Era Jokowi dan Karakteristik Pemimpin Kelanjutannya Menuju Disintegrasi Negara RI
Era Jokowi dan Karakteristik Pemimpin Kelanjutannya Menuju Disintegrasi Negara RI
Era Jokowi dan Karakteristik Pemimpin Kelanjutannya Menuju Disintegrasi Negara RI
Damai Hari Lubis ( Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 )
Jakarta, 30 Maret 2024
Masalah serius dan mendasar daripada nilai manusia terletak pada moral dan akhlaknya. Bangsa yang rusak moral (Immoral politics) tentunya tidak akan memilki harkat dan martabat yang mulia. Permasalahan moral itu sendiri tidak lepas dari perjalanan hidup manusia umumnya serta kerusakan moral itu biasanya lebih dulu menghinggapi moralitas pemimpinnya (leader behavior) yang tidak mencerminkan role model (suri tauladan).
Kedepan kepemimpinan nasional, bukan hanya Jokowi yang dirundung problematika latar belakang tuduhan pelanggar hukum selaku pengguna Ijasah Palsu dan janji-janji politik bohong yang berpuluh-puluh kali bahkan 100 lebih, namun lacur jika alhasil justru pola kepemimpinan Jokowi terus berkelanjutan dalam satu atau dua dasawarsa berikutnya?.
Anasir dari kepribadian kolektifitas bangsa dapat menjadi bahan studi pengamatan ilmu sosiologi dan politik oleh kaum civitas akademi, karena tragis justru Jokowi terpilih memimpin bangsa selama dua periode, tanpa publik mendapatkan kejelasan keterbukaan informasi publik sebagai hukum positif (ius konstitum) sistim hukum yang berkeharusan berlaku. Walau dampak tuduhan ijasah palsu, seorang WNI sudah dipenjarakan untuk kali keduanya. Hal ini merupakan anomali praktik hukum dan historis politik yang brutal di tanah air (brutal legal politics) di negara republik yang dasarnya Pancasila, yang memiliki makna subtansial, bahwa bangsa ini harus menjunjung tinggi asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun lacur, realitas mayoritas masyarakat bangsa ini melalui Pemilu Pilpres 2024 justru “kembali memilih bakal dipimpin oleh seorang Prabowo Subianto, individu yang juga mirip Jokowi, yakni memiliki (historis kriminal) cacat hukum, karena terbukti diberhentikan dari dinas kesatuan ABRI (TNI) atau militer akibat perilaku dirinya 26 tahun yang lalu telah melakukan perbuatan penculikan dengan kekerasan, hingga menewaskan beberapa aktivis dan hingga kini tidak ditemukan 13 orang para korbannya, sehingga status prabowo saat ini masih tercatat sebagai aktor intelektual kejahatan HAM.
Selanjutnya, gejala-gejala sosial daripada deskripsi diskursus politik dan hukum dengan gejala-gejala krisis yang terus berkembang, jika suksesi nasional akan kembali berkelanjutan dalam wujud embrio Prabowo dengan sosok pemimpin Gibran raka Bumi bin Joko Widodo yang sekiranya dilantik sebagai RI 2, Lalu tentunya ambisi politik Gibran akan mengarah kelak kepada posisi RI 1. Maka bisa dibayangkan pola kepemimpinan nasional bangsa ini ke depan akan lebih rumit serta kompleks.
Hanya isapan jempol, tentunya, jika Jokowi, Prabowo dan anak biologis dan ideologis-nya Gibran, jika eksplisit menyatakan keberlanjutan pola kepemimpinan kontemporer, hanya semata-mata demi pelaksanaan tatanan sistim hukum, ekonomi dan politik (ideologi) dalam kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik. Karena, menurut publik salah satu dari fungsi keberlanjutan Jokowi dan Prabowo serta Gibran, hanya demi regenerasi kekuasaan dan faktor safety “mereka” dan kroni yang punya banyak cacat hukum. Hingga memaksakan model sosok Gibran, sehingga Gibran diberi status oleh publik sebagai “anak haram konsitusi”, karena diawali dengan persyaratannya sebagai bakal cawapres pada pemilu pilpres 2024 yang belum cukup usia, namun lolos karena dilegitimasi melalui dirty politics (Legal defects) dengan kekuatan MK. (yudicative power).
Gibran selainnya juga tercatat subjek hukum terlapor di KPK. Sehingga kelak hukum dan penegakannya tentu bakal lebih rumit, rawan dan semakin jauh dari kesetaraan/inequivalent.
_Sebuah kewajaran jika banyak publik mempertanyakan, bagaimana bisa Indonesia yang rechstaat dengan makna, “segala sesuatu tindakan seluruh WNI tanpa terkecuali harus berdasarkan hukum (rule of law), kenyataannya pelaku kejahatan yang seharusnya dihukum dan dicabut hak politiknya sesuai ius konstitum (hukum yang berlaku), faktanya transparansi mendapatkan full support dari kelompok penyelenggara negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) menjabat RI1 dan RI 2 Sebaliknya pelanggar ius konstituendum atau sekedar cita-cita hukum atau sebatas “mudah-mudahan berlaku,” malah dipenjara bagai koruptor, lalu dicabut hak politiknya ?.
Sayangnya, diamnya mayoritas rakyat bangsa ini kepada penguasa yang seharusnya patuhi rule of law, malah identik berperan dalam pembiaran hukum yang dibolak-balik atau “obstruksi of justice” agar penguasa negara terus berkelanjutan berperilaku anomali, oleh penguasa kontemporer, hukum sekedar pasal-pasal diatas kertas tebal yang nyaris tak berguna.
Dan kini, seiring dengan semakin kerasnya suara penguasa tuk kecilkan “volume yang hakekatnya kumandang kepada manusia untuk berperilaku kebaikan menuju kemenangan dan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai teori tujuan bernegara yang termaktub di dalam
UUD 1945. Namun ternyata antitesis, ikut meregenerasi “pola penguasa yang melanggar ketentuan (ruler without rules), melalui pemilu pilpres 2024 sehingga step by step akan lahirkan keterpurukan di semua sektor kehidupan (ekonomi, hukum dan politik), wujud klimaks daripada moral hazard para pemimpin politik bangsa ini, dapat mengkoyak-koyak persatuan bangsa puncaknya dalam satu dasawarsa atau dua dasawarsa, jika kepemimpinan Joko Widodo berkelanjutan, tidak mustahil akan melahirkan disintegrasi Bangsa dan Negara RI. Dan daerah yang berpotensi high risk, prediksi penulis, bisa jadi disintegrasi dimulai dari berpisahnya wilayah di Pulau Kalimantan Bagian Timur Dan Sekitarnya.