Opini

“Bantuan Hukum” Majelis Hakim Kepada Gibran Vs Gugatan Di Pengadilan Dan MK Terkait Pilpres 2024

"Bantuan Hukum" Majelis Hakim Kepada Gibran Vs Gugatan Di Pengadilan Dan MK Terkait Pilpres 2024

“Bantuan Hukum” Majelis Hakim Kepada Gibran Vs Gugatan Di Pengadilan Dan MK Terkait Pilpres 2024

 

Damai Hari Lubis ( Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 )

 

Persyaratan pendaftaran CaPres-WaPres 2024 berdasarkan Pasal 13 Huruf q PKPU Nomor 19 Tahun 2023 : ” berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;”  masih berlaku saat KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabumi Raka, sebagai Pasangan Wapres dari Capres Prabowo Subianto, Rabu 25 Oktober 2023 yang kemudian akibat pendaftaran tersebut menerbitkan laporan publik lalu Ketua KPU. Hasim Ashari, disidang oleh DKPU dengan isi putusan, “Hasyim dinyatakan melanggar PKPU. No. 19/ 2023 disertai, sanksi keras yang terakhir dan harus dijalankan.”

Bahwa sebelum pendaftaran Pilpres 25 Oktober 2023 ada peristiwa hukum yang diketahui secara umum, bahwa Anwar Usman yang Semenda Jokowi/Paman Gibran, adalah Ketua MK yang mengadil perkara yang ada hubungannya dengan kepentingan Gibran, yang mengakibatkan batalnya Pasal 169 Huruf q Tentang Batasan Usia Capres-Cawapres 40 Tahun yang ada di UU. No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, sehingga Gibran yang masih berusia 37 Tahun dapat menjadi Cawapres.

Dampaknya Usman diproses dan disidang oleh MKMK dan dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik, dan diberi sanksi dicopot dari Ketua MK. dan juga dari Hakim MK.

Lalu HANYA oleh sebab KPU Belum merubah batasan usia untuk sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden harus berusia 40 Tahun Jo. Vide PKPU No 19 Tahun 2023 huruf q.“oleh karenanya Penerimaan Pendaftaran Gibran menjadi pasangan dari capres 01 (Prabowo) dipersoalkan di Meja hijau akibat temuan publik yang mengandung CACAT HUKUM.

Maka, saat ini problematika fakta hukum terkait Gibran tersebut, telah terjadi gugatan oleh Dua Pihak Di Dua Badan Peradilan yang Berbeda Kompetensi). yang kedua gugatan dimaksud merupakan representatif yang substansial sesungguhnya atas nama masyarakat bangsa ini, yang kecewa terhadap pelaksanaan Pemilu Pilpres 2024 yang banyak terang-terangan terdapat perilaku kecurangan oleh KPU Selaku Penyelenggara Pemilu dan Oleh Bawaslu, selaku badan Pengawas Pemilu, oleh karenanya melahirkan tuntutan-tuntutan hukum.

Satu pihak penuntutnya adalah dari perwakilan publik pemerhati penegakan hukum dalam kerangka Peran Serta Masyarakat (Penggugat PSM), lalu melakukan gugatan Perihal PMH/ Perbuatan Melawan Hukum, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/ PN melalui registrasi perkara Nomor 752/Pdt.G/2023/PN.PST. Sehubungan dengan Jo Vide PKPU No 19 Tahun 2023 huruf q.” Dan objek perkara in casu adalah karena isi ketentuan pada PKPU belum dirubah pada saat Gibran diterima pendaftarannya sebagai pasangan Capres Prabowo/02. Adapun pihak-pihak Tergugatnya adalah KPU, GIBRAN, BAWASLU DAN PRABOWO.

 

Dan Satu Pihak lainnya THN/Tim Hukum Nasional AMIN mewakili pasangan Capres 01. Oleh sebab merasa dicurangi oleh KPU dan juga terkait fakta hukum KPU telah dinyatakan keliru sehingga melanggar PKPU No.19 Tahun 2023 dan Hasyim Ashari selaku Ketua KPU yang nyata diberikan sanksi hukum oleh DKPU. Oleh karenanya THN AMIN mengajukan Gugatan SHPU/ Perselisihan Sengketa Hasil Pemilu ke MK terhadap KPU dengan Nomor Perkara 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024 tertanggal 21 Maret 2024

Konklusinya, bahwa posita materi gugatan dari Kedua Pihak di Pengadilan Negeri/PN maupun di MK, diyakini oleh penulis adalah menyangkut, “TIDAK ABSAHNYA GIBRAN YANG LOLOS MENJADI PASANGAN 02 (PRABOWO-GIBRAN)” namun perbedaannya gugatan yang diajukan oleh THN AMIN tergugatnya hanyalah KPU. Namun pastinya akan diikuti oleh beberapa pihak terkait, salah satunya adalah Pasangan Capres 02.

