Peristiwa

Aliansi Jurnalis : “Tolak Revisi RUU Penyiaran”, “Pers Akan Dipreteli”

Aliansi Jurnalis : “Tolak Revisi RUU Penyiaran”, “Pers Akan Dipreteli”

 

Jakarta, 27 Mei 2024

 

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Dewan Pers memberikan tanggapan atas revisi RUU Penyiaran yang disusun oleh DPR melalui Komisi I untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Melalui Jumpa pers yang digelar di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (14/5/2024), Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyampaikan bahwa upaya merevisi sebuah Undang-Undang sejatinya merupakan hal yang biasa. Akan tetapi, Dewan Pers menilai beberapa pasal dalam RUU tersebut bertabrakan dan kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers bersama konstituen menolak revisi RUU ini karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers.

Adapun hal-hal yang menjadi perhatian Dewan Pers adalah sebagai berikut:

1.Dalam draf RUU Penyiaran ada upaya untuk membedakan antara produk jurnalistik oleh media massa konvensional dengan produk serupa oleh media yang menggunakan frekuensi telekomunikasi. Dalam pasal 1 UU Pers dijelaskan, bahwa penyampaian informasi dari kegiatan jurnalistik dilakukan dalam bentuk media cetak, elektronik, dan semua saluran yang ada. Di sini jelas tidak ada pembedaan antara produk jurnalistik satu platform dengan platform lainnya.

2.Pada pasal 15 ayat (2) huruf c disebutkan fungsi Dewan Pers yang antara lain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dengan demikian, sesuai UU Pers, tidak ada lembaga lain yang berfungsi serta memiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengawasi KEJ. Sedangkan di pasal yang sama huruf d UU Pers menyatakan, fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers.

3. Draf RUU Penyiaran menyebutkan ditempuhnya mediasi (oleh KPI) jika terjadi sengketa. Itu hanya mungkin dilaksanakan untuk siaran non berita. Jika dilakukan juga mediasi untuk sengketa pemberitaan, maka hal ini seolah menafikan keberadaan pasal 15 ayat (2) tersebut, khususnya huruf c dan d UU Pers.

4. Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers.Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

5. Peniadaan sensor pemuatan berita itu buah dari reformasi. Pers dan masyarakat menghendaki kemerdekaan dalam pemberitaan, sesuai dengan kaidah jurnalistik dan koridor lain yang menuntut tanggung jawab pers. Sangat disayangkan jika kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi itu kembali ditarik mundur dalam kehidupan berbangsa yang seyogianya semakin demokratis.

6. Pada dasarnya pers bekerja bukan untuk diri sendiri atau institusi tempatnya bekerja.Pers bekerja dan menghasilkan karya jurnalistik untuk memenuhi hak publik dalam mendapatkan informasi. Sedangkan hak publik untuk memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang sangat hakiki. Oleh sebab itu, larangan menyiarkan sebuah karya jurnalistik jelas bertentangan dengan hak asasi manusia.

7. Poin-poin di atas mendasari Dewan Pers untuk mengajukan keberatan atau menyampaikan masukan terhadap beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran agar tidak tumpang-tindih atau bahkan kontradiktif dengan UU Pers. Dewan Pers juga telah menggelar rapat bersama seluruh konstituen dan sepakat untuk meminta penundaan revisi RUU Penyiaran dan memastikan pelibatan masyarakat yang lebih luas.

Terkait Draft Revisi isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran, Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran tersebut.

Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu mengatakan,Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran.

Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, bila RUU itu nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional. Dia juga mengritik penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Ketua Dewan Pers tersebut menambahkan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.

Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, ujarnya, juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

Selain itu, dirinya juga turut menyoroti penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran. “Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” kilahnya.

Sementara itu,anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan upaya menggembosi  kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif. Hal itu antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam  UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran. Yadi menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika. jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers. “Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers”,tegas Wahyu.

Penolakan yang sama juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan. Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. PWI minta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers.

Sementara itu, Herik Kurniawan selaku Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), meminta minta agar draf RUU itu dicabut karena akan merugikan publik secara luas dan kembali disusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), melalui ketua umumnya, Nani Afrida, berpendapat jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik.

Penolakan terhadap isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran juga datang dari Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.

Dewan Pers: Revisi RUU Penyiaran Ancam Kemerdekaan Pers

 

Terkait hal tersebut, hari ini senin (27/5/2024) Sejumlah organisasi pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi akan menggelar demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan gedung DPR/MPR RI.

selasa (27/5/2024) Sejumlah organisasi pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi akan menggelar demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan gedung DPR/MPR RI.

 

Pada aksi yang dimulai sekitar jam 10:30 wib tersebut, massa aksi yang terdiri dari diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jakarta Raya, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (SINDIKASI), LBH Pers Jakarta, serta pers mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi membawa membawa atribut spanduk dan poster yang berisikan penolakan terhadap RUU Penyiaran. Di antaranya seperti “Dukung Kebebasan Pers”, “Tolak Revisi UU Penyiaran”, “RUU Penyiaran Bikin Korupsi Makin Ugal-ugalan”, “Jurnalisme Investigasi Dikebiri”, “Demokrasi Mati”.

