Tindakan Hukum Terhadap Jokowi MPR RI, Kejaksaan- Polri-KPK Tidak Boleh Saling Tunggu, Jika Terbukti, Jokowi Bisa Dituntut Hukuman Mati
Tindakan Hukum Terhadap Jokowi MPR RI, Kejaksaan- Polri-KPK Tidak Boleh Saling Tunggu, Jika Terbukti, Jokowi Bisa Dituntut Hukuman Mati
Tindakan Hukum Terhadap Jokowi MPR RI, Kejaksaan- Polri-KPK Tidak Boleh Saling Tunggu, Jika Terbukti, Jokowi Bisa Dituntut Hukuman Mati
oleh : Damai Hari Lubis ( KabidHum DPP KWRI/ Komite Wartawan Reformasi Indonesia )
Jakarta, 13 Maret 2024
Jokowi dapat ditangkap oleh pihak aparatur yang berwenang,Oleh karena Jokowi sebagai presiden merupakan kepala pemerintahan tertinggi yang wajib untuk melulu melaksanakan sistim hukum dan berlaku equity (adil).
Adapun prinsip hak-kewajiban Jokowi dan setiap WNI adalah equality yaitu sama dimata hukum, termasuk pertanggungjawaban hukum akibat perbuatan hukum yang disebabkan atas tidak adanya langkah dan atau kebijakan hukum yang semestinya dilakukan (pembiaran terhadap adanya delik) oleh Penguasa/ aparatur pejabat publik.
Sehingga ketika Jokowi mengetahui ada peristiwa permufakatan jahat dari individu maupun sekelompok orang yang sedang atau telah melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik, maka wajib seketika itu juga Jokowi melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik, dalam hal ini Jokowi dapat memerintahkan Jaksa Agung dan atau Kapolri atau melakukan koordinasi kepada KPK,Dan hak dan kewajiban ini, sama halnya (juga) membebani seluruh mayarakat WNI yang mengetahui adanya peristiwa tindak pidana, maka wajib melapor kepada aparatur negara (KPK atau Penyidik Kejaksaan) dan atau ke Kepolisian yang terdekat dari keberadaan lokasi dan saat peristiwa (locus dan tempus delicti).
Maka resiko hukum bagi seorang Jokowi selaku presiden, aparatur pengemban amanah pelaksana hukum tertinggi negara Salah satunya, tehadap Hak dan Kewajiban dirinya untuk melaporkan terhadap adanya peristiwa tindak pidana, namun jika dirinya tidak menindak atau berbuat sesuatu sesuai ketentuan hukum dan terlebih fasilitas hukum yang Presiden miliki, termasuk hak prerogatif, malah nyatanya “justru Jokowi melibatkan diri dalam pelanggaran hukum dengan unsur “Pembiaran”.
Hal terkait pelanggaran dengan “Delik Omini atau gebod,” (pembiaran) atau kontra keharusan,maka para penegak hukum di NRI seharusnya berlaku Profesional, proporsional (objektif) dan presisi, andai memiliki bukti yang cukup, tentunya demi kepastian hukum (rechtmatigheid), para pen di tegak hukum (Kapolri dan Jagung RI) bisa memproses hukum Jokowi, bahkan dengan hak yang dim iliki penyidik/ aparatur penegak hukum, secara normatif (KUHAP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ), dapat melakukan penahanan dengan alasan subjektifitas.
Karena sebagai pribadi dan jabatan, tentunya jika Jokowi didapati terpenuhi faktor daripada unsur- unsur seseorang yang dapat dihukum, maka Jokowi harus tunduk kepada asas fiksi hukum (presumptio iures de iur) yang bermakna, “semua orang dianggap tahu tentang eksistensi hukum/ undang-undang berikut sanksinya”.
Maka, sosok pribadi dengan Jabatan Presiden, secara fakta hukum mutatis mutandis, Jokowi telah memenuhi Asas Hukum yang terdapat pada Kitab/Hukum Pidana Formil dan Norma-Norma didalam Kitab Hukum Pidana Materil.
