PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGAMPUTASI TUNTUTAN YANG TIDAK PASTI
Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. ( Akademisi, Ketua Umum Forum Doktor & Ahli Hukum )
Kota Bogor , 20 April 2024
Perkara PHPU-Presiden tahun ini telah menyedot dan menyita perhatian publik. Namun sangat disayangkan banyak pihak yang tidak mengetahui atau sengaja menutup mata terhadap adanya kesalahan yang demikian fatal dalam permohonan dan petitum yang dimajukan oleh Paslon 01 maupun Paslon 03. Melalui Tim Hukum, Pelanggaran Administratif Pemilu yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis dan Masih (PAP-TSM) cenderung dipaksakan untuk diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) secara jelas dan tegas telah membagi kewenangan Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. Masing-masingnya memiliki kompetensi tersendiri dan demikian itu tertolak untuk dicampuradukkan.
Sejatinya, pembagian kewenangan tersebut merupakan bentuk keadilan secara proporsional. Menurut pandangan Islam bahwa keadilan adalah “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”. Kaidah ini menunjukkan bahwa di dalam keadilan pastinya mengandung kebenaran. Kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Disini tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Dengan demikian pembagian kewenangan Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan kaidah “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”.
Dugaan terjadinya PAP-TSM yang menunjuk pada tata cara, prosedur, atau mekanisme adalah mutlak kewenangan Bawaslu. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 460 ayat (1) juncto Pasal 463 ayat (1) UU Pemilu. Ditentukan juga sanksi administratif berupa pembatalan terhadap Paslon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU berdasarkan rekomendasi dari Bawaslu. Rekomendasi tersebut terhubung dengan adanya putusan Bawaslu tentang PAP-TSM.
Perihal kewenangan Bawaslu dalam hal terjadinya PAP-TSM juga dapat dilihat pada hubungan antara Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. Hubungan yang dimaksudkan disini adalah menunjuk adanya Laporan Pelanggaran Administrasi Pemilu. Hal ini diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 12. Dalam Peraturan Bawaslu tersebut, terlihat adanya dua kondisi terhadap Laporan Pelanggaran Administratif Pemilu dalam kaitannya dengan penetapan hasil perolehan suara Paslon Presiden dan Wakil Presiden secara nasional oleh KPU.
Pertama, terdapat permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua, tidak terdapat permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Jika sebelumnya terdapat permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sepanjang ada Laporan Pelanggaran Administratif Pemilu kepada Bawaslu, maka Bawaslu harus menghentikan laporan tersebut dan disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam sidang perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sebaliknya, jika tidak ada permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, padahal sebelumnya telah ada Laporan Pelanggaran Administratif Pemilu yang disampaikan kepada Bawaslu, maka Bawaslu, memeriksa, mengkaji, dan memutus terhadap laporan tersebut.
Perlu pula dicermati adanya kata “berpotensi” yang mendahului frasa “mengubah hasil perolehan suara”. Hal ini memberikan pemahaman bahwa Laporan Pelanggaran Administratif Pemilu harus berdampak secara masif dan signifikan terhadap perolehan suara Paslon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian adanya potensi yang dapat mengubah hasil perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU menunjuk pada Laporan Pelanggaran Administratif Pemilu. Potensi tersebut baru sebatas dugaan dan demikian itu berkorelasi dengan penetapan perolehan suara secara nasional oleh KPU. Ternyata, kedua Pemohon sama sekali tidak mengajukan laporan sebagaimana dimaksudkan. Dengan tidak adanya pelaporan PAP-TSM kepada Bawaslu oleh kedua Pemohon, maka demikian itu akan berimplikasi ditolaknya permohonan. Secara hukum, dugaan PAP-TSM telah kehilangan objeknya dan oleh karenanya dugaan pelanggaran tersebut dianggap tidak pernah ada. Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan serius, mengapa tidak dilakukan pelaporan kepada Bawaslu? Ada apa gerangan?
Selanjutnya, menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu telah pula ditentukan secara jelas dan tegas adanya kompetensi. Pasal a quo ditempatkan secara tersendiri dalam Bab III Perselisihan Hasil Pemilu yang menyatakan bahwa, “keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Frasa “hanya terhadap hasil penghitungan suara” bermakna adanya pembatasan dan demikian itu bersifat tetap. Pembatasan demikian sejalan dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yakni dalam hal memutus perselisihan tentang hasil Pemilu. Hasil akhir dari Pemilu tiada lain adalah penghitungan (perolehan) suara dan dengannya menjadi dasar keterpilihan Paslon Presiden dan Wakil Presiden.
