Skenario Zionisme Dalam Migrasi Yahudi Diaspora Dan Perampokan Tanah Palestina
Skenario Zionisme Dalam Migrasi Yahudi Diaspora Dan Perampokan Tanah Palestina
Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H (Ahli Hukum & Pemerhati Zionisme)
“Tanpa adanya Zionisme tidak mungkin ada kekuatan bangsa Yahudi yang berdiaspora itu. Tanpa adanya Inggris tidak mungkin Zionisme mendapatkan tanah di bumi Palestina guna kepentingan migrasi Yahudi. Tanpa adanya migrasi Yahudi untuk mendiami Palestina tidak mungkin pula ada negara Israel.”
Pada tanggal 14 Mei 1948, David Ben Gurion Perdana Menteri Israel pertama, mendeklarasikan kemerdekaan negara Israel di Museum Kota Tel Aviv. Ben Gurion menyatakan bahwa negara Israel akan terbuka untuk imigrasi seluruh Yahudi dunia. Pada saat itu, populasi Yahudi di Palestina hanya sekitar 600.000 jiwa. Suatu angka yang sangat sedikit sebagai syarat adanya rakyat dalam suatu negara. Jumlah populasi Yahudi itu relatif sama dengan penduduk Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat saat ini.
Pendirian Israel di tanah Palestina bukan didasarkan atas perjuangan melawan kolonial guna mempertahankan tanah air. Dengan kata lain berdirinya negara Israel bukan karena keberhasilannya berperang melawan penjajah. Tegasnya negara Israel itu merupakan hasil perampokan melalui rekayasa Barat, utamanya Inggris. Kaum Zionisme melakukan pengusiran dan teror terhadap ras Arab Palestina yang menempati wilayah Palestina demikian lama. Sudah lebih dari 14 abad, semenjak Khalifah Umar bin Khattab RA pada tahun 637 Masehi menaklukan bangsa Romawi atas kekuasaannya di Palestina.
Pengusiran dilakukan melalui suatu kelompok ekstrim salah satunya Haganah. Kelompok teroris ini bertugas melakukan serangkaian aksi teror dan pembunuhan terhadap orang-orang Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan tanah airnya. Haganah adalah organisasi paramiliter Yahudi di wilayah Palestina ketika masih menjadi wilayah mandat Britania Raya sejak tahun 1920 hingga tahun 1948. Diketahui lebih dari 30.000 Yahudi di Palestina menjadi tentara Britania.
Pada awalnya, kaum Yahudi di Eropa belum memperlihatkan adanya kegiatan-kegiatan politik dalam program migrasi ke Palestina. Palestina memang selalu diingat dalam konteks religius, namun tidak ada tendensi politik. Pada zaman Renaisans itu, umat Yahudi tidak menghendaki adanya sebuah negara bagi mereka. Seiring dengan berkembangnya zaman, kaum Yahudi yang berdiaspora itu melihat gerakan pembaruan yang mengusung gagasan nasionalisme telah membentuk perkembangan masyarakat di Eropa. Kondisi demikian memengaruhi pemikiran tokoh Yahudi Moses Hess yang menggeser pandangan lama yang religius itu.
Hess merupakan seorang filsuf dengan pola pikir Hegel, dia juga pendiri Zionisme Buruh. Menurutnya, paham “nasionalisme Yahudi” harus dibangun sebagai upaya eksistensi kaum Yahudi. Dia kemudian mempropagandakan idenya tentang kebangkitan tanah air Yahudi di Palestina. Gagasan nasionalisme Yahudi inilah yang kemudian membentuk ideologi Zionis pada masa berikutnya. Zionisme juga memunculkan istilah “The Promised Land” yang menunjuk Tanah Palestina sebagaimana klaim mereka atas tanah dijanjikan Tuhan untuk umat Yahudi. Hal ini juga menjadi latar belakang terwujudnya gelombang migrasi ke Palestina.
Setelah kematiannya tahun 1875, kaum Yahudi membentuk Gerakan Hibbat Zion (Cinta Zion) di Rusia pada tahun 1882. Hibbat Zion memiliki agenda mewujudkan kebangkitan nasional bangsa Yahudi dan sekaligus mendirikan negara di Palestina. Pada tahun 1884 diadakan konferensi pertama Hibbat Zion (Konferensi Kattowitz) dengan tujuannya menyatukan semua lembaga Zionis. Penyatuan itu merupakan tindak lanjut gagasan Moses Hess tentang nasionalisme Yahudi. Pada konferensi kedua Hibbat Zion tahun 1887, gerakan ini berubah menjadi Hoveve Zion.
