HukumOpini

GUGATAN PELANGGARAN TSM TIDAK AKAN TERBUKTI: KEMENANGAN PRABOWO-GIBRAN SEMAKIN PASTI

GUGATAN PELANGGARAN TSM TIDAK AKAN TERBUKTI: KEMENANGAN PRABOWO-GIBRAN SEMAKIN PASTI

 

Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. ( Penulis: Akademisi, Ketua Umum Forum Doktor & Ahli Hukum )

 

Jakarta, Senin 22 April 2024.

 

Perkara Pelanggaran Administrasi Pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (PAP-TSM) pada PHPU-Presiden, hari ini akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah tentu telah mempertimbangkan seluruh alat bukti yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Sebelum masuk pembahasan, perlu penulis sampaikan bahwa sejatinya Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara PAP-TSM. Dikatakan demikian oleh karena terdapat kompetensi. Hanya Bawaslu yang memiliki kompetensi untuk mengadilinya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam banyak kesempatan penulis telah menjelaskan perihal kompetensi Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi tersebut. Terlebih lagi, penggabungan perkara dengan petitum pendiskualifikasian dan Pemungutan Suara Ulang jelas merupakan anomali hukum. Anomali hukum dimaksud menunjuk pada keganjilan, keanehan atau penyimpangan.

Terlepas dari itu semua, dalam kesempatan ini penulis mencoba menjelaskan perkara PAP-TSM yang kini akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Lanjut, dalam memahami pembuktian PAP-TSM, maka pendekatan ilmu pidana demikian signifikan dan strategis. Utamanya menyangkut hukum kausalitas. Hukum kausalitas mengarahkan pada pemahaman bahwa setiap akibat dari peristiwa tertentu merupakan hasil dari sebuah sebab.

Pembuktian kausalitas terhadap PAP-TSM sangat menentukan. Tindakan terstruktur dan sistematis harus memiliki kausalitas dengan akibat yang demikian masif. Perlu dipahami bahwa dalam PAP-TSM aspek kausalitas bersifat ganda, yakni secara internal dan secara eksternal. Secara internal, kausalitas menunjuk pada tindakan terstruktur berupa kesengajaan ganda/kolektif (double opzet) dengan adanya penyertaan (deelneming) dan tindakan sistematis dalam hal adanya perencanaan yang mengandung pemufakatan jahat (dolus premeditatus). Secara ekternal, kedua tindakan itu juga memiliki hubungan kausal dengan masifnya akibat, yakni perolehan suara. Kausalitas yang bersegi dua itu harus demikian cermat dan akurat untuk dibuktikan. Membuktikan dua kausalitas sekaligus menjadi keharusan dan demikian itu memang memungkinkan.

Tindakan terstruktur dan sistematis berkedudukan sebagai sebab. Adapun terjadinya migrasi suara baik berupa hasil kecurangan (fraud) atau kesalahan penghitungan suara (human error) yang menyebabkan pelonjakan perolehan suara yang masif menempati posisi akibat. Jadi yang pertama kali dilihat adalah akibatnya terlebih dahulu. Demikian itu memang harus ada, terjelma dan nampak. Tegasnya kepastian terjadinya akibat menjadi penilaian pertama. Namun demikian hal itu bukan sebagai langkah pertama dalam pembuktian.

Pasal 286 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), telah menentukan bahwa keberadaan pelanggaran TSM menunjuk pada unsur pebuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih yang dilakukan oleh Pasangan Calon. Penjelasan Pasal 286 menyebutkan yang dimaksud dengan menjanjikan dan/atau memberikan adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana dan tim kampanye Pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk memengaruhi Pemilih.” Memperhatikan ketentuan tersebut, maka delik penyertaan – yang didalamnya terkandung kesengajaan kolektif dan pemufakatan jahat – demikian signifikan dan strategis guna pembuktian.

Dalam ilmu hukum pidana, penyertaan merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana. Jadi, bukan perluasan terhadap perbuatan pidana. Dalam delik turut serta, terdapat dua jenis peserta. Pertama, mereka yang langsung berusaha untuk terjadinya peristiwa pidana. Kedua, mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan, yaitu mereka yang tidak langsung berusaha. Pada golongan pertama itu dinamakan auctores (urheber). Adapun golongan kedua disebut gehilfe. Urheber adalah yang melakukan inisiatif, sedangkan gehilfe sebagai pihak yang membantu. Pembagian dalam dua golongan tersebut dianut dalam Pasal 55 KUHP. Mereka yang termasuk golongan urheber adalah yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), yang turut serta (medepleger) dan yang membujuk melakukan (uitlokker). Pasal 56 KUHP menyebut mereka yang menjadi gehilfe, yaitu orang yang membantu (medeplichtige). Adapun pelanggaran yang berlaku secara sistematis menunjuk adanya pemufakatan jahat. Disini terdapat perjumpaan kehendak. Agradasi kesengajaannya dapat dipastikan dengan maksud (als oogmerk).

