerah terlaksana dengan demokratis, bersih, dan jauh dari tindakan-tindakan kecurangan, sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bersih, berkualitas, dan dapat diandalkan untuk membuat makmur rakyat di daerahnya masing-masing.
Oleh karenanya, pengawalan masyarakat sipil terhadap sirkulasi kekuasaan politik merupakan sebuah keniscayaan bagi kewarasan demokrasi di negeri ini. Terpaan gelombang perusakan demokrasi yang terjadi pada pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi titik balik bagi masyarakat sipil untuk memperkuat kembali konsolidasi demokrasi yang diidamkan.
Ikhtiar tersebut menjadi sebuah urgensitas utama agar nilai dari “kedaulatan rakyat” tidak hanya menjadi slogan dan semakin jauh dari pemaknaan.
Tragedi pengalaman penyelenggaraan pemilu 2024 lalu yang ramai pelanggaran dan penyimpangan pemilu harus menjadi pelajaran semua pihak untuk mencegah hal tersebut kembali terjadi di Pilkada 2024 ini. Satu dari berbagai pelanggaran pemilu 2024 yang paling massif dan fatal adalah penggunaan birokrasi dan pengerahan aparatur negara sebagai alat pemenangan pemilu.
Tidak heran jika birokrasi dan ASN menjadi fokus yang paling disorot publik karena pelanggaran netralitas ASN merupakan biang pelanggaran yang dampaknya paling massif, destruktif dan paralel dengan pelanggaran lain seperti mobilisasi kepala desa, “money politics”, manipulasi suara pemilih dan
lain-lain.
Terkait hal tersebut,Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyampaikan beberapa poin terkait pelanggaran netralitas ASN dan pengerahan birokrasi.
Pertama, saat ini terdapat 273 Penjabat kepala daerah yang terdiri dari 28 orang Pj Gubernur, 189 orang Pj Bupati, dan 56 orang Pj Walikota. Menurut Kemendagri sekitar 40 orang Pj kepala daerah telah memberikan pernyataan permohonan pengunduran diri karena mereka ikut Pilkada 2024. Di berbagai daerah juga banyak mutasi jabatan di lingkungan pemerintahannya yang kemudian dibatalkan Kemendagri melalui Surat bernomor: 100.2.1.3/1575/SJ. Alasan Kemendagri membatalkan mutasi jabatan di lingkungan pemda tersebut karena berpotensi melanggar UU Pilkada yang melarang kepala daerah melakukan mutasi jabatan 6 (enam) bulan sebelum penetapan paslon di penyelenggaraan
Pilkada 2024.
Sementara di lingkungan TNI/Polri, sebanyak 256 Pati (Perwira Tinggi) TNI yang terdiri dari, 156 Pati TNI AD, 52 Pati TNI AL, dan 48 Pati TNI AU telah dimutasi dan mendapat promosi jabatan.
Untuk lingkungan Polri, Kapolri telah memutasi 6 (enam) Kapolda.
Banyaknya Pj kepala daerah yang mengikuti Pilkada dan diikuti mutasi jabatan serta promosi, dan rotasi
jabatan di linkungan TNI/Polri merupakan indikator kerawanan penyalahgunaan birokrasi dan
pengerahan aparatur kepala negara sebagai alat pemenangan Pilkada, sebagaimana marak ditemukan pada Pemilu 2024, ungkap Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pada pers release sebagaimana yang diterima redaksi persuasi.id pada hari ini Rabu (7/8/2024)
Yang kedua ,Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) dituntut untuk netral atau tidak berpihak dalam penyelenggaraan pemilu. Seorang ASN apapun jenisnya diwajibkan “diam” dan netral! Mereka terikat oleh Peraturan Perundang-Undangan yang dengan tegas mewajibkan ASN untuk berpegang teguh pada asas netralitas dan dilarang terpengaruh oleh intervensi politik manapun. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 2 huruf f,mewajibkan penyelenggaraan dan manajemen ASN harus tunduk pada “Asas Netralitas”.
Poin ketiga, dalam kegiatan kampanye, larangan bagi pejabat negara, ASN, anggota TNI/Polri, Perangkat Desa, dan Kepala Desa diatur dalam pasal pasal 70 ayat (1) UU Pilkada. Jika pasal tersebut dilanggar, maka sanksinya adalah pidana. Di sisi lain dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan
anggaran pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 68 huruf h UU Pilkada.Dan jika dilanggar sanksinya pidana pula.