Hoveve Zion memang menginginkan terwujudnya pemukiman Yahudi di Palestina dan kelompok ini senantiasa membantu para imigran Yahudi memasuki Palestina. Pada musim semi tahun 1882 sejumlah pemukim Yahudi berhasil mencapai Palestina.
Kemudian Hibbat Zion bergabung dengan Organisasi Zionis Internasional di bawah kepemimpinan Theodor Herzl. Dapat dikatakan Konferensi Zionisme Internasional pertama di Bazel Swiss pada tahun 1897 yang melahirkan Zionis Internasional itu mewarisi gagasan nasionalisme Yahudi. Gagasan tersebut tidak pernah muncul saat berkumpulnya tokoh Yahudi dalam pembentukan Illuminati pada tanggal 1 Mei 1776. Boleh dibilang teori-teori sosialis Moses Hess tentang perjuangan rasial, diadopsi oleh gerakan Zionis berikutnya sebagai tindakan rasialis terhadap bangsa Arab Palestina.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa gelombang kedatangan Yahudi ke Palestina sudah dilakukan sebelum Inggris menyatakan dukungannya terhadap Zionis Yahudi untuk mendirikan “rumah nasional” di Palestina. Jadi Deklarasi Balfour yang menjadi dasar pendirian negara Israel adalah kelanjutan dari gelombang migrasi sebelumnya guna membentuk nasionalisme bangsa Yahudi (nation state). Demikian itu terhubung dengan Deklarasi Balfour, yang menyebutkan “Pemerintah Yang Mulia memandang baik pendirian sebuah ‘rumah nasional’ bagi bangsa Yahudi di Palestina.”
Sejatinya, Deklarasi Balfour merupakan sebuah surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Baron Rothschild, seorang pemimpin komunitas Yahudi Inggris. Surat tertanggal 2 November 1917 itu kemudian disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia dan dipublikasikan di media pada tanggal 9 November 1917. Selengkapnya surat tersebut berbunyi:
“Pemerintah Yang Mulia memandang baik pendirian sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan akan melakukan upaya-upaya terbaiknya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini, dengan pemahaman yang jelas bahwa tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara manapun juga.”
Substansi Deklarasi Balfour sungguh membingungkan para sejarawan. Cendekiawan Yahudi terkemuka Arthur Koestler, menyebutnya sebagai “salah satu dokumen politik yang paling tidak mungkin sepanjang masa.” Terlebih lagi istilah “rumah nasional” tidak dikenal dan tidak memiliki preseden dalam Hukum Internasional. Begitu pun menyangkut batas-batasnya tidak dijelaskan. Frasa “di Palestina” mengandung makna yang bias, bahwa rumah nasional Yahudi itu dapat ditafsirkan mencakup seluruh wilayah Palestina seluruhnya.
Inggris berusaha meminimalisir akses yang terjadi sebab Deklarasi Balfaour. Berbagai penjelasan disampaikan kepada negara-negara Arab, bahwa tanah air bangsa Yahudi bukan berarti pemerintahan Yahudi. Didalilkan tak lain hanya tanah air yang bersifat spiritual bagi bangsa Yahudi, seperti Vatikan bagi umat Nasrani dan Mekkah bagi umat Islam. Ini adalah tipuan belaka. Dimaksudkan guna meredam kemarahan bangsa Arab dan umat Islam dunia.
Perlu diketahui bahwa konspirasi Zionisme telah berhasil menguasai pemerintahan kerajaan Inggris dengan menempatkan tiga orang agennya, yaitu: David Lloyd George, Arthur Balfaour, dan Wiston Churcill. Mereka memberikan mandat kepada Liga Bangsa-Bangsa, Al Quds menjadi Ibu Kota Palestina di bawah mandat Inggris (1920-1948). Kemudian diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia II.
Selanjutnya melalui keputusan Komisi Internasional pada tanggal 29 November 1947 Al Quds dijadikan sebagai kawasan International. Faktanya tidaklah demikian. Dapat dikatakan Deklarasi Balfour yang notabene surat yang diberikan oleh Arthur Balfour kepada Baron Rothschild merupakan “cek kosong” bagi Zionis. Menjadi aneh surat itu ditujukan kepada warga sipil dan kemudian disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia, serta dipublikasikan ke dunia. Dapat dipastikan, bahwa ada kesepakatan antara Zionis Internasional dengan pihak Inggris. Inggris pernah meminta bantuan Yahudi di Amerika untuk memenangkan Perang Dunia I dengan beraliansi bersama Amerika Serikat.
Di sisi lain Inggris masih menyimpan memori Perang Salib dan sosok Salahuddin al-Ayyubi yang yang mengalahkan raja Inggris Richard the Lionheart. Richard memang berambisi memimpin Perang Salib dan merebut Yerussalem dari Salahuddin.
