TPUA Akan Laporkan Ketua Mahkamah Konstitusi
TPUA Akan Laporkan Ketua Mahkamah Konstitusi
TPUA Akan Laporkan Ketua Mahkamah Konstitusi
Jakarta, 13 Desember 2023
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo menolak (tidak dapat dikabulkan ) pengajuan pelaksanaan ulang perkara pengujian undang-undang Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang diajukan oleh Prof. Dr. Eggi Sudjana, SH.,Msi, Dkk Tim Pembela Ulama dan Aktivis. adapun keputusan tersebut berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim Mahkamah Konstitusi yang digelar pada hari Selasa tanggal 5 Desember 2023, dinilai tidak lazim karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Surat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 5998/HP.07.01/12/2023 tanggal 6 Desember 2023, Mahkamah Konstitusi menjelaskan mereka ( Hakim Mahkamah Konstitusi ) menjelaskan alasan ditolaknya pengajuan pelaksanaan ulang perkara pengujian undang-undang Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Bahwa berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 tidak dapat dipisahkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah terbuka untuk umum pada tanggal 29 November 2023.
Lalu, Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 tersebut telah secara jelas dan tegas diuraikan dalam pertimbangan hukum yang pada pokoknya antara lain : … [3.12.2] Bahwa terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati bagian
pertimbangan Putusan MKMK Nomor 2/2023, hlm. 358, yang menyatakan: “Namun demikian, Putusan 90/PUU-XXI1/2023 tersebut telah berlaku secara hukum (de jure). Dalam hal ini, Majelis Kehormatan harus dan tetap menjunjung tinggi prinsip res judicata pro veritate habitur dan tidak boleh memberi komentar bahkan menilai substansi putusan dimaksud oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.”
Dengan demikian, penegasan dari pertimbangan Putusan MKMK dimaksud telah membuktikan bahwa MKMK tidak sedikitpun memberikan penilaian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum, tetapi justru menegaskan bahwa Putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat. Oleh karena itu, hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009, adanya Putusan MKMK pada bagian kesimpulan pada hlm. 380, yang menyatakan:
1. Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
2. Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.
3 …
Oleh karena itu, hal tersebut membuktikan bahwa MKMK telah berpendirian, penilaian sah dan tidaknya Putusan yang disebabkan adanya pelanggaran kode etik khususnya berkaitan dengan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (S) UU 48/2009, tidak dapat diterapkan untuk menilai putusan dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi termasuk, in casu menilai sah atau tidak sahnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XX1/2023.
(3.12.3) Bahwa selanjutnya berkenaan dengan konsekuensi yuridis dari pertimbangan hukum Sub-paragraf (3.12.2) di atas tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejalan dengan pendirian MKMK dalam Putusannya Nomor 2/2023 tersebut. Oleh karena itu, jika menurut Pemohon adanya putusan MKMK yang menyatakan oleh karena salah satu Hakim Konstitusi telah terbukti melanggar etik dan berkesimpulan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (S5) UU 48 2009 dan Putusan MKMK No. 2/2023, ketentuan Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK serta Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tersebut tidak serta merta dapat dibenarkan.
(3.134) Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana pada Sub Paragraf (3.13.3) di atas, oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon dan dengan pertimbangan sebagaimana pendirian Mahkamah pada sebagian besar putusan-putusan sebelumnya yang berpendirian pada umumnya berkenaan dengan penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang undang, sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, terhadap persoalan dalam permohonan a guo-pun, Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai dan merumuskannya.
Bahwa selanjutnya berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana pada angka 2 di atas, Mahkamah Konstitusi pada Putusan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 telah berpendirian bahwa Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah putusan yang diputuskan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusannya final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa tanggal 5 Desember 2023 memutuskan permintaan sebagaimana perihal surat Saudara adalah tidak lazim karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, permintaan Saudara tidak dapat dikabulkan, tutup surat yang ditadantangai oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Terkait Surat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 5998/HP.07.01/12/2023 itu,Tim Pembela Ulama dan Aktivis ( TPUA ) Akan Melakukan Upaya Hukum
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima redaksi persuasi.id , pada hari Rabu (13/12/2023) Tim Pembela Ulama dan Aktivis ( TPUA ) menyampaikan beberapa hal-hal.
Bahwa berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023 tidak dapat dipisahkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 29 November 2023.
Lalu, Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 tersebut telah secara jelas dan tegas diuraikan dalam pertimbangan hukum yang pada pokoknya antara lain : (3.12.21 Bahwa terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati bagian pertimbangan Putusan MKMK Nomor 2/2023, him. 358, yang menyatakan : …
Dan selanjutnya yang tidak perlu kami TPUA kutip ( namun cukup terlampir ).
Maka pada intinya, Saudara Suhartoyo, S.H.,M.H. Melalui suratnya telah menolak persidangan ulang terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang secara hukum dan fakta hukum berhubungan dengan batas Usia Gibran RR. Bin Joko Widodo ( Jokowi Presiden RI. ), dan Hakim Ketua MK selaku Ketua Majelis memiliki hubungan hukum sebagai paman dari Gibran RR dan atau sebagai Adik Ipar ( semenda garis kesatu ) yang prinsipnya, bahwa Anwar Usman dilarang menyidangkan objek perkara a guo in casu, sesuai sistem hukum yang berlaku positif ( ius konstitum ) hukum yang harus dan wajib berlaku, namun fakta hukumnya, Gibran RR. Bin Jokowi, melenggang oleh KPU. menjadi cawapres dari pasangan sah Capres Prabowo Subianto, dengan nomor urut 2 ( dua ).
