Pembangunan IKN Diluar Kemampuan Dan Nalar Sehat
Pembangunan IKN Diluar Kemampuan Dan Nalar Sehat
Oleh : Adv. Juju Purwantoro (Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia)
Jakarta, 25 Juli 2024
Pemerintah tetap ngotot dan ambisius memaksakan Pembangunan IKN diluar kemampuan dan nalar sehat.
Antara lain ditandai dengan akan menggelar upacara kemerdekaan RI 2004 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur.
Salah satu kebijakannya yang irasional dan panik adalah dengan menabrak peraturan perundang-undangan yang ada.
Hal itu terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Pepres) No. 75 tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ada hal yang sangat janggal dan melukai rasa keadilan masyarakat dalam salah satu klausul Perpresnya. Salah satu klausul atau Pasalnya menyebutkan berupa pemberian fasilitas Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah kepada Investor selama 190 tahun, dan dapat dipahami diperpanjang kembali.
Kebijakan tersebut jelas berbenturan (melanggar) dengan semua aturan hukum tentang Pertanahan (agraria) di Indonesia. Sedangkan di era penjajahan (kolonial) Belanda sekalipun kepemilikan HGU tanah dibatasi hanya 75 tahun. Apakah rezim saat ini memang lebih kejam dari era penjajah Belanda kepada rakyatnya, dengan akan menggadaikan tanah air ini kepada Oligarki?.
Faktanya, karena dengan penuh kehati-hatian sampai saat ini juga belum ada investor nasional dan asing, yang terpengaruh dan berminat dengan berbondong- bondong berinvestasi di IKN.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh masih carut-marutnya, tumpang tindih aturan, ketidak pastian hukum di Indonesia. sesuai hirarki peraturan perundang-undangan. Produk Peraturan Presiden (Pepres) tentang percepatan pembangunan IKN tentang penguasaan hak atas tanah secara hierarki perundangan, bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pokok Agraria.
Sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kepemilikan hak tanah antara lain berdasarkan perorangan maupun badan hukum, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak yang sifatnya sementara.
Hak milik dibatasi oleh negara, untuk rumah tinggal oleh perseorangan tidak lebih dari 5000 meter persegi.
Sementara untuk warga negara asing, sesuai dengan Permen ATR/BPN Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia, menyatakan batasan tanahnya lebih kecil dari rumah tinggal hak milik WNI, yaitu hanya 2000 meter persegi.
Hak Guna Usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Yang dapat mempunyai HGB adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Investor tentu secara rasional dalam berinvestasi akan mempertimbangkan masalah hukum, ekonomi dan stabilitas sosial politik di suatu negara.
Stabilitas politik di Indonesia, saat ini masih sangat tidak stabil, penuh demokrasi kepura – puraan kepada rakyatnya. Karena dibangun atas dasar demokrasi yang semu, sehingga tidak ada jaminan bagi stabilitas politik di Indonesia saat ini dan ke depannya. Tidak tertutup kemungkinan pada era Prabowo Subianto, rencana dan kebijakan pembangunan IKN ditinjau kembali.
Proyek IKN sudah semestinya dibatalkan, karena tidak realistis di tengah kondisi krisis ekonomi Indonesia dan utang negara yang semakin membengkak dan mencekik.