Lebih lanjut, pendirian sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi sangat terkait dengan gerakan Zionisme sebagaimana dimaksudkan oleh Moses Hess tentang nasionalisme Yahudi sebagai basis ideologi politik Zionisme. Kesemuanya itu juga tidak dapat dipisahkan dengan gerakan Zionisme Internasional yang digagas oleh Theodor Herzl sebagaimana dirumuskan dalam konferensi Zionisme Internasional pertama di Bazel Swiss pada tahun 1897. Herzl menyakini bahwa solusi bagi kaum Yahudi hanya dapat dilakukan dengan migrasi dan mengupayakan pemukiman dalam skala besar di tanah Palestina.
Kongres I di Bazel itu melahirkan keputusan penting yang berbunyi: “Sesungguhnya cita-cita Zionisme ialah mendirikan tanah air untuk bangsa Yahudi, yang diakui secara resmi dan secara hukum, sehingga dengan pendirian itu bangsa Yahudi dapat hidup aman dari tekanan-tekanan. Dan tanah air itu tiada lain adalah Palestina”. Untuk kepentingan itu “Bapak Yahudi Modern” tersebut menegaskan perlunya bantuan internasional. Kemudian dirumuskan empat butir program yang menjadi tujuan Zionisme internasional. Pertama, mempromosikan kolonisasi pekerja Yahudi ke Palestina. Kedua, mengorganisasi dan menyatukan orang-orang Yahudi melalui lembaga lokal maupun internasional. Ketiga, memperkokoh sentimen dan kesadaran nasionalitas Yahudi. Keempat, mempersiapkan langkah ke arah terbentuknya pemerintahan.
Berbagai langkah guna kepentingan migrasi Yahudi ke Palestina dan pendirian negara Israel telah dikonsepsikan dengan matang. Zionis Internasional mendirikan beberapa badan pendukung lain. Jewish Colonial Trust didirikan pada tahun 1898 yang bergerak dalam bidang saham. Jewish National Fund pada tahun 1901 dibentuk untuk kepentingan membeli tanah di Palestina. Selain itu, juga didirikan surat kabar Die Welt pada tahun 1897 sebagai media organisasi.
Berbagai elemen (organisasi) yang demikian banyak menjadi penguat migrasi Yahudi guna pendirian negara Yahudi. Dapat disebutkan antara lain di bawah ini:
1. Haganah: organisasi paramiliter Yahudi di wilayah Palestina didirikan pada tahun 1919, ketika masih menjadi wilayah mandat Britania Raya sejak 1920 hingga 1948. Setelah Perang Dunia II, Haganah melaksanakan operasi anti-Britania di Palestina dan juga melanjutkan misi mengorganisir migrasi ilegal kaum Yahudi. Haganah kemudian menjadi fondasi dasar dari Pasukan Pertahanan Israel (Israeli Defense Force).
2. Stern Gang: organisasi ekstremis Zionis di Palestina. Awalnya disebut Organisasi Militer Nasional di Israel. Didirikan pada tahun 1940 oleh Avraham Stern, setelah perpecahan dalam gerakan bawah tanah sayap kanan Irgun Levi L’ummi. Organisasi ini mengizinkan migrasi orang Yahudi tanpa batas.
3. Irgun Levi L’ummi: merupakan organisasi paramiliter dari kalangan perempuan melawan para penentang Arab. Sejak pembentukan Irgun pada tahun 1931 hingga berdirinya negara Israel pada tahun 1948, mereka berpartisipasi dalam penyebaran propaganda. Termasuk pula bantuan medis bagi para prajurit yang terluka, serta pertempuran fisik dan serangan bawah tanah yang direncanakan oleh organisasi tersebut.
4. Berihah (pelarian): suatu organisasi bawah tanah yang terdiri dari partisan dan para pejuang Ghetto Warsawa yang berusaha menyelundupkan orang-orang Yahudi dari Polandia dan Eropa Timur ke pelabuhan-pelabuhan Italia menuju Palestina.
5. Bilu: merupakan organisasi yang digagas oleh para pelajar dan mahasiswa Yahudi di Rusia yang dipicu oleh Pogrom. Mereka merupakan pionir-pionir yang berimigrasi ke Palestina.
6. FFI (Fighters for the Freedom of Israel): organisasi pertahanan bawah tanah yang didirikan oleh Abraham Stern.
7. Halutzim: merupakan kumpulan orang-orang yang tergabung dalam HeHalutz. HeHalutz adalah suatu federasi yang digagas oleh gerakan pionir muda Yahudi. Kelompok HeHalutz pertama didirikan di Amerika pada 1915. Setelah Perang Dunia I, gerakan ini mulai merambah ke Eropa Timur lalu menyebar ke wilayah Eropa lainnya. Pada tahun 1924, seluruh HeHalutz bersatu menjadi organisasi HeHalutz dunia. HeHalutz bertujuan membangun dan memperkuat komunitas Yahudi di Palestina guna terbentuknya negara Israel.