Secara argumentum a contrario atau dalam ilmu fiqih disebut mafhum mukhalafah bermakna bahwa penetapan hukum bagi yang tidak disebutkan oleh teks (norma) berlawanan oleh yang disebutkan. Dengan kata lain, sesuatu yang tidak disebutkan, berlawanan dengan yang disebutkan dalam penetapan hukumnya. Terdapat dalil bahwa ketentuan hukum harus dilaksanakan berdasarkan sesuatu yang telah dipahami berasal dari susunan kalimatnya. Hukum yang tersurat tidak sama dengan hukum yang tersirat. Kata “hanya” merupakan bentuk peniadaan (nafiy) selain yang disebutkan dalam teks. Kalimat, “terhadap hasil penghitungan suara” adalah merupakan bentuk penetapan (isbat). Dengan demikian, tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut. Disini tidak boleh ada penemuan hukum (recthsvinding/ijtihad).
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang hanya terhadap hasil penghitungan suara merupakan bentuk keadilan korektif sebagaimana dimaksudkan oleh Aristoteles. Menurutnya, keadilan korektif yakni keadilan yang berkaitan dengan pembetulan yang salah. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penghitungan suara yang telah ditetapkan oleh KPU adalah jelas merupakan bagian dari keadilan korektif yakni melakukan pemulihan/pembetulan atas kesalahan perhitungan yang menyebabkan terjadinya migrasi suara secara masif dan signifikan memengaruhi penentuan terpilihnya Paslon Presiden dan Wakil Presiden atau untuk dilakukannya Pemilihan Suara Ulang. Sepanjang pengetahuan penulis, dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi tidak pernah ada alat bukti yang mampu menerangkan terjadinya migrasi suara tersebut secara kuantitatif dan paralel. Hal ini tentunya menjadi catatan khusus Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, menyangkut dalil penggunaan pelanggaran TSM pada perselisihan Pilkada untuk kemudian dijadikan dalil pada perselisihan Pilpres tidak dapat dibenarkan. Pelanggaran TSM pada perselisihan Pilkada adalah berbeda dengan Pilpres. Para pihak yang bersengketa dalam Pilkada dan Pilpres adalah dua hal yang berbeda. Selain itu cakupan TSM pada Pilkada tidak mungkin dapat disamakan dengan Pilpres. Terlebih lagi cakupan lokal dan nasional yang masing-masingnya memiliki perbedaan demikian signifikan dan oleh karenanya sangatlah mustahil dipersamakan. Pada kondisi demikian, tentu kita diingatkan adanya dalil, “mempersamakan dua hal yang berbeda adalah tidak benar dan sekaligus tidak adil”. Ketidakadilan akan timbul jikalau mereka yang sederajat tidak diperlakukan secara sederajat. Dengan kata lain, jika orang-orang yang tidak sederajat diperlakukan secara sama atau seolah-olah sederajat, maka akan timbul ketidakadilan. Menjadi jelas mempersamakan terjadinya pelanggaran TSM pada Pilkada dengan Pilpres adalah bentuk ketidakbenaran dan ketidakadilan. Demikian itu pastinya tertolak.
Lebih lanjut, mencermati diskursus publik dan adanya desakan kepada Mahkamah Konstitusi agar melakukan langkah progresif guna memberikan putusan pembatalan Paslon Presiden dan Wakil Presiden (in casu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka) atau hanya Gibran Rakabuming Raka dan Pemungutan Suara Ulang tidaklah dapat dibenarkan. Uraian di atas telah menjelaskan dan tentunya tidak perlu diulang kembali. Namun demikian, perlu diperhatikan adanya kaidah, “dar’u al mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al mashalih”, yang artinya menolak atau menghindari kerusakan (kemudharatan) harus didahulukan daripada menarik kebaikan (kemaslahatan). Berdasarkan dalil ini, putusan Mahkamah Konstitusi harus didasarkan pada alasan pencegahan timbulnya kemudharatan tersebut. Demikian itu harus menjadi pertimbangan yang utama.
Pada akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi akan mengakhiri persengketaan yang terjadi. Saat yang bersamaan rakyat membutuhkan kebersamaan kembali. Demikian pula dengan pemerintahan yang akan datang. Tidak ada lagi Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, yang ada adalah Kesatuan Permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar bangsa dan negara ini jauh dari mudharat dan selalu menghadirkan maslahat. Demikian, semoga bermanfaat.