 

atribut spanduk dan poster yang berisikan penolakan terhadap RUU Penyiaran.
senin (27/5/2024) Sejumlah organisasi pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi akan menggelar demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan gedung DPR/MPR RI

Selain itu, para jurnalis juga turut meletakkan kartu identitas pers serta kamera sebagai bentuk penolakan terhadap RUU tersebut

para jurnalis juga turut meletakkan kartu identitas pers serta kamera sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Penyiaran, pada hari senin (27/5/2024) di Depan Gedung MPR DPR Jakarta.

 

RUU Penyiaran merupakan ancaman terhadap pers lantaran akan mengebiri kebebasan pers, hal tersebut disampaikan oleh RUU Penyiaran merupakan ancaman terhadap pers lantaran akan mengebiri kebebasan pers, hal tersebut disampaikan Bayu Wardhana selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

“Harusnya kita juga lihat ada skenario besar ketika sebelum RUU ini ada revisi MK. kalau kita lihat ada empat pilar demokrasi, legislatif sudah dipreteli, yudikatif dipreteli, dan sekarang pers akan dipreteli. ini skenario besar teman-teman,” katanya.

Bayu mengungkap aksi penolakan RUU Penyiaran tak cuma digelar di Jakarta, tapi serentak di kota-kota lain di Indonesia.

RUU Penyiaran akan melemahkan masyarakat sipil dan demokrasi. Ia mengatakan tak cuma jurnalis media yang akan terdampak RUU Penyiaran, tapi juga konten kreator media sosial, jelas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Dirinya menyoroti pasal yang memberi kewenangan KPI untuk menangani sengketa pers. Padahal, selama ini sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Maka KPI bisa masuk dengan dan men-take down konten teman-teman,” pungkasnya.

“Harusnya kita juga lihat ada skenario besar ketika sebelum RUU ini ada revisi MK. kalau kita lihat ada empat pilar demokrasi, legislatif sudah dipreteli, yudikatif dipreteli, dan sekarang pers akan dipreteli. ini skenario besar teman-teman,” ujar Bayu.

Dirinya mengatakan aksi penolakan RUU Penyiaran tak cuma digelar di Jakarta, tapi serentak di kota-kota lain di Indonesia.

Ia menjelaskan RUU Penyiaran akan melemahkan masyarakat sipil dan demokrasi. Ia mengatakan tak cuma jurnalis media yang akan terdampak RUU Penyiaran, tapi juga konten kreator media sosial.

Bayu menyoroti pasal yang memberi kewenangan KPI untuk menangani sengketa pers. Padahal, selama ini sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Maka KPI bisa masuk dengan dan men-take down konten teman-teman,” kata dia.

 

Poin-poin penolakan yang disuarakan yakni:

1. Ancaman Terhadap Kebebasan Pers: Pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draf pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.

2. Kebebasan Berekspresi Terancam: Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.

3. Kriminalisasi Jurnalis: Adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.

4. Independensi Media Terancam: Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf pasal 51E.

5. Revisi UU Penyiaran Berpotensi Mengancam Keberlangsungan Lapangan Kerja Bagi Pekerja Kreatif: Munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya.

Dengan kelima poin tersebut, para demonstran dari berbagai organisasi dan juga pers mahasiswa itu menuntut dan menyerukan:

– DPR RI segera menghentikan pembahasan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini.

– DPR RI harus melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

– Memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.

– Menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan pegiat media sosial di Jakarta untuk bersiap turun ke jalan melakukan aksi protes ke DPR RI.

 

Sementara itu,Kepolisian mengerahkan sebanyak 296 personel gabungan untuk mengamankan Gedung DPR dari unjuk rasa menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran disahkan.

“Dalam rangka pengamanan aksi elemen masyarakat di depan Gedung DPR/MPR RI, kami melibatkan sejumlah 296 personel gabungan,” kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Polisi Susatyo Purnomo Condro di Jakarta, Senin (27/5/2024).

Selain di luar gedung DPR, personel gabungan juga disiapkan  untuk melakukan pengamanan dan mencegah massa aksi masuk ke dalam kawasan DPR.

Sedangkan penutupan atau pengalihan arus lalu lintas di sekitar DPR/DPD/MPR bersifat situasional. Rekayasa arus lalu lintas akan diberlakukan melihat perkembangan dinamika situasi di lapangan.

“Jumlah massanya 200 orang, kita lihat nanti jumlah massanya, bila nanti di depan DPR/MPR RI massanya cukup banyak dan eskalasi meningkat, maka arus lintas yang akan mengarah ke depan Gedung DPR/DPD/MPR akan dialihkan,” ujar Susatyo.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button