Pejabat Negara Atau Penguasa Pemerintahan RI,Pelaku Kejahatan Kemanusiaan Tidak Dapat Diadili Oleh ICC?
(Sebuah Sajian Ringkas Hukum Catatan Merah Jelang Peralihan Kekuasan Dari Jokowi Kepada Prabowo, 1 Mei 2024 ke Oktober 2014 Hasil Pilpres 2024)
Pejabat Negara Atau Penguasa Pemerintahan RI,Pelaku Kejahatan Kemanusiaan Tidak Dapat Diadili Oleh ICC ?
(Sebuah Sajian Ringkas Hukum Catatan Merah Jelang Peralihan Kekuasan Dari Jokowi Kepada Prabowo, 1 Mei 2024 ke Oktober 2014 Hasil Pilpres 2024)
Oleh : Damai Hari Lubis ( Aktivis Hukum & Pengamat Politik Mujahid 212 )
Jakarta, 1 Mei 2024
International Criminal Court (ICC) merupakan salah satu Organisasi internasional independen yang bukan merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (“ICC”) adalah pengadilan pidana internasional pertama yang permanen dan independen, dengan kewenangan mengadili individual maupun secara kelompok, yang dilaporkan karena adanya dugaan perilaku terhadap empat jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan agresi yang kesemuanya sebagai kategori kejahatan HAM yang dapat dituntut dengan sistem hukum retro aktif atau terhadap peristiwa yang mundur kebelakang, atau menyimpang daripada asas legalitas pada hukum pidana (principle of legality) atau yang dikenal oleh kalangan masyarakat hukum sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik atau tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Sedangkan, terkait laporan ICC, oleh sebab Indonesia bukan negara bagian dari statuta ( anggaran dasar organisasi ICC) maka akibat hukumnya tidak akan diproses berkelanjutan, oleh karena RI belum menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma, yang kemudian Statuta Rome (Rome Statute) yang berdiri pada 17 Juli 1998 organisasinya melebur diri menjadi ICC, atau Statuta, yang ditandatangani di Roma pada 1 Juli 2002 dan berkantor di den haag- Belanda.
Oleh karenanya sampai sementara ini, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma. Kenapa ? Alasan dari Prof. Dr. Hikmawanto Juwana, SH. MH. (HWN) ahli hukum internasional eks dekan fakultas hukum Universitas Indonesia/UI. Cukup simple jawabannya;
“Kita masih mengatakan bahwa kita belum mau mengikuti Statuta Roma, karena Republik Indonesia tidak rela apabila seorang yang disebut sebagai pahlawan menurut bangsa di Negara Republik Indonesia, namun dianggap sebagai pecundang atau penjahat di negara lain.”
Argumentasi hukum ini, secara gamblang pernah disampaikan oleh HWN saat menyampaikan keterangan ahli dalam sidang uji materiil/JR Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tentang HAM. Pada Rabu, 8 Februari 2023 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Statuta Roma yang merupakan dasar terjadinya pembentukan ICC yang mengatur kewenangan tentang Mahkamah Pidana Internasional, memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional secara retro aktif atau pada peristiwa yang mundur kebelakang/ lex specialist serta tanpa kedaluwarsa masa peristiwa terjadinya delik/ tindak pidana HAM.
Contoh kejahatan yang ada di tanah air terhadap kemanusiaan nyawa manusia, kejahatan perang, kejahatan agresi dan genosida. Maka kejahatan kategori HAM dimaksud yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemerintah atau nin pemerintahan ( non lembaga negara) jika terjadi di negara ini, lalu ada pihak atau kelompok yang melaporkannya. Maka pelaku atau para pelakunya atau pemerintah negaranya, tidak dapat diseret ke- ICC atau International Criminal Court atau Mahkamah/ Peradilan Pidana Internasional.
