DaerahPeristiwa

Aliansi Pemuda Indonesia Gelar Aksi Unjuk Rasa , “Catatan Hitam Pemilu 2024”

Aliansi Pemuda Indonesia Gelar Aksi Unjuk Rasa , "Catatan Hitam Pemilu 2024"

Aliansi Pemuda Indonesia Gelar Aksi Unjuk Rasa , “Catatan Hitam Pemilu 2024”

 

 

Solo, 22 Maret 2024

 

Aliansi Pemuda Indonesia mengelar aksi unjuk rasa di depan Balaikota Solo, pada hari ini Jumat, (22/03/2024),berdasarkan pantauan redaksi persuasi.id ,aksi tersebut dimulai sekitar jam 13:35 wib

 

 

 

Mereka membawa beberapa spanduk di antaranya bertuliskan : Jokowi Mundur, Meminta Jokowi Mundur Ato Dimakzulkan, Tolak Politik Dinasti Meminta Jokowi Mundur, Tolak Presiden Rakus dan Sadis Kacung Oligarki, Tolak Rezim Tidak Punya Hati,
Tolak Politik Dinasti, Bersihkan Kabinet dari Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,dll.

 

 

 

 

 

Aksi demontrasi didepan Balai Kota Solo tersebut juga diwarnai aksi bakar ban.

 

 

Koordinator Aksi Aliansi Pemuda Indonesia, Salman Alfarisy membacakan, Catatan Hitam Pemilu 2024.

mengacu pada ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998, proses pemilu wajib dilaksanakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).

Adapun catatan hitam dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang berpotensi menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan Pemilu Indonesia ke depan adalah sebagai berikut.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang Langgar Etika.

Sebagaimana telah kita ketahui, salah satu pelanggaran yang berkaitan dengan Pemilu kali ini adalah Putusan MK tentang batas usia capres/cawapres yang penuh kejanggalan. Sebelumnya,berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu, batas usia capres/cawapres adalah minimal 40 tahun. Pasal ini digugat pada tahun lalu ke Mahkamah Konstitusi, salah satunya oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru. Singkat cerita, gugatan tersebut dikabulkan sebagian oleh MK, yang mengubah ketentuan dalam pasal tersebut menjadi “berusia paling rendah 40 atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Hal pertama yang patut dikritisi dalam kasus ini adalah posisi salah satu hakim MK, Anwar Usman, yang merupakan saudara ipar dari Jokowi, sekaligus paman dari Gibran yang pada akhirnya dicalonkan sebagai cawapres pada pemilu kali ini. Posisi ini menjadikannya berada dalam posisi yang erat dengan conflict of interest, yang kemudian memang terbukti, di mana Usman dinyatakan melanggar kode etik dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) nomor 2/MKMK/L/11/2023. Pelanggaran tersebut berkaitan dengan asas ketidakberpihakan dan asas integritas yang seharusnya dimiliki hakim MK.

 

2. Integritas Penyelenggara Pemilu.

Masih berkaitan dengan putusan MK terkait batas usia Capres dan Cawapres, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan pada 5 Februari 2024 bahwa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terbukti telah melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024. Pelanggaran etik terbukti telah dilakukan para komisioner karena tidak mengindahkan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan revisi aturan prosedur terkait syarat calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Sebagai akibat dari tindakan para komisioner tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari dikenakan sanksi berupa peringatan keras terakhir, sedang enam orang komisioner lainnya dikenakan sanksi peringatan keras Putusan DKPP ini menjadi bukti sahih bahwa keputusan MK terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Republik Indonesia tidak mengindahkan aspek etis. Lebih penting lagi, hal ini memperkuat bukti bahwa Pemilu 2024 tidak memiliki integritas. Penyelenggara Pemilu, yang seharusnya tidak terpengaruh oleh kepentingan politik praktis, justru malah terlibat dalam konflik kepentingan.

