Terkait Perilaku Pengungsi Rohingya Lakukan Perkosaan, Mesti Pisahkan Antara Pelaku Delik, Dan Sisi Kemanusiaan
Terkait Perilaku Pengungsi Rohingya Lakukan Perkosaan Mesti, Pisahkan Antara Pelaku Delik, Dan Sisi Kemanusiaan
Terkait Perilaku Pengungsi Rohingya Lakukan Perkosaan, Mesti Pisahkan Antara Pelaku Delik, Dan Sisi Kemanusiaan
Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
Jakarta, 15 Desember 2023
Silahkan publik membuka asas legalitas tentang, asas nasional pasif, ada diundang – undang apa dan dipasal berapa lalu hubungkan dengan Pancasila dan makna pada sila ke – 2 Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dan Pasal 28G UUD 1945 dan Konvensi Pengungsi 1951.
Apa makna hukum pidana berlaku secara pasif ?
Asas Perlindungan ( Nasional Pasif ) secara pasif adalah asas legalitas sesuai sistim hukum positif NRI, tentang perlindungan terhadap kepentingan nasional, yang memungkinkan undang-undang pidana berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana yg berhubungan dengan keamanan dan integritas negara.
Asas Hukum Nasional Pasif, tercantum Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 TAHUN 1946 Tentang KUHP
Maka, jalankan teori dan tegakkan hukum, agar dapat melahirkan fungsi keadilan, kepastian dan daya guna.
Negara ( Pemerintah Penyelenggara Negara Pusat RI ) mesti bijaksana, memisahkan antara pelaku kriminal, atau para pelaku tindak pidana dan para pengungsi lainnya yang berperilaku taat hukum dan dalam kondisi terdzolimi oleh negaranya, sehingga butuh perlindungan hukum. Dan pemerintahan penguasa negara rezim now, wajib melepaskan diri dari hipokritisasi politis dengan pola meng – eksploitisasi, sebuah ” gejala – gejala politik yang preseden saat rezim now ” atau sekedar alih isu menutupi pelaksanaan ( jika ada ) kecurangan Capres – Cawapres 2024 oleh oknum – oknum politisi, dengan tujuan ingin melepaskan diri dari pertanggungjawaban mereka terhadap hukum nasional dan hukum Internasional.
Konvensi Terkait Status Pengungsi, yang dikenal sebagai Konvensi Pengungsi 1951, adalah sebuah perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Apakah NRI terikat dengan konvensi a quo ? *Indonesia tidak terikat.*
Namun oleh sebab konstitusi NRI oleh selain sisi kemanusiaan.dan dalam hubungannya dengan ideologi pancasila dalam pemaknaan sila ke – 2 Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dan Pasal 28G UUD. 1945 dan Konvensi Pengungsi 1951, lalu kemudian nyata – nyata Pemerintah RI telah memberikan kewenangan kepada UNHCR ( United Nations High Commissioner for Refugees ) untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.
Lalu realitanya ? Pemerintah RI yang berkoordinasi dengan Pemda setempat, dapat menggunakan semua dana yang diterima untuk merespon kebutuhan para pengungsi dan masyarakat sekitar yang menerima pengungsi.
Perlu publik ketahui program – program UNHCR dan para mitra kerja swasta saat ini di Aceh dan lokasi – lokasi di mana para pengungsi ditampung sepenuhnya pada zona wilayah RI , asal pendanaannya merupakan sumbangan dari negara – negara anggota PBB dan para donatur lainnya ( mitra kerja sektor swasta ). Dan UNHCR tidak menerima atau menggunakan kontribusi finansial apapun dari Pemerintah Indonesia untuk mendanai respons pengungsi di Indonesia.
Semua bantuan dan layanan yang diberikan oleh UNHCR kepada pengungsi adalah bebas biaya sepenuhnya.
Asal pendanaan UNHCR yang menggunakan dan berasal dari seluruh kontribusi dari negara-negara anggota PBB dan sektor swasta lainnya, diawasi secara ketat oleh PBB dan menjalani audit-audit pihak ketiga.
Dan sejak awal kedatangan pertengahan November 2023 pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar Pemerintah RI membuat dan mengeluarkan kebijakan politik ” menerima para pengungsi Rohingya tentunya hasil koordinasi dengan Pemda Aceh, tempat pengungsi Rohingya, dan termasuk tentunya dapat saja menampung sumbangan baik dari pemerintah daerah Aceh, maupun individu untuk melanjutkan upaya dalam membantu pengungsi Rohingya di Aceh, yang lebih dari 75% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
*Terpenting, jangan sampai ada faktor kesalahan atau kekeliruan penggunaan alokasi dana atau jangan sampai justru dana bantuan – bantuan dikorupsi oleh para aparatur atau bahkan individu relawan yang ditunjuk dan dipercaya ? Tentu hal lain ini perlu proses invesigasi dan keberlakuan UU. Tipikor dan merujuk asas hukum nasional pasif bagi siapapun pelanggarnya*
Atas diterimanya pengungsi Rohingya di tanah air ( Aceh ) sejumlah 1543 orang, UNHCR menyatakan apresiasi, dengan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang telah mengidentifikasi lokasi penampungan bagi para pengungsi yang mendarat di Aceh.
Setelah pemindahan dan penempatan pengungsi ke lokasi pengungsian di Aceh, UNHCR harus terus bekerja sama dengan para mitra kerja ( pemda dan para relawan ) untuk membantu memenuhi kebutuhan para pengungsi, termasuk makanan, air minum, air bersih, sanitasi, pengobatan dan layanan kesehatan.
UNHCR juga diyakini, telah melakukan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan Pemerintah Indonesia, masyarakat setempat, mitra kerja, pendukung, dan donor untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi. Maka selain penegakan hukum tanpa pandangbulu ( ekualitas ) yang terpenting dapat menjalin solidaritas dan kemanusiaan yang sama bagi para pengungsi saat ini dan apa yang mesti dilakukan di Pemerintah RI dan UNCR di masa depan, apakah statusnya akan dinaturalisasi ? Bagaimana dampak sosial politiknya, ini tentu kajian dngan domein pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, serta pertimbangan matang terkait geologi politik, jika diberikan hak kewarganegaraan ( naturalisasi) atau kah sebaiknya ditampung dinegara lain yang lebih cukup berkemampuan dan lebih memenuhi persyaratan finansial.
Maka hendaknya permasalahan harus lebih kompleks dibuka secara transparansi, tidak boleh ada faktor yang ditutup – tutupi dan tidak menjatifikasi perilaku beberapa individu dari sebuah kelompok ( pengungsi ) seolah perilaku kolegial atau digeneralisir, apakah adanya tindak krimininal dari individu – individu hanya sebagai tameng dari beberapa faktor penyalahgunaan wewenang serta kewenangan, lalu menyasar mengkambinghitamkan atau melegalisasi pengusiran tanpa perkemanusiaan atau jangan sampai bantuan didapat, namun pengungsi diusir.
Maka dibutuhkan pelaksanaan peran penyelenggara negara khususnya pemerintah pusat agar lebih intens untuk penanganan pengungsi Rohingya dengan segala problematikanya sesuai dengan prinsip – prinsip good governance.