Sehingga, ilustrasi peristiwa hukum terhadap pelaku “kejahatan kemanusiaan/ HAM” 1998 yang kemudian terbukti telah diberhentikan oleh kesatuan ABRI/ TNI sekalipun, seperti Prabowo Subianto, jauh dari jangkauan hukum pihak ICC dan riil malah dilegitimasi oleh KPU RI selaku panitia penyelengara pemilu, serta tanpa protes dari para wakil rakyat, baik sejak pra mendaftar menjadi Capres RI sebanyak 3 (tiga) kali, dengan perolehan 2 kali kalah pada 2014 dan 2019, namun pada kompetisi pilpres kali ketiganya ( dari 3 orang capres 2024), justru mendapatkan kemenangan satu putaran dari 2 capres lainnya, dan Prabowo bakal mulus dilantik dan disumpah sebelum menjalankan tugas negara menjadi Presiden RI pada Oktober 2024 menggantikan Jokowi selaku Presiden RI.
Contoh lain Kejahatan HAM adalah perilaku rezim kontemporer, ber-karakteristik menerapkan politik hukum dan kekuasaan belaka (abuse of power/ machstaat) yang nampak pada peristiwa tewasnya 6 orang laskar FPI di KM 50 Cikampek, yang nota bene korban daripada unlawful killing adalah rakyat Indonesia. Sehingga penerapan hukum oleh penguasa yang berwenang bertentangan daripada salah satu asas teori tujuan dan makna subtansial terbentuknya negara oleh sebuah bangsa, yakni, “demi melindungi rakyatnya dari segala tindakan kejahatan baik dari dalam maupun dari luar/ agresor”.
Maka terhadap kategori dua kejahatan terhadap nyawa-nyawa manusia tersebut diatas (KEJAHATAN HAM) yang dilakukan Prabowo pada 1998 selaku anggota lembaga negara atau institusi ABRI/ TNI dan unlawfull killing, atau tragedi kemanusiaan di Jalan Tol KM 50, merupakan sejarah tragedi praktik politik dan hukum dan kekuasaan (bad politics) pada 7 Desember 2020 yang dilakukan oleh sekelompok anggota Polri yang memiliki sistem kesatuan dan komando (institusi negara) atau state of crimes oleh sebab perilaku para tokoh pelaku dan penyerta/ delneming tindak kejahatan HAM dibebaskan oleh negara”, jika dilaporkan oleh pihak-pihak ke ICC. Maka tentunya, secara hukum internasional tidak akan dapat berkelanjutan proses final hukumnya. Karena RI tidak termasuk dari 123 anggota negara-negara yang tergabung didalam ICC.
Penutup dan kesimpulan :
Bahwa peristiwa pembunuhan KM 50 era Jokowi, seorang sosok presiden yang hingga saat akhir masa jabatannya dan tidak mustahil sampai dengan akhir hayatnya menyisakan catatan merah kemaluan, yakni selain tudingan oleh banyak publik selaku Presiden RI pengguna ijasah palsu S 1 Fakultas Kehutanan dari UGM/ Universitas Gajah Mada. Dan selanjutnya kejahatan pada era-nya hingga kini terkait hal unlawful killing, tragedi bersejarah pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek, merupakan satu contoh kejahatan kemanusiaan ( karena dolus dan tempus delicti ditemukan ada signal modus operandi dengan pola sistematis dan strukturtif), maka selayaknya anggota legislatif selaku wakil rakyat mendorong dan berjuang mengupayakan, agar pemerintah negara ini mendaftar sebagai anggota ICC agar filosofis hukum, “setiap kejahatan siapapun para pelakunya, harus dapat dihukum, sesuai asas equality before the law, dan selaras dengan fungsi dan cita-cita hukum yakni manfaat, dan kepastian hukum serta menegakan keadilan. Namun big question, dengan jawaban, “jangan berharap tentunya” kala pemerintahan dibawah kepemimpinan Prabowo, sebagai pribadi yang tersangkut kejahatan HAM pada tahun 1998 yang hingga kini menyisakan 13 orang hilang nyawa tanpa kejelasan makamnya, dapat menyetujui dan mendorong legislatif, agar Negara Republik Indonesia mendaftar sebagai anggota ICC, ( IDENTIK pelaku menyerahkan dirinya untuk didakwa) karena beresiko ICC dapat mengejar para pelaku pelanggar HAM di tanah air, dengan sistim hukum retro aktif.