Dalam kaitannya dengan pembuktian, selalu dituntut adanya korespondensi dan tentunya dapat dibuktikan pelanggaran secara TSM, baik sebelum pencoblosan suara (ante factum) maupun sesudahnya (post factum). Postulatnya, “tidak ada akibat yang tergolong masif tanpa adanya tindakan terstuktur dan sistematis”. Tindakan secara terstuktur dan sistematis berkorelasi dengan perolehan suara yang demikian masif. Sebagai pengingat, dalam teori korespondensi (correspondence theory of truth) dikatakan, “suatu pernyataan-pernyataan adalah benar sepanjang berkorespondensi terhadap fakta. Suatu keadaan dikatakan benar, jika ada kesesuaian antara yang didalilkan dalam permohonan dengan fakta yang terjadi.

Pada perkara a quo, Pemohon 01 secara tegas menyebutkan adanya “pelanggaran terukur” oleh KPU yang meloloskan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden. Menyikapi hal ini, sepertinya itu memang dimaksudkan guna menghubungkannya dengan Presiden Jokowi, utamanya dalam hal pemberian Bansos dan yang sejenisnya kepada pemilih. Perlu ditegaskan, istilah pelanggaran terukur tidak dikenal dalam UU Pemilu. Jika memang dimaksudkan sebagai tindakan secara TSM, maka harus dibuktikan unsur perbuatan Pasangan Calon yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya kepada penyelenggara Pemilu (in casu KPU) guna kepentingan pencalonan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden. Begitu juga kepada pemilih dalam hal penerimaan janji dan/atau pemberian uang atau materi lainnya. Disini, harus pula dibuktikan siapa inisiatornya, kapan dan dimana dilakukannya janji dan/atau pemberian tersebut? Siapa orang yang menyaksikannya? Tidak cukup sampai disini, adakah data-data sebagai bukti lain yang akurat dan relevan guna mendukungnya? Kesemua itu tidak terungkap dalam masa persidangan. Khusus dalam hal unsur menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih, maka seharusnya dihadirkan perwakilan para saksi yang cukup memadai pada setiap TPS yang menerima janji dan pemberian tersebut. Dengan catatan pada TPS dimaksud terdapat perolehan suara yang signifikan guna memengaruhi penetapan suara nasional oleh KPU.

Kemampuan pembuktian PAP-TSM yang menunjuk pada aspek kausalitas yang bersifat ganda, baik secara internal maupun eksternal tidak terlihat dalam permohonan kedua Pemohon. Begitu pun dalam proses pemeriksaan persidangan. Pembuktian yang dilakukan oleh Pemohon Paslon 01 dan Paslon 02 terkesan samar atau kabur. Dalam kaitan ini kita diingatkan oleh postulat, “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores”, yang artinya bahwa dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya.

Selanjutnya, Pemohon 01 dan Pemohon 03 juga harus mampu membuktikan adanya dua parameter kausalitas yakni perjumpaan kesengajaan dan perencanaan (pemufakatan jahat) diantara para pihak yang terlibat, yakni Pasangan Calon dan/atau pelaksana dan tim kampanye Pemilu dengan penyelenggara Pemilu (in casu KPU). Pertama, harus dibuktikan adanya perjumpaan kesengajaan dengan maksud guna kerjasama mewujudkan perbuatan diantara para pihak. Kedua, harus juga dibuktikan adanya kerjasama yang didahului dengan perencanaan yang mengandung pemufakatan jahat secara matang dan tersusun stategi dan upayanya.

Sepanjang pemeriksaan persidangan, kedua parameter itu tidak tampak. Para Pemohon tidak mampu menghadirkan adanya alat bukti yang menerangkan perjumpaan kesengajaan dan pemufakatan jahat tersebut. Tidak adanya saksi yang memadai dan bukti lain, semisal bukti surat atau dokumen yang memberikan petunjuk adanya pemufakatan jahat. Termasuk pula tidak ada bukti yang menunjukkan adanya kesengajaan dengan maksud secara kolektif. Kesengajaan merupakan sikap batin (mens rea). Keberadaannya sebagai unsur subjektif akan menentukan adanya perbuatan (actus) reus. Disini pun ada hubungan kausal yang berujung pada akibat, yakni hasil perolehan suara secara masif. Keterangan para Menteri yang dihadirkan oleh Majelis Hakim ternyata telah mematahkan dalil adanya pebuatan konkrit dalam hal menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya.

Lebih lanjut, petitum yang menggabungkan pendiskualifikasian dan Pemungutan Suara Ulang tidak menggambarkan adanya korelasi antara pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Sepanjang pengetahuan penulis, pada tindakan terstruktur dan sistematis sebagai model kualitatif, melihat sebagai perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu). Adapun model kuantitatif menunjuk pada dampak/akibat yang masif, melihat sebagai perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie). Disini, selalu ada keterhubungan antara tindakan terstuktur dengan sistematis di satu sisi. Disisi lain terjalin hubungan kausalitas antara tindakan terstuktur dan sistematis dengan terjadinya akibat yang demikian masif tersebut.

Fakta yang terungkap di persidangan sama sekali tidak terlihat adanya korespondensi kedua pendekatan tersebut. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kesamaran pembuktian akan meredupkan beban pembuktian dan demikian itu berujung pada ditolaknya petitum oleh Mahkamah Konstitusi. Demikian dan semoga bermanfaat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button