PUTUSAN MK, NASIB AMICUS CURIAE, DIRTY ELECTION & NAWAKSARA
PUTUSAN MK, NASIB AMICUS CURIAE, DIRTY ELECTION & NAWAKSARA
Oleh : Dr KRMT Roy Suryo
Jakarta, 22 April 2024
Hari ini, Senin 22/04/24, hari yang sejatinya dinantikan oleh Jutaan Rakyat Indonesia sebagai “Hari Kemerdekaan Demokrasi & Hati Nurani” pupus sudah. MK (Mahkamah Konsitusi) melalui Putusannya telah menolak seluruhnya Gugatan dari Paslon 01 & 03 ttg Pemenang Pemilu 2024 versi KPU, yakni Paslon 02 PS dan GRR. Meski disebut ada 3 dissenting opinion dari Hakim MK Prof Saldi Isra, Prof Arief Hidayat dan Prof Enny Nurbaningsih, namun tidak cukup untuk mengubah Kesimpulan hasil Putusan (yang lagi lagi) kontroversial tersebut.
Kalau boleh menyitir Pidato asli Alm Jendral AH Nasution tgl 05/10/66 saat melepas keberangkatan ke-7 Pahlawan Revolusi dari sekarang Gedung Kementerian Pertahanan di Jl. Merdeka Barat, saat itu Pak Nas mengatakan “.. hari yg selalu gemilang, tapi yang kali ini dinodakan oleh fitnahan, oleh (peng)khianatan, dihinakan oleh penganiayaan …” dan seterusnya. Mungkin memang analogi dan contoh kalimat tsb agak terlalu puitis atau bahkan terasa bombastis, namun apa yg diucapkan beliau lebih 58 tahun yang lalu tersebut menjadi mirip dgn yang baru saja terjadi di Gedung yg juga terletak di Jalan yang sama, Jl Merdeka Barat, yakni Gedung MK yang sempat menjadi harapan Rakyat selama ini.
Didalam tulisan sebelumnya saya sebenarnya sudah memprediksi bahwa MK tidak akan berani dan hanya akan main “play safe” dengan tetap menyetujui Paslon 02 tetap lanjut, disinilah tampak ke-8 Hakim MK terbebani dgn Putusan kontroversial juga sebelumnya (No 90) yang akan menjadi dilematis apabila mereka sekarang berbeda sikap dgn putusan tsb, meski audah banyak dikritisi dan dikoreksi banyak pihak bahwa Putusan MK No 90 itu sangat tidak wajar dan membuat kredibilitas MK dipandang hancur karena mengabaikan banyak sekali fakta-fakta hukum, etika dan norma. Hanya saya sempat berharap setidaknya MK ada kerjanya dgn memerintahkan Pemilu ulang meski utk semuanya (diikuti 3 Paslon lagi) dibanding hanya membuat Putusan seperti sekarang ini.
Dalam pertimbangan-pertimbangannya tampak sekali bahwa MK berusaha “buang badan” dengan (terkesan) mengembalikan persoalan utamanya ke DPR yang telah membuat Undang-undang, Bawaslu yang harusnya mengawasi KPU dan bahkan PanSel yang dulu telah memilih Anggota-anggota lembaga tersebut. Secara terpisah kalimat “MK bukan Keranjang Sampah untuk menyelesaikan semua masalah Pemilu” bahkan sempat terucap oleh salah seorang Hakim yang sempat disebut-sebut memberikan harapan cerah sebelumnya, yakni Prof Saldi Isra. Sikap ini memang sudah banyak diprediksikan sebelumnya, karena begitu TSM-nya upaya-upaya untuk melakukan tekanan terhadap mereka, mulai dari “invisible hand” sampai cara-cara (kampungan) dengan Bunga-bunga Papan yg seragam dan “Demo-demoan Mahasewa” Palsu yang sempat ketahuan dan diwawancara berbagai media kemarin.
Secara lebih khusus sesuai kompetensi penulis, sayang sekali juga bahwa semua Kecurangan, Kebohongan bahkan sampai bisa disebut telah terjadi Tindak Kejahatan utamanya dalam SIREKAP yg sudah diungkap secara jelas dan terbuka selama ini, tidak terlalu menjadi pertimbangan Majelis Hakim MK. Padahal jelas-jelas inti dari “angka kemenangan” itu hanyalah dibuat dengan Teknologi Informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan darimana sumber asli atau jejak digitalnya, karena sudah mengalami ratusan ribu modifikasi sesuai Temuan Para Pakar IT independen, diantaranya dari APDI. Benar-benar dianggap sebuah “Pepesan Kosong” belaka.
Berbagai komentar masyarakatpun muncul akibat Putusan Hakim MK hari ini, dimana mereka mengatakan Hakim MK hanya berpikir normatif, empiris, keantitatif dan tidak memperhitungkan hukum dari moralitas apalagi pertimbangan kualitatif. Bahkan para hakim MK ikut mewariskan hancurnya moralitas dan seakan moral itu tak ada harganya. Ukuran benar salah hukum lebih dilihat dari materi, kuantitas dan kebendaan. Disisi lain ada kemungkinan mereka juga hanya mempertimbangkan keamanan (dan kenyamanan) pribadinya saja diatas nasib bangsa Indonesia menyongsong tahun emas 2045 mendatang, karena dampak keputusan ini akan menurun pada anak, cucu, cicit, wayah, canggah dan seterusnya sampai lebih dari 7 turunan nepotismenya.