Namun, petitum Kedua Pihak dalam objek in casu, yakni terkait pencapresan Gibran Jo. PKPU. Maka kelak mudah dipatahkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat begitu pula kelak oleh Putusan MK dan menurut penulis bunyi pertimbangan serta bunyi putusannya pun bakal identik atau lebih kurang sama, keduanya akan bersandar pada putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang isinya telah merubah atau merevisi pada Pasal 169 Huruf q, perihal batas usia untuk pendaftaran menjadi capres dan cawapres.

 

I. Tentang Ilustrasi estimasi putusan oleh PN. Nomor 752/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst. dan putusan MK terhadap Gugatan SHPU dari THN Nomor 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024 tertanggal 21 Maret 2024.

“Bahwa keputusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang isinya merubah Pasal 169 Huruf q, perihal batas usia untuk pendaftaran menjadi Capres dan Cawapres adalah final and Binding atau satu kali dan mengikat bagai undang-undang, “sementara kekeliruan KPU yang oleh HANYA” menerima serta mengesahkan Gibran sebagai pasangan Capres 02,” walau terbukti oleh putusan DKP sebagai sebuah kekeliruan dan atau pelanggaran sehingga cacat hukum, sesuai yang disebutkan dalam posita gugatan/ permohonan merupakan hal lain, sehingga tidak dapat menggugurkan putusan MK a quo yang Final and Binding.

II. Ilustrasi Vonis Putusan oleh Majelis Hakim MK khususnya terkait posita petitum permohonan/ gugatan THN AMIN, baik terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilaporkan oleh THN AMIN ke Bawaslu maupun dan terhadap yang tidak disertai bukti adanya pelaporan ke DKPU putusannya adalah :

Bahwa bukti-bukti pelanggaran dan atau kecurangan yang dilaporkan oleh publik kepada Bawaslu tentang semua perilaku pejabat/ anggota KPU dan atau perilaku pejabat publik lainnya yang melanggar UU. Pemilu atau keberpihakan, dan termasuk laporan publik terhadap KPU dan terhadap Bawaslu kepada DKPU dan atau laporan THN AMIN terhadap KPU dan Bawaslu atas kecurangan dan atau pelanggaran dan atau pembiaran yang dilakukan, berikut alat bukti ( barang bukti, saksi dan ahli), namun ternyata KPU dan atau BAWASLU tidak dinyatakan bersalah dan tidak mendapatkan sanksi hukum melalui putusan, maka oleh sebab hukum tidak dapat dijadikan pertimbangan hukum oleh MK untuk menguatkan petitum Pemohon THN AMIN.

Dan, selebihnya terhadap kesemua bukti dan dalil beberapa posita yang Pemohon THN AMIN sampaikan disertai alat bukti ( barang bukti dan saksi-saksi dan Keterangan ahli) sebagai untuk membuktikan adanya perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU namun laporannya tidak ditindak lanjuti oleh BAWASLU Maka oleh karenanya posita yang ada sebagai perbuatan yang dapat diungkap atau dituntut pada lembaga peradilan lain selain MK Dan selanjutnya serta selebihnya terhadap RATUSAN PELANGGARAN yang dinyatakan dan tercantum dalam Posita namun tanpa alat bukti ( barang bukti dan saksi) tanpa lapor kepada Bawaslu dan atau kepada DKPU, maka Majelis Hakim menyatakan mengenyampingkan untuk dipertimbangkan.

III. Estimasi pertimbangan lain yang bakal menjadi putusan MK ?

Terhadap dalil posita THN AMIN lainnya yang menyentuh logika hukum atau menolak hitungan matematis terhadap jumlah suara (kuantitas) semata-mata untuk sebuah kemenangan dengan nafikan kepastian hukum dan keadilan atau pinggirkan kualitas hukum penyelenggaraan dengan banyaknya temuan kecurangan yang dilakukan oleh KPU.dan atau Pembiaran Bawaslu serta cawe-cawe Jokowi atau pembangkangan sistim hukum justru dilakukan oleh Jokowi dan kroni,selaku penguasa pemerintahan negara tertinggi dan para penguasa tinggi negara, yang semestinya role model.