Hal persyaratan untuk Jokowi dihukum adalah bermula berdasarkan syarat hukum yang terdapat dalam Kitab Hukum Pidana Formil, yakni Pasal 108 ayat (2) Kuhap, yang menyatakan :
“setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat/melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa/hak milik wajib melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik”.
Lalu di juncto-kan kepada Asas yang terdapat didalam Kitab Hukum Pidana Materil, ketika Jokowi melakukan pembiaran terhadap perilaku delik yang Ia ketahui, tentunya Jokowi dapat dipersalahkan melanggar pasal tindak pidana pembiaran sesuai Pasal 421 KUHP.
Karena isi daripada Pasal 421 KUHP menyatakan, “bahwa seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu,diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan”.
Lalu, jika pembiaran oleh Jokowi menyentuh pasal delik yang menyangkut obstruction of justice (Pasal 21 UU. TIPIKOR/ Pasal 221 KUHP), maka ancamannya bisa mencapai 20 tahun atau seumur hidup, lalu jika dijunctokan terhadap tuduhan Publik atas Penggunaan Ijasah Palsu S 1 dari UGM yang ancaman hukumannya dapat mencapai 8 Tahun (Pasal 264 KUHP) Juncto Ancaman hukuman sesuai Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi, oleh sebab server rekapitulasi Hasil Pemilu, dilarang dilakukan di negara asing (luar negeri) Juncto Vide Undang-Undang Informasi Publik Juncto Undang-undang ITE.
Belum lagi jika Jokowi terbukti melanggar Nepotisme terkait Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 yang dapat ditengarai adanya putusan MKMK terhadap Anwar Usman Ketua MK yang ancaman nepotismenya maksimal 12 Tahun Penjara.
Belum lagi tuduhan publik bahwa melalui diskresi yang Ia terbitkan, Jokowi ditengarai layaknya komprador, yang dimaknai oleh hukum sebagai perilaku khianat terhadap bangsa dan negara, tuduhan publik yang tentunya tak main-main perihal komprador ini, terkait kebijakan Jokowi mengundang orang asing (Singapura dan China Komunis), dengan kebijakan yang memberikan mereka hak tinggal serta kepemilikan tanah (HGU/HGB) di IKN, Senajam, Kaltim, untuk selama 170 hingga 190 tahun, Dan dari sisi pandang yuridis formil, seluruh tuntutan Jokowi sebagai aparatur negara hukumannya dapat ditambah 1/3 dari ancaman hukuman yang terberat (Juncto Pasal 52 KUHP).
Maka jika semua pasal ini dikenakan sebagai tuntutan kepada Jokowi di Badan Peradilan. Tentu nya tuntutan oleh (Jaksa Penuntut Umum) JPU terhadap diri Jokowi dapat menggunakan Pasal Berlapis, oleh karena sistim hukum Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), Juncto Tuduhan materil terhadap pasal-pasal yang menjadi tuntutan, bisa jadi Jokowi mendapatkan tuntutan vonis hukuman mati, minimal tuntutan seumur hidup.
Dan termasuk cukup berat sanksi bagi pelaku penyertanya tindak pidana (delneming) yang melakukan bersama-sama dengan Jokowi
Pertanyaan publik, apakah Jokowi hingga nekad melakukan Cawe-Cawe serta dugaan melakukan pelanggaran Undang-Undang Pemilu (UU RI No 7 Tahun 2017) saat kontes Pilpres dan Pileg 2024 ini (yang juga memiliki sanksi hukum pidana), karena spesial memang untuk proteksi terhadap ancaman hukuman yang bakal Ia (Jokowi) terima, sehingga Jokowi, memaksakan diri melakukan antisipasi politik hantam kromo, agar suksesi kepemimpinan nasional jatuh kepada para kroninya ?.
Maka berawal dari dan berdasarkan kewajiban dirinya selaku Presiden untuk mematuhi klausula yang terdapat pada Pasal 108 ayat (2) KUHAP atau definisi saksi terdapat pada Pasal 1 angka 26 KUHAP jo. Vide Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 Tentang perluasan makna saksi (testimonium de aiditu) yang dapat didengar keterangannya oleh hukum atau oleh penegak para penegak hukum, Penyidik Polri, Jaksa, Pengacara dan Para Hakim ,Jika terbukti Jokowi dituntut dengan berbagai pasal-pasal dalam artikel ini,Jokowi memang layak mendapat vonis hukuman MATI.
