Opini

PETISI GERAKAN MORAL DARI KAMPUS

PETISI GERAKAN MORAL DARI KAMPUS

PETISI GERAKAN MORAL DARI KAMPUS

 

Oleh Seorang Alumnus ASLI Universitas Gadjah Mada )*

 

Jakarta, 2 Febuari 2024

Hari-hari ini marak Gerakan Moral dari Kampus yg mengingatkan Penguasa Negeri ini utk kembali ke Jalan yg benar, tidak lagi sesat pikir menyalahgunakan kekuasaannya utk melanggengkan dinasti politiknya. Dimulai dari UGM & UII Jogja, kemudian diikuti UI Jakarta, berturut-tutut kemudian UnKhair Ternate, UnAnd Padang, ULM Banjarmasin, UnHas Makassar dan Insya Allah juga akan diikuti oleh Civitas Akademika Kampus-kampus lainnya yg masih peduli di seluruh Indonesia.

Gerakan Moral kali ini menarik, karena biasanya Gerakan dari Kampus dimulai atau diinisiasi oleh Mahasiswa, bukan oleh Dosen apalagi Guru-guru Besarnya (yg rata2 sudah dalam tataran “Comfort-Zone”) atau beliau-beliau sebenarnya banyak yg ” Camat” alias Cari Selamat akibat khawatir dgn Posisi dan Jabatannya kalau terlibat Gerakan-gerakan semacam ini. Wajar mengingat hal tsb tampak banyak “dikondisikan” di berbagai kampus, semacam NKK-BKK utk Mahasiswa yang diterapkan jaman Orde Baru.

Bagi Universitas Gadjah Mada, Kampus yg sudah sejak 19 Desember 1949 berdiri di Jogja ini, memang Gerakan kali ini sebenarnya bukan yg pertama. Selain saat Reformasi 1998 dan tahun-tahun sebelumnya sejak jaman Orde Lama (OrLa) dan Order Baru (OrBa), di Rezim ini saja setidaknya sudah 3 (tiga) kali Gerakan sejenis, mulai dari Seminar “Budaya Malu” di bulan Oktober 2023, Penganugerahan Gelar “Alumnus Paling Memalukan” oleh BEM-KM UGM beberapa waktu lalu hingga Para Guru Besar turun gelanggang menyuarakan sendiri Petisi Moral tersebut kemarin (31/01/24).

Secara global Gerakan Mahasiswa memang bukan khas dari Indonesia saja, karena sebagaimana pernah ditulis oleh Philip G Altbach tentang Gerakan mahasiswa di Eropa Barat & Amerika Utara sudah ada sejak tahun 60-an hingga 80-an, demikian juga yg ditulis oleh Arthur Levine, Keith R Willson, Raymond Boundon, Gianni Statera dsb di Kanada, Amerika Serikat, Jerman Barat, Perancis dan berbagai belahan dunia lainnya. Rata-rata mereka bergerak melawan kedzaliman dan penindasan di negaranya masing-masing yang mana kemudian bersatu dengan masyarakat, bahkan kaum buruh bersatu melawan tirani seperti dekade sebelumnya.

Di Indonesia sendiri sejak Jaman Hindia Belanda tahun 1908 dan 1928 pergerakan Pemuda dan Mahasiswa sudah nampak, kalau dari kampus misalnya dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), School tot Opleiding van Inlandsche ArtsenĀ (Stovia) di Jakarta, Sekolah di Surabaya, Kampus di Bogor dsb. Artinya Gerakan Moral dari kampus ini niscaya memang akan selalu terjadi bilamana kondisi sebuah negara sudah tidak lagi dirasakan baik-baik saja, atau bahkan sudah bisa dikatakan “out of the track” (keluar jalur) akibat ada penyimpangan yang dilakukan oleh Rezim yang berkuasa.

Itulah sebabnya kenapa kemarin di Jogja saat menyampaikan Petisinya, Prof Koentjoro (Guru Besar Psikologi UGM) memimpin dgn menyanyikan Lagu “Hymne Gadjah Mada” ciptaan Sutasoma yg diaransemen RB Sunarno yg artinya sangat dalam. Bagaimana tidak, Hymne yg terdiri atas 2 stanza ini memang sebenarnya ditujukan kepada seluruh Keluarga Besar UGM yang terdiri atas Mahasiswa (yang masih atau pernah kuliah) dan juga Alumnus (yg lulus atau “lolos”) dari UGM. simak Syair lengkap stanza 1 & 2 Hymne tsb dibawah ini :

(Stanza pertama)
_Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua_
_Kuberjanji memenuhi panggilan bangsaku_
_Di dalam Pancasilamu jiwa seluruh nusaku_
_Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Indonesia_
—-
(Stanza Kedua)
_Bagi kami almamater kuberjanji setia_
_Kupenuhi dharma bakti tuk Ibu Pertiwi_
_Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku_
_Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara_

Jadi seandainya saja ada orang yg tidak layak utk menyanyikan (atau dinyanyikan) Stanza kedua-nya, mungkin dia memang tidak akan tersentuh ketika mendengar Stanza kedua tsb dinyanyikan, meski oleh Para Profesor dan Guru Besarnya. Apalagi kalau diharapkan kemudian dia tergerak untuk merubah sikapnya, karena sebagaimana istilah dalam Bahasa Jawa yang sering ditulis, kalau “Watuk” (=Batuk) memang bisa diobati, tetapi kalau “Watak” (=Tabiat) akan sulit diubah karena tidak ada Obatnya.

Hal ini juga bisa berarti dia tidak akan terlalu menganggap Gerakan Moral ini, atau setidaknya hanya mengatakan “… biasa dalam Demokrasi …” padahal justru Makna dari Gerakan Moral ini sangat dalam, sedalam Makna di Hymne diatas jika memahaminya. Hal yg sama juga tampak dari berbagai statemen Politisi yg menikmati kondisi sekarang, dimana mereka mengatakan “Jangan membesar-besarkan Gerakan Moral yg tidak ada apa-apanya” (katanya).

Mungkin mereka-mereka yang saat ini tertutup mata (dan hatinya) tersebut sudah tidak lagi bisa merasakan apa yang diderita okeh Masyarakat dalam hampir satu dasa warsa terakhir ini, dimana harga-harga kian meroket sedangkan dulu yg dijanjikan adalah Ekonominya yang meroket. Ini kalau dibiarkan bisa jadi -kata Prof Koentjoro di berbagai media kemarin- akan timbul Chaos di masyarakat yang dampaknya justru sangat buruk bagi semua pihak.

Kesimpulannya, apakah Petisi dan Hymne Gadjah Mada tersebut dapat menyembuhkan (Watuk atau Watak) ? Juga apakah Gerakan dari Kampus-kampus lain dapat juga ikut bergelora? Wallahu Lam, karena Gerakan Moral semata-mata adalah mengingatkan kembali kepada Etika, bukan sekedar Letterlijk Hukum yg bisa jadi memang tidak dilanggar (apalagi kalau Aturan Hukumnya sudah dilanggar / diubah) dulu sebelumnya. Semua kembali kepada kita, Selamatkan Indonesia …

) *Penulis, Dr KRMT Roy Suryo, M.Kes* Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB, Namun kali ini menulis selaku Alumnus ASLI UGM (S1 Komunikasi & S2 Magister Perilaku & PromKes), juga S3 UNJ.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button