Maka adapun bentuk “bantuan hukum”  oleh Majelis MK. Kepada Termohon KPU. atau kepada hal yang menyangkut pencawapresan Gibran yang dianggap cacat hukum oleh Pemohon THN AMIN/01 adalah :

“Bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 mengkonstruksikan proses penyelesaian hukum pada proses pemilu, baik pelanggaran maupun sengketa proses merupakan domain lembaga penyelenggara pemilu, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu ran atau DKPU), sehingga Majelis MK. Tidak tidak perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang disampaikan oleh Pemohon. Dan Bahwa, terkait penyelesaian perselisihan hasil pemilu, sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 475 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 secara eksplisit mengatur bahwa keberatan yang dapat diajukan ke MK hanya keberatan hasil jumlah pemungutan suara.

Atau, mungkin oleh akibat proses sengketa SHPU dari tanggapan dan atau jawaban yang disertai argumentasi dalil hukum dari para pihak ( Pemohon, Termohon dan Para Terkait), perihal penolakan terhadap MK. Agar “tidak boleh berlaku atau bertindak sebagai Majelis Kalkulator”, Maka akan ada pertimbangan hukum daripada Majelis MK. yang isi putusannya menyatakan:

“Bahwa ada pun terkait UU. RI. Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang dinyatakan oleh (Para) Pemohon dengan dalil-dalil yang berharap agar MK tidak hanya mempertimbangkan bobot SHPU dari sisi matematis atau sebutan inisial Hakim MK dengan sebutan Mahkamah Kalkulator, yang pertimbangannya hanya melulu kuantitas, lalu menafikan kualitas daripada banyaknya bukti-bukti pelanggaran dan atau pembiaran dan pembangkangan (obstruksi) hukum yang dilakukan oleh KPU dan para pejabat publik lainya. Maka terhadap hal tersebut butuh revisi atau perubahan lebih dulu khususnya pada pasal (sesuai dalil THN 01 dan atau TKN 03) melalui Judicial Review/JR Bukan melalui SHPU a quo yang sedang berjalan dikarena diluar kewenangan dan diluar kontruksi hukum MK , dan terkait acuan hukum SHPU diajukan yang menyentuh UUD. 1945. Bukan kompetensi MK. melainkan domain legislasi MPR RI.

 

 

Penutup

 

Bagaimana dengan Petitum TKN 03 ?

Bahwa sepanjang muatan posita gugatan SHPUnya adalah sama dengan Posita yang diajukan oleh THN AMIN. Maka vonis MK dapat diyakini juga berakhir sama dengan Isi Vonis SHPU yang diajukan THN AMIN, inklud catatan disenting opinion diantara Para Hakim MK. Sehingga Estimasi atau Prediksi isi Putusan Majelis MK adalah menolak Permohonan gugatan SHPU dari THN AMIN dan TKN Ganjar Prabowo dan Mahfud MD.

Lalu bagaimana Gugatan PSM di PN. Jakarta Pusat terjadi dading, antara Tim Hukum/ Penggugat Prinsipal dengan Tergugat KPU atau dengan Tergugat Gibran Cs apakah secara mendasar dan umumnya (substantive and general) bangsa ini diuntungkan atau malah dirugikan?,

Atau bagaimana jika ternyata gugatan Penggugat PSM dikabulkan atau dimenangkan untuk seluruhnya ? Bahwa mengingat durasi proses Banding dan Kasasi yang sekian lama, dan oleh karena ketatanegaraan Organisasi Negara Republik Indonesia tidak boleh terhenti, dan demi hukum serta tuntutan Konstitusi Dasar/ UUD. 1945 Prabowo dan Gibran yang sudah ditentukan oleh Keputusan KPU dan dikuatkan oleh putusan MK maka keduanya harus mengisi perangkat jabatan sebagai Kepala Negara RI 1 dan RI 2 Karena di Bulan Oktober 2024 Presiden RI Joko Widodo orang tua Gibran telah habis masa jabatannya, Apakah dibutuhkan pola subordinasi, mana yang hendak publik pilih ? Salus populi suprema lex esto (Hukum yang Tertinggi adalah Melindungi Kepentingan Rakyat) atau suksesi Nasional Prabowo-Gibran,Tentu diantaranya merupakan pilihan sulit dan butuh kekuatan rame-rame ?.

Namun kebenaran yang berkepastian hukum adalah semat-mata menunggu hasil dari putusan MK yang kelak dibacakan Maka tentu yang terbaik adalah wait and see.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button