3. Potensi Abuse of Power dan Mal administrasi dalam Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) berupa gubernur, bupati, dan walikota akan dilakukan serentak pada tahun 2024, berakibat pada kekosongan jabatan kepala daerah di beberapa daerah sejak tahun 2022 . Mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014, pengangkatan pejabat (PJ) kepala daerah pada masa transisi menjelang Pilkada serentak ini kemudian dilakukan oleh Presiden (untuk Gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati/Walikota). Namun demikian, MK menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bahwa mekanisme pengangkatan pejabat kepala daerah harus dilakukan secara transparan, jelas, dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. sepanjang 2022–2024, Presiden Jokowi telah melakukan pengangkatan PJ Gubernur di 23 Provinsi di seluruh Indonesia. Selain itu, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Indonesia, Tito Karnavian, presiden juga berpengaruh besar dalam penunjukan total 182 PJ Bupati atau Walikota. Sayangnya, penunjukan PJ kepala daerah ini diduga dilakukan secara sepihak dan tidak transparan. Tito dan Jokowi tidak mematuhi putusan MK yang meminta pengangkatan pejabat harus dilakukan secara terbuka, taat pada peraturan pemerintah daerah dan masyarakat daerah, dan taat peraturan teknis, agar penunjukan bersifat adil. Karena itu, Ombudsman Republik Indonesia menyatakan proses penunjukan pejabat oleh Presiden dan Mendagri dianggap tindakan maladministrasi.
Berdasarkan Pasal 416 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, syarat pemilu satu putaran adalah pasangan calon terpilih memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara total dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Berdasarkan investigasi Feri Amsari yang diungkapkan dalam film dokumenter “Dirty Vote” , jumlah DPT dari wilayah dimana terjadi maladministrasi ini mencapai 140 juta suara, atau setara dengan lebih dari 50% suara pemilih di Indonesia. Beliau menemukan bahwa beberapa PJ Gubernur terpilih pernah memiliki keterkaitan yang erat dengan Presiden Jokowi, seperti PJ Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin yang merupakan mantan Deputi Kesekretariatan Presiden (2021) dan PJ Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana merupakan mantan Kapolresta Surakarta pada saat Jokowi menjabat sebagai walikota Solo pada tahun 2010.
Penunjukan PJ Gubernur ini sangat berpengaruh besar terhadap jumlah suara pemilih yang terkumpul. Pertama, PJ Gubernur berpotensi besar terhadap mobilisasi birokrasi dan izin lokasi kampanye. Beberapa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) adalah berupa kampanye terbuka mendukung pasangan calon tertentu dan perintah tindakan seperti pencabutan baliho calon presiden seperti yang terjadi di Bali. Selain itu, telah beredar pakta integritas yang ditandatangani oleh PJ Bupati Sorong untuk memenangkan pasangan calon tertentu.

 

4. Dugaan Politisasi Bansos.

Dugaan adanya permainan politik uang dan politisasi bantuan sosial (bansos) juga terjadi dalam Pemilu 2024. Anggaran bansos pada tahun tersebut mencapai 496 T Rupiah, melebihi anggaran yang ada pada masa pandemi COVID-19. Perlu dipahami bahwa bansos merupakan langkah cepat untuk mengayomi masyarakat yang kurang mampu. Namun, tingginya anggaran yang disediakan membuat timbul dugaan motif politik tertentu.

Deputi III Kepala Staf Presiden, Edy Priyono menyampaikan bahwa pemberian bansos berupa bantuan langsung tunai (BLT) berjudul mitigasi risiko pangan terkait EL Nino dengan total anggaran Rp 11,2 triliun pada Februari 2024 bukan bagian dari kontestasi politik. BLT El Nino merupakan bansos yang bersifat insidentil di tengah kenaikan harga pangan (CNBC, 2024).

Pada kesempatan lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga membenarkan bahwa penyaluran bansos tersebut guna memitigasi risiko pangan. Ia juga menegaskan bahwa program bansos seperti BLT merupakan instrumen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang keberadaannya sudah dibahas bersama seluruh fraksi partai politik di DPR RI.
Kendati demikian, nyatanya pembagian bansos telah ditunggangi motif politik oleh pejabat negara sendiri. Hal ini dibuktikan dengan video yang beredar, menampilkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada tanggal 16 Desember 2023 lalu yang menyampaikan bahwa bansos tersebut merupakan pemberian Presiden Jokowi, maka peserta diminta mendukung Gibran dalam Pilpres 2024 sebagai putra Jokowi. Hal serupa juga terjadi pada saat penyaluran bansos 16 Januari 2024, di mana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta para penerima untuk berterima kasih kepada Presiden Jokowi.

Ekonom Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Rusli Abdullah menjelaskan bahwa utak-atik anggaran jelang masa Pilpres atau Pemilu untuk program BLT memang polanya ditujukan untuk memenuhi kepentingan politik dari pihak yang tengah memegang kekuasaan pemerintahan — mendukung program-program yang bisa mendongkrak elektabilitas.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan juga mengatakan pemerintah sangat mungkin menyalahgunakan pemberian BLT sebagai alat untuk dipertukarkan dengan loyalitas elektoral. Gurnadi berpendapat meskipun BLT dengan sistem rapel pada Februari 2024 ini dapat memberikan manfaat besar bagi penerima, di sisi lain hal ini menjadi indikasi bahwa bansos dijadikan alat untuk meningkatkan elektoral mengingat tidak ada urgensinya secara substansi. Praktik politisasi yang dilakukan oleh pejabat negara ini harus dikecam karena sejatinya bansos adalah mandat konstitusi dan merupakan instrumen APBN, bukan dibiayai oleh partai politik tertentu.

 

1. ketidaknetralan Penyelenggaraan Pemerintahan.

