Gemoy Semakin Letoy
Oleh : Yusuf Blegur
Bekasi, 8 Januari 2024
Dua kali debat capres, hanya mengumbar amarah dan penjelasan yang tak berdasar data dan fakta di lapangan. Terperosok kubangan sejarah hitam, ia sedang mempermalukan dirinya sendiri sembari mengumumkan ke publik, bahwa kegagalan dan mungkin penyimpangan kewenangan telah menjadi kesehariannya.*l
Debat Capres ke-2 seperti menampilkan seorang pemimpin yang sarat kecerdasan sedang berhadapan dengan orang yang identik dengan kemarahan.
Ditonton ratusan juta rakyat, untuk kali kedua ada capres yang begitu emosional. Merasa dipermalukan dihadapan publik, sikap temperamen ditunjukan sebagai kontemplasi dari ketidakmampuan berdebat.
Bukan karena tidak punya kemapuan bicara di depan banyak orang, tapi memang tak lagi bisa membantah fakta-fakta yang ada hanya dengan sekedar retorika. Rekam jejak yang buruk, menempatkan sosoknya sebagai capres yang dianggap tidak punya kapasitas dan integritas. Terlebih ketika terpojok saat capres lainnya mengangkat soal nilai-nilai dan etika kepemimpinan. Alhasil, rasa malu, serba salah dan akhirnya perilaku reaksioner yang muncul. Menahan kegeraman dan rasa kesal hingga terkesan ada murka di wajahnya.
Seketika branding gemoy yang susah payah dibangun dan dipaksakan akhirnya runtuh dalam panggung debat capres. Tak ada lagi joget-joget, tak ada lagi pasang kuda-kuda dan tak ada lagi ajakan sorak-sorai yang provokatif. Boleh jadi sudah kehilangan semangat dan perlahan mulai muncul sikap optimis yang kian tipis. Capres itu justru malah terlihat semakin tak terkendali, hanya emosi dan sekali lagi emosi dalam jiwanya.
Kasihan capres yang lanjut usia dan kesehatannya semakin terus menurun. Keadaan mental dan fisiknya tak lagi mampu mengikuti ritme dinamika pilpres 2024. Konstelasi dan konfigurasi politik yang begitu tinggi dalam kontestasi capres, sungguh sangat menyiksa pikiran dan jiwa capres langganan gagal itu. Tekanan dan ambisi saling menyalip seiring syahwat kekuasaan, namun sayang yang terjadi justru figurnya semakin hancur saat usia menjelang uzur.
Gemoy tal lagi ceria, Gemoy tak lagi gembira dan bahkan gemoy tak tahu harus berbuat apalagi. Tua dan renta yang didesain menggunakan tagline Milenial, kini telah berhadapan dengan situasi yang aral. Tak bisa lepas dari perilaku emosional, performansnya di debat capres terlanjur didapuk khalayak seperti seorang pembual dan pandai memainkan peran antagonis dalam sebuah panggung politik teatrikal. Kasihan, ia tersiksa diperbudak ambisinya sendiri. Membidik suara potensial gen-z hingga rela memainkan peran Gemoy, namun apadaya kontradiksi yang didapat. Si Gemoy energinya terkuras habis oleh cengkeraman kejahatan HAM dan kejahatan lingkungan melalui proyek tanam singkong panen jagung. Lebih miris lagi langganan capres ini terus diterjang pelbagai proyek pembelian barang bekas , kepemilikan ratusan ribu hektar tanah serta penghianatan terhadap pengorbanan rakyat karena tak tahan menjadi oposisi, seperti pernah diungkit capres lainnya. Gemoy kini hanya bisa pasrah, hanya bisa berharap beruntung mendapat kompensasi kegagalan capresnya. Entah jabatan, entah fasilitas atau bahkan gelontoran uang panas hasil berjudi capres. Ya hanya capres itu dan Tuhan yang tahu. Rakyat hanya bisa tertawa dan tersenyum tersipu, menyaksikan Gemoy penampilannya kini semakin letoy.