Sementara untuk aparatur desa dan kepala desa berlaku juga Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa yang mengatur larangan ikut dalam kegiatan pemilu. Sementara untuk anggota TNI berlaku Undang-Undang Nomor 34/2004 Tentang TNI, dan untuk anggota Polri berlaku Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian NRI.
lalu pada poin keempat KIPP mengatakan, dalam pelaksanaan pilkada pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara,anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa dilarang membuat keputusan atau tindakan yang dapat
menguntungkan salah satu paslon sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU Pilkada.
Selanjutnya, larangan mutasi jabatan oleh Kepala daerah/PJ selama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sebagaimana diatur oleh Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada juga turut menjadi hal yang krusial untuk dipantau. Kendatipun pelaksanaan mutasi yang dilakukan oleh PJ Kepala Daerah sudah mendapatkan izin dari Kemendagri, hal ini patut dipertanyakan, sebab belakangan ini begitu marak terjadi mutasi di beberapa daerah yang dapat disalahgunakan untuk memenangkan kandidat tertentu dan berpotensi timbulnya ketidaknetralan yang dilakukan oleh ASN.
Lalu yang Kelima, sehubungan dengan poin keempat, adapun yang menjadi titik krusial lain adalah implementasi
tindak lanjut pelanggaran administrasinya. Dalam Pilkada Serentak 2020 terdapat sebanyak 1.532 dugaan pelanggaran administrasi pilkada yang ditangani Bawaslu. 9 diantaranya, Bawaslu menemukan penyelewengan wewenang dengan rekomendasi sanksi berupa pembatalan pasangan calon petahana. Dari 9 rekomendasi, 7 tidak ditindaklanjuti oleh KPU dan 2 sisanya ditindaklanjuti dengan pembatalan Paslon.
Dalam hal ini, pantauan KIPP menemukan bahwa terdapat disparitas antara rekomendasi Bawaslu dengan keputusan KPU Kabupaten/Kota dalam menangani pelanggaran admistrasi dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran dua institusi tersebut dalam menafsirkan unsur-unsur norma dalam kasus konkret, khususnya pada ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada. Pada beberapa
kasus, norma Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada dimaknai jajaran Bawaslu sebagai delik formil, sedangkan
jajaran KPU memahaminya sebagai delik materil. Di satu sisi UU Pilkada mewajibkan KPU sesuai tingkatan untuk menindaklanjuti rekomendasi pengawas pemilu, namun di sisi lain UU juga memberikan wewenang kepada KPU sesuai tingkatannya untuk melakukan pemeriksaan kembali terhadap rekomendasi pelanggaran administrasi yang disampaikan Bawaslu.
Beberapa poin krusial telah dipaparkan di atas terkait kerawanan pelanggaran ASN, KIPP Indonesia telah mempersiapkan langkah strategis pemantauan (monitoring) Pilkada. Setidaknya terdapat 22 Provinsi KIPP Daerah yang akan melakukan kegiatan pemantauan. Dan salah satu objek
krusial dan menjadi sorotan Kami adalah pelanggaran netralitas ASN, TNI, dan POLRI, bunyi point keenam KIPP tersebut.
Point terakhir pada release yang disampaikan oleh Brahma Aryana
selaku Divisi Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu, meminta, Pemerintah pusat melalui Presiden, Kemendagri, Panglima TNI, dan Kapolri harus memberikan perhatian menertibkan jajarannya untuk menjaga netralitas selama pelaksanaan pilkada berlangsung.
Bawaslu RI dan jajarannya sebagai pengawas pemilu resmi di daerah-daerah untuk tidak main-main dan tidak takut menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan netralitas ASN, Pejabat Negara, dan TNI/Polri. Bawaslu RI harus aktif dan tidak pasif seperti pemilu 2024 lalu. Segala kegarangan Bawaslu dan jajarannya yang gencar saat ini sebelum pilkada dimulai harus dibuktikan kepada rakyat, sehingga sebagai lembaga pengawas pemilu tidak hanya formalitas semata.