Sebelum melihat bukti-bukti ketidaknetralan penyelenggara negara atau aparat pemerintah di dalam pemilu, kami memahami netralitas sebagai suatu asas yang mengatur aparat pemerintah untuk tidak memihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Pada Aparatur Sipil Negara (ASN), asas netralitas tersebut mengikat dan diatur di dalam Pasal 2 huruf f UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Tidak hanya ASN, namun TNI, POLRI, kepala desa, perangkat desa dan anggota badan permusyawaratan desa juga diwajibkan untuk mematuhi asas netralitas, terkhususnya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Aturan tersebut termaktub di dalam UU №7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bahkan Pasal 494 UU Pemilu menjelaskan bahwa setiap aparatur sipil negara, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah. Namun sepertinya sanksi pidana tidak memberikan jaminan netralitas aparat pemerintah.
Netralitas aparat menjadi sorotan setelah asosiasi kepala desa dan unsur perangkat desa diduga terlibat dalam mobilisasi dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Sinyal tersebut terlihat ketika mereka menggelar acara bertajuk “Silaturahmi Nasional Desa 2023” di Indonesia Arena, Jakarta, Minggu (19/11/2023), yang dihadiri oleh salah satu calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka. Meski tidak menyampaikan dukungan politik secara langsung, tetapi sejumlah peserta yang hadir mengenakan pakaian yang berisi kalimat dukungan politik kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. (Kompas, 2023). Tentu tindakan tersebut tidak memperlihatkan etika politik yang baik bahkan menurunkan kualitas demokrasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu.
Tak hanya perangkat desa, netralitas aparat TNI dan Polri juga sempat menjadi sorotan menjelang Pemilu 2024. Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri mengharuskan Polri bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur hal yang sama. Tugas pokok lembaga tersebut adalah menjaga keamanan, ketertiban, dan kelancaran proses demokrasi. Meskipun secara formal pimpinan kedua institusi negara telah berkomitmen untuk menjaga netralitas, namun aparat di lapangan diduga terlibat dalam kegiatan politik praktis untuk memenangkan calon tertentu. Bahkan beberapa kali aparat TNI dan Polri diduga melakukan berbagai upaya intimidasi kepada pihak-pihak yang menyuarakan pemilu yang adil, jujur dan demokratis (Pribadi, 2024).
Selain itu, pada Pemilu 2024 ini kita juga menyaksikan ketidaknetralan Presiden dan para menteri. Mulai dari memanfaatkan program (bansos), fasilitas negara, hingga terlibat secara aktif dalam kampanye terbuka untuk mendukung pasangan calon tertentu. Pasal 282 dan 283 UU No. Tahun 2017 tentang Pemilu juga telah mengatur larangan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. Kami menilai sikap Presiden dan para menteri yang memihak kepada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden jelas telah mencederai demokrasi. Menjaga etika dalam kontestasi politik penting dilakukan oleh pejabat negara untuk mewujudkan pemilihan umum yang adil dan bermartabat. Ketidaknetralan aparat pemerintah di Pemilu 2024 telah mengikis kualitas demokrasi Indonesia yang telah dipupuk selama lebih dari dua dekade terakhir.
Netralitas Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam Pemilu 2024 menjadi sorotan dalam Sidang Komite Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, Selasa 12 Maret 2024.
Pertanyaan dilontarkan anggota Komite HAM PBB dari Senegal, Bacre Waly Ndiaye kepada perwakilan Indonesia yang hadir. Dia menyoroti pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024.

 

Sementara itu, Humas aksi, Endro Sudarsono mengatakan aksi tersebut didasari beberapa alasan. Pertama mengenai putusan dari MKMK yang dinilai ada pelanggaran etik.

Kedua putusan DKPP yang menyebut Ketua KPU melanggar etis karena pasca putusan MKMK tidak membuat aturan selanjutnya hal ini yang membuat Ketua KPU dilakukan penghukuman atau sanksi dari DKPP, kata Endro kepada awak media.

Dirinya juga melihat catatan pengangkatan kepala daerah yang berdampak gangguan beberapa pihak. Ia juga menyoal soal bantuan sosial, di mana program tersebut diklaim oleh paslon tertentu.

Lalu, terakhir aparat negara tidak boleh mengikuti netralitas dari pemilu. Temuan dari kita beberapa yang lain, ASN, TNI, Polri ada catatan. Sehingga dari PBB menanyakan netralitas Jokowi, katanya.

 

Atas catatan tersebut, dirinya mengatakan hal itu harus disampaikan kepada Jokowi. Selain itu, pihaknya juga mendukung gugatan hak angket dan laporan ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal hasil Pemilu 2024.

Kita mendukung hak angket dan MK yang saat ini sedang berjalan. Mengenai pembakaran ban ini sebagai wujud untuk menyalakan semangat teman-teman di sini,pungkas Endro.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button