Kampus Dan Sikap Kritis Terhadap Dugaan Penyimpangan Bernegara Oleh Rezim
Kampus Dan Sikap Kritis Terhadap Dugaan Penyimpangan Bernegara Oleh Rezim
Kampus Dan Sikap Kritis Terhadap Dugaan Penyimpangan Bernegara Oleh Rezim
Oleh : Pierre Suteki
Semarang, 6 Febuari 2024
Dosen dan Mahasiswa termasuk manusia yang memiliki kebebasan untuk freedom of speech, freedom of expression dalam segala bidang termasuk dalam hal politik. Mereka itu zoon politicon dalam the open society. Kritik pada the open society tidak boleh dianggap sebagai enemy, termasuk kritik oleh mahasiswa kepada presiden sekalipun karena di perguruan tinggi, seluruh civitas akademika dijamin memiliki kebebasan akademik yang bertanggung jawab.
Selanjutnya pertanyaan yang perlu diajukan adalah: atas kritik terhadap presiden atau penyelenggara negara lainnya, apakah ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh? Ada 2 perspektif jawabannya, tergantung dari perspektif mana.
a. Perspektif rezim (otoriter/demokratis)
KUHP (310-315), UU No. 1 Tahun. 1946, Pasal Penyebaran Berita Bohong, UU ITE. Penguasa dalam hal ini karena Presiden dan pejabat lainnya merasa dihina, difitnah dan adanya penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran dalam perspektif pelapor.
b. Perspektif ilmuwan
Sah jika diterapkan ke dalam the open society, KRITIK bukan lawan. Kritik dijawab dengan argumentasi sanggahan. Seharusnya kritik kepada penguasa dilihat sebagai sesuatu yang NORMAL. Namun, akan dinilai tidak normal bahkan mengancam STATUS QUO jika rezim diktator, represif.
Apakah pernyataan sikap, petisi dan sejenisnya tersebut dapat disebut sebagai sebagai kritik? Jika sebagai kritik maka seharusnya rezim penguasa juga tidak boleh antikritik mengingat mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika kampus juga mempunyai tugas sebagai the agent of change. Berapa banyak peristiwa hukum dan politik di negeri ini berubah karena kiprah para mahasiswa yang peduli dengan berbagai ketimpangan sosial di hadapannya.
Kritik sepedas apa pun yang dilakukan oleh covitas akademika tidak boleh dihadapi dengan balasan berupa intimidasi atau pernyataan presiden yang terkesan mengabaikan kririk, seruan moral atau pun berupa petisi. Apabila aksi perguruan tinggi tersebut akan berakhir dengan pemberian sanksi terhadap dosen dan mahasiwa terkait, maka sulit untuk dikatakan bahwa perguruan tinggi masih memiliki otonomi.
Dalam Penjelasan Umum Statuta UI, misalnya disebutkan bahwa:
“Misi utama pendidikan tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Agar misi tersebut dapat diwujudkan, maka perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi harus BEBAS dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apa pun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi, sehingga Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dapat dilaksanakan berdasarkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.”
Sejalan dengan UI, pada Penjelasan Statuta Undip juga ditegaskan bahwa Undip meyakini sepenuhnya bahwa fungsi dan komitmen sebagai penyelenggara pendidikan tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjujung tinggi kebenaran. Oleh karena itu Undip dalam menyelenggarakan tridharma perguruan tinggi yang didasarkan pada kebebasan akademik dan nonakademik harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apapun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi. Otonomi dan kemandirian akan menjadikan Undip tetap menjadi perguruan tinggi yang nirlaba, namun tetap terjamin mutu pendidikan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektifitasnya.
Selanjutnya ditegaskan bahwa:
“Tridharma Perguruan Tinggi di Universitas Indonesia dijalankan berdasarkan otonomi perguruan tinggi. Universitas Indonesia menjalankan pengelolaan perguruan tinggi yang otonom sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum dengan berlandaskan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas dan efisiensi, meritokrasi akademik, layanan prima, akses berkeadilan, dan keberagaman. Dengan kemandirian yang dimiliki, Universitas Indonesia sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum perlu tetap berperan sebagai KEKUATAN MORAL yang memiliki kredibilitas untuk mendukung pembangunan nasional”.
Di samping penjelasan umum tersebut, kita sering mendengar slogan tentang OTONOMI PERGURUAN TINGGI, yang meliputi:
1. Otonomi Keilmuan
2. Kebebasan Akademik
3. Kebebasan Mimbar Akademik Profesor
Pertanyaan kita, mungkinkah ada otonomi perguruan tinggi ketika para “petinggi” tertawan oleh hegemoni kekuasaan? Ketika perguruan tinggi sudah terhegemoni oleh kekuasaan, maka sangat sulit untuk mengharap tugasnya dalam merohanikan ilmu, yakni pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth.