Untuk itu, MPR RI yang anggotanya adalah termasuk WNI yang merupakan para subjek hukum yang tidak terlepas daripada sistim konstitusi dasar yang equality dan equity (persamaan hak dan keadilan) jika mengetahui adanya hal-hal terkait berbagai pelanggaran, apakah tidak dapat menggelar sidang impeachment tanpa mempertimbangkan terhadap proses ketentuan hukum yang diatur oleh tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (Undang-Undang MD 3) khusus terhadap diri seorang Jokowi, sebagai implementasi diskresi hukum ketatanegaraan, oleh MPR RI dengan merefleksikan pola rule breaking (terobosan hukum), oleh sebab, perilaku penyelewengan hukum ini, selain dugaan multi kejahatan dan notebene dilakukan oleh seorang Jokowi yang menjabat Presiden RI Terlebih jika MPR RI mengacu dengan mempertimbangkan, hal urgensinya ketahanan dan persatuan nasional (Pertahanan, Kekuatan dan Keutuhan Bangsa dan Negara RI.), khususnya diskresi Jokowi yang mendatangkan orang-orang WN Asing China Komunis/RRC apakah tidak bersinggungan dengan larangan Penyebaran faham komunis, vide Juncto Pasal 107 Kuhp, Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 1999 Juncto TAP MPR RI No XXV Tahun 1966 ? Oleh karenanya tentu kesemua dugaan pelanggaran oleh Jokowi merupakan deskripsi sebuah kejahatan yang super ordinary crime, ditambah, dengan hajat terbuka yang Ia akui sebagai politik cawe-cawe, demi khusus pada proses pemilu pileg dan pilpres 2024 saat ini, publik tidak mengetahui apakah Jokowi memiliki izin cawe-cawe yang dikeluarkan oleh KPU. Dalam pelaksanaan agenda Pemilu, yang wajib dilaksanakan oleh Penyelenggara Negara/ ad hoc KPU sesuai UUD 1945 Juncto Undang-Undang Pemilu serta mesti dilaksanakan secara Jujur dan Adil.
Serius, bad attitude politics (leadership) Jokowi membuat komplikasi dengan wujud berbagai proses melahirkan gejala-gejala kerusakan moral dan politik ( moral hazard), kerusakan di sektor penegakan hukum dan ekonomi yang terjerembab (tidak meroket) dan kesemuanya notoire feiten atau tuduhan dengan bukti kuat, dan tuduhan-tuduhan yang ada merupakan tuduhan banyak para pakar dan para tokoh bangsa dan sebagian besar publik/ WNI, semua hal terkait viral dibanyak warta media dan media sosial, baik konvensional maupun mainstream (televisi, media online dan video youtube, twitter, WhatsApp, instagram, telegram, termasuk di Facebook, Dll), serta tuduhan oleh banyak publik menyangkut adanya unsur kesengajaan oleh seorang Jokowi yang jabatannya adalah Presiden RI.
Dan Jokowi pun nyata-nyata tidak mau tunduk (bergeming) kepada keharusan tanggung jawab moralitas terhadap produk hukum MPR RI yaitu TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Oleh karenanya, berkaca kepada pepatah hukum Yunani Salus Populi Suprema Lex Esto ) atau “Hukum yang tertinggi adalah demi melindungi kepentingan Rakyat” dan pepatah ini berkesesuaian dengan perspektif logika hukum yang Indonesia anut, Maka kenapa MPR RI Tidak mau melaksanakan rule breaking sesuai filosofis Yunani dimaksud yang juga identik dengan amar makruf nahi mungkar !?.
Maka seluruh bangsa ini serempak rame-rame perlu support MPR RI Kapan lagi, Segerakan Demi kepentingan bangsa dan negara, hukum harus ditegakkan, konstitusi tidak boleh dinafikan oleh segelintir para penguasa yang terduga berperilaku zalim.