8. HaMossad LeAliyah Bet: Organisasi yang didirikan oleh Haganah pada tahun 1939 yang bertugas memfasilitasi para Yahudi Eropa untuk berimigrasi ke Palestina secara ilegal, khususnya setelah Perang Dunia II. Lembaga intelijen Israel (Mossad) adalah penerus intelijen Haganah.
9. HaPoel HaTzair: (Pekerja muda) sebuah organisasi pekerja Yahudi yang didirikan oleh pada tahun 1904.
10. Hashomer: Organisasi pertahanan dan keamanan yang didirikan pada tahun 1909 oleh para imigran Yahudi yang bertugas melindungi pemukim Yahudi Palestina.
11. Histadrut: Organisasi yang didirikan pada tahun 1920 yang berperan sebagai serikat pekerja Yahudi di Palestina.
12. Jewish Agency: Badan perwakilan Organisasi Zionis Dunia yang didirikan untuk membantu dan mendorong pemukiman Yahudi di Palestina demi berdirinya Negara Israel.
13. Jewish Colonial Trust: Bank pertama milik Zionis pada 1899 yang juga bergerak dalam bidang saham. Bank ini juga membantu usaha kolonisasi Yahudi di Palestina.
14. Jewish National Fund: Lembaga yang didirikan oleh Organisasi Zionis Dunia pada 1901 yang bertugas mengumpulkan dana untuk pembelian tanah-tanah dan pembangunan pemukiman Yahudi di Palestina.
15. Youth Aliyah: Organisasi yang didirikan pada tahun 1933 yang bertujuan mengorganisir penyelamatan anak-anak Yahudi dari Nazi dan Holocaust menuju Palestina.
Kesemua organisasi tersebut di atas begitu dominan dalam rangka proses migrasi kaum Yahudi ke Palestina dan pembentukan negara Israel. Migrasi illegal mereka sudah dilakukan sebelum adanya dukungan Inggris melalui Deklarasi Balfour. Kelicikan Zionisme dengan membangun narasi anti-Semitisme telah membentuk opini dunia, dan bahkan pada masa kini kebanyakan negara mempercayainya. Padahal isu anti-Semitisme bukanlah didasarkan pada faktor pendorong terjadinya migrasi secara alami seperti adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik maupun keyakinan agama. Justru adanya sikap anti terhadap Yahudi itu lebih disebabkan oleh kelakuan mereka sendiri. Dimana pun mereka berada, kaum Yahudi selalu saja menimbulkan konflik.
Ketika Yahudi sudah memiliki negara dan baru saja lahir, mereka justru menciptakan konflik yang berkepanjangan. Bukan hanya ditujukan kepada Palestina, namun juga pada negara-negara Arab lainnya. Terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Zionis selalu ada dibelakangnya. Zionis sebagai penyulut peperangan yang terjadi.
Slogan kepulangan ke ‘Tanah Yang Dijanjikan’ (The Promised Land), sebagaimana klaim mereka bahwa telah dijanjikan oleh Tuhan pada keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub bagi Yahudi diaspora menuju Al-Quds adalah kebohongan belaka. Kaum Yahudi yang ada di Israel pada akhirnya akan dipersiapkan untuk berperang, baik perang Dunia III maupun Al-Malhamah Al Kubro (Armageddon). Zionis Israel itu tidak mungkin tidak tahu akan terjadinya Armageddon, mereka pastinya mengetahui. Oleh karenanya konflik yang terjadi di Timur Tengah akan selalu ada dan demikian itu memang diciptakan. Bagi Zionisme, perang bukanlah suatu kemenangan, namun harus terus dilanjutkan guna mempercepat hadirnya mesias mereka, yakni Dajjal si mata satu yang terlaknat.
Akhir kata, penulis katakan bahwa tanpa adanya Zionisme tidak mungkin ada kekuatan bangsa Yahudi yang berdiaspora itu. Tanpa adanya Inggris tidak mungkin Zionisme mendapatkan tanah di bumi Palestina guna kepentingan migrasi Yahudi. Tanpa adanya migrasi Yahudi untuk mendiami Palestina tidak mungkin pula ada negara Israel.
Jakarta, Jumat 6 September 2024.
*Pusat Pemikiran Al-Fatih*
Catatan: Dipersilahkan untuk dapat menyebarluaskan artikel ini dengan caranya masing-masing sepanjang tidak merubah isinya. Pusat Pemikiran Al Fatih mengucapkan rasa terima kasih atas partisipasinya guna pembelaan terhadap Palestina.