Apakah ini akibat adanya “intervensi” sebagaimana yang ditulis dalam situs berita mainstream Tempo (://nasional.tempo.co/read/1859005/respons-mk-soal-tudingan-jokowi-telepon-hakim-tanya-putusan-sengketa-pilpres) ? Wallahu Alam, karena pembuktian “intervensi” ini bagaikan (maaf) membuktikan kentut, sangat terasa bau busuk-nya, namun tidak ketahuan sumbernya, apalagi mengaku yang melakukannya. Terbukti dalam membuktikan adanya intervensi dalam berbagai praktek kotor di Pemilu ini, mulai dari cewe-cawe saat sebelum Putusan MK 90 sampai yang sekarangpun tidak akan mudah dibuktikan.
Dengan demikian apakah 50-an lebih Amicus Curiae yg sudah dibuat oleh berbagai Lapisan masyarakat, termasuk Profesor, Guru besar, Pakar-pakar dalam bidangnya, Ilmuwan, Agamawan, Budayawan dan seterusnya kemarin menjadi mubazir dan sia-sia ? Tentu saja tidak. Karena meski tidak menjadi pertimbangan bagi MK, namun semua buah karya pemikiran ilmiah dan komprehensif tersebut Insyaa Allah akan tetap menjadi Catatan atau Referensi Ilmu Pengetahuan dan Etika yang tidak terpisahkan dan sulit dilupakan oleh seluruh Rakyat Indonesia bahwa pernah terjadi “Dirty Vote” dan “Dirty Election” di negara ini, sebagaimana judul 2 film yang sudah tayang kemarin.
Ini artinya juga bahwa ke-2 film yang sama-sama menggunakan kata “Dirty”, masing-masing karya Trio Pakar Hukum Tatanegara Bivitri, Uceng, Feri Amsari (” Dirty Vote”) dan Karya APDI (Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia) “Dirty Election” akan menjadi Legenda Audio-Visual yang tidak akan dilupakan oleh Masyarakat dan Sejarah Demokrasi Indonesia, karena telah berani memotret dgn jujur, berani dan tegas terhadap segala penyimpangan yang terjadi saat sebelum, saat dan pasca pelaksanaan Pemilu 2024 lalu. Meskipun ada upaya utk menghalangi kedua Film Edukasi-Dokumenter tersebut dengan cara-cara teknis dan non-teknis, namun keduanya tetap tegar dan tak lekang menembus berbagai kendala.
Dengan Putusan MK hari ini, apakah berikutnya yg akan terjadi sudah bukan lagi berbentuk film namun fakta akan terjadi “Dirty Government” alias “Dirty “Regime” ? Kita semua tentu sangat tidak berharap hal demikian. Namun tentu masyarakat sulit berharap lagi dgn upaya yang lain, misalnya Hak Angket di DPR, karena jangankan dilaksanakan, baru mau dimulai saja sudah terjadi penggembosan disana sini, bahkan termasuk oleh petinggi-petinggi parpol yang katanya para “Wakil Rakyat” itu. Segera pribadi saya sebenarnya juga sangat tidak berharap kejadian seperti tahun 1966, 1974 dan 1998 (yakni Rusuh Massa) terjadi lagi di Indonesia, namun semua tentu ada faktor pemicu dan sebab-akibatnya bila terjadi hal demikian.
Sedikit melihat sejarah, Tahun 1967 silam bangsa ini juga menyaksikan bagaimana perjuangan Proklamator kita, Bung Karno, yang saat tersebut selaku Presiden-Mandataris MPR mengucapkan Pidato “Nawaksara” alias Nawa Aksara (Sembilan Kata Ajaran”) sebagaimana pertanggungjawaban beliau didepan Sidang MPRS. Apa yang terjadi dengan “Nawaksara” saat itu juga mirip gugatan 01 dan 03 hari ini, yakni ditolak dan akibatnya beliau tidak lagi menjabat Presiden di periode selanjutnya. Dengan demikian apakah Ajaran di “Nawaksara” teraebut juga berhenti dan hilang? Tentu saja tidak, karena semangat, jiwa dan nasionalisme Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ini tentu masih berada di Lubuk Hati Sanubari segenap rakyat Indonesia. Tentu tidak semua yang dilakukan Bung Karno adalah benar dan sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Allah SWT, namun tentunya semua orang tidak ada yang benar 100% dan tidak ada pula yang salah 100%.
Kesimpulannya, meski (konon) yang disebut para “Wakil Tuhan” di MK hari ini telah melakukan tindakan yang oleh sebagian besar masyarakat disebut mencederai Demokrasi dan cita-cita Reformasi, apalagi dalam Putusannya mengabaikan bukti-bukti adanya Nepotisme yang sangat nyata dilakukan oleh Oknum-oknum Penyelenggara Negara, namun apa yang sudah ditulis dalam 50-an lebih Amicus Curiae, Film “Dirty Vote” dan “Dirty Election”, bak Pidato “Nawaksara” Bung Karno yang tidak akan lekang oleh waktu hingga kapanpun jua. Kegigihan dan Semangat Insan-insan yang tetap menegakkan Etika dan Demokrasi justru akan makin tumbuh di seantero Negeri ini dan menyatu dengan Kekuatan Rakyat sebagai sebuah “Silent Majority” yang tetap akan terus bergerak. Kita belum mati, Insyaa Allah demikian juga dengan Jiwa dan Hati kami, Gusti Allah SWT tidak Sare …
)* Dr KRMT Roy Suryo – Pemerhati Telematika, Multinedia, AI & OCB Independen