Dua Muka Hadapi Kritik Rakyat
Diakui atau tidak, dampak dari beberapa kebijakan yang tidak merakyat yang diproduksi penguasa telah memicu penentangan sebagian masyarakat. Wajar jika kalangan mahasiswa sebagai agen perubah pun merasa resah dan menyuarakan curhat kritisnya. Namun, sering kali apa yang dilisankan oleh penguasa tak sesuai dengan tindakan. Di satu sisi menyatakan rindu didemo (dikritik), namun realitasnya, berbagai perangkat hukum telah disiapkan untuk memberangus kebebasan berpendapat.
Lip service seperti ini menunjukkan muka duanya penguasa. Pun sekaligus menguak hipokrisi demokrasi, sebagai sistem politik tumbuh dan berkembangnya rezim. Demokrasi hipokrit melahirkan rezim hipokrit adalah keniscayaan tak terbantahkan. Jargon kedaulatan rakyat hanyalah utopia. Ide kebebasan dan HAM yang diagung-agungkan pun sekadar mimpi. Justru dengan ide kebebasan ala demokrasi inilah yang menjadi titik kritis untuk dimainkan pengembannya sesuka hati. Jadilah kebebasan berstandar ganda. Lahirlah penguasa suka-suka kami (SSK). Pun karakter rezim yang antikritik. Kebebasan terkesan hanya milik penguasa dan orang (kelompok) yang berada di lingkaran tahta, bukan bagi kaum oposan yang berdiri di seberang istana penguasa.
Jika ‘pengkhianatan’ terhadap hak-hak rakyat terus berlangsung, maka hakikatnya rezim dan demokrasi tengah bunuh diri yang pelan namun pasti akan mengantarkan pada kematiannya yang hakiki. Begitulah kerapuhan sistem hidup buatan manusia. Penuh kelemahan, keraguan dan ketidakjelasan dalam memberikan aturan. Jika telah terbukti keburukannya, akankah rezim dan sistem ini terus dibela dan dipertahankan?
Menyikapi fenomena reaksi terhadap kritik dosen dan mahasiswa terhadap kekuasaan, masyarakat kampus harus konsisten pada tugas utamanya. Sekali lagi saya katakan bahwa, tugas kampus adalah merohanikan ilmu pengetahuan. Rohani itu berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan AKAL. Akal inilah yang mendasari mengapa seorang ilmuwan harus berkarakter RADIKAL. Narasi saya tentang RADIKAL adalah: RAmah terDIdik beraKAL. Artinya “critical thinking” adalah cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim bahkan kalau perlu berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut. Itu baru bisa disebut kampus yang merohanikan ilmu. Bila tidak, sebenarnya kampus itu tidak ubahnya seperti “kepanjangan tangan” rezim.
Seorang ilmuwan mesti mengutamakan akal dalam bersikap, berpendapat dan bertindak. Ilmu tanpa praktik hanya menjadi macan kertas. Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan. Sedang praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka tugas utama kampus adalah merohanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk ruhani. Dan, itulah kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading.
Oleh karena itu, kampus itu harus:
1. Menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan;
2. Menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan;
3. Mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan.
Akhirnya perlu perhatikan pula tentang multiflyer effect atas kritik, seruan dan petisi oleh UGM misal kepada Presiden Jokowi, misalnya, ternyata peristiwa itu berbuntut pada semakin munculnya keberanian kampus lain dan kelompok masyarakat lainnya untuk mengkritik dugaan penyimpangan atau inkonsistensi rezim. Telah dan akan ada sekitar 29 perguruan tinggi negeri dan swasta yang mengajukan kritik, seruan serta petisi terhadap rezim yang sekarang berkuasa. Dan hal ini tidak dapat dianggap enteng oleh rezim Jokowi meskipun para dosen dan mahasiswa mengatakan bahwa yang dilakukan hanya sebatas gerakan moral. Meskipun gerakan moral, namun gerakan ini akan bisa menjadi bola salju yang mampu menumbuhkan kesadaran politik dan hukum rakyat Indonesia untuk melakukan pembangkangan sipil (civil disobidience).
Dalam pandangan saya, kampus hendaknya tetaplah berkarakter RADIKAL. Ramah, Terdidik dan Berakal. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berakhir pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut “micek”, yakni membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial yang tengah terjadi di hadapan matanya. Lalu masihkah kita berharap bahwa kampus dapat menjadi “the agent of change” dalam mengoreksi penyimpangan penyelenggaraan kehidupan politik, hukum dan ekonomi serta peradaban suatu bangsa yang selama ini telah dibuktikan?
Tabik!