Dan oleh sebab hukum dan perspektif logika hukum, kami menanggapi surat saudara sebagai yang beratasnamakan lembaga Yang Terhormat MK.
1. Bahwa sepanjang putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK Nomor 2 tahun 2023 Jo. Akibat hukum perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. yang bunyinya sesuai kutipan isi putusan MKMK. Maka secara yuridis, apapun semua pertimbangan hukum putusannya yang ada, keseluruhannya mengandung sebuah peristiwa hukum yang harus dan wajib diputus dengan pertimbangan-pertimbangan hukum positif atau hukum yang harus diberlakukan ( ius konstitum ).
2. Terlebih dan utamanya pokok perkara pelanggaran etik dan para dewan MKMK adalah para hakim selaku penyelanggara negara (MK) yang sudah seharusnya menjadi role model, dalam makna hukum, para intelektual yang profesional dan mengedepankan Objektifitas, harus lebih dulu menjadi figur publik yang mensuritauladankan, atau bersikap tunduk dan mematuhi serta melaksanakan pasal – pasal daripada sistim hukum (konstitusi) yang ketentuan yang isi pada pasal-pasalnya, sudah berketegasan hukum, sehingga tidak butuh analogi hukum dalam bentuk apapun.
3. Bahwa apabila putusan yang mengandung serta berhubungan langsung dengan Pasal 17 ayat (6), lalu dihubungkan dengan bunyi putusan MKMK yang telah berkekuatan hukum mengikat atau final and binding, yaitu putusan tentang pemberhentian Anwar Usman, melalui amar putusan yang isinya menyatakan, ” bahwa Anwar Usman telah melanggar tentang ketentuan larangan Kode Etik Hakim MK karena menyidangkan perkara yang berhubungan dengan garis kekeluargaan/ semenda, sehingga telah terjadi fakta hukum konflik interes ( atau konflik kepentingan ). Dan nyata dalam amar putusan dinyatakan secara hukum Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua MK. Maka dalam konteks yuridis formil, makna kausalitas hukumnya adalah, bahwa Sdr. Anwar Usman selaku Ketua MK.Telah Terbukti melakukan PELANGGARAN ATAU TERBUKTI BERSALAH DALAM MELAKSANAKAN FUNGSIONALNYA.
Selanjutnya, semua isi Kode Etik Hakim MK tentunya secara yuridis bersumber dari UU. RI. Nomor 48 Tahun 2009. Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karenanya berdasarkan hukum dan perspektif logika hukum yang tidak dapat tertolak oleh sumber dalil hukum yang ada dan berlaku.
Maka putusan MKMK yang telah diikuti oleh fakta dan bukti hukum, bahwa Anwar Usman telah diberhentikan sebagai hakim fungsional, adalah mutatis mutandis tak terlepas daripada rujukan Kode Etik Hakim MK serta tepat merujuk ayat 3, 4, S5 dan 6 pada pasal 17 dan bunyi pasal 17 Ayat (7 ) UU. No. 48 Tahun 2009 yang mewajibkan kepada badan peradilan yang bersangkutan, untuk mengulang kembali persidangan dengan susunan anggota majelis hakim yang berbeda.
Sehingga disimpulkan, bahwa MK melalui surat jawaban permohonan dari TPUA terkait perihal permohonan persidangan ulang terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh sebab telah jelas dan nyata – nyata terhadap persidangan tersebut dilakukan dengan proses hukum yang melanggar ketentuan, dan pelanggaran dimaksud telah dibuktikan dengan pemberhentian Anwar Usman selaku Ketua MK dan memberhentikan sebagai Hakim MK. Namun, oleh karena argumentasi lembaga Mahkamah Konstitusi melalui jawaban Ketua MK yang baru Saudara Suhartoyo, S.H.,M.H. sebagai pengganti dari Anwar Usman yang diberhentikan, telah terindikasi, sebagai Ketua MK pada intinya menolak mengadakan sidang ulang kembali terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Maka berdasarkan dalil logika hukum, yang bersumber daripada sistem hukum serta fakta hukum, Ketua MK Suhartoyo, S.H.,M.H. serta didasari asas legalitas vide. UU. RI. Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Saudara Suhartoyo, S.H.,M.H. telah Opzet/dolus telah melakukan konspirasi atau dengan sengaja melakukan untuk tidak mematuhi UU. RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dengan modus melanjutkan serta justru malah menguatkan produk (putusan) hukum haram, yang dihasilkan oleh Eks hakim MK Sdr. Anwar Usman Jo. Putusan MKMK Nomor 2/2023 sebagai Putusan Pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK inklud subtansial pemberhentian sebagai hakim MK oleh MKMK disebabkan karena melanggar pasal 17 Ayat (6 ) Jo. Ayat (7 ) UU. Ri Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Jo. UUD. 1945 Tentang prinsip Indonesia adalah negara hukum dan setiap WNI bersama kedudukannya didalam hukum ( prinsip Rule of Law dan kedudukan hukum yang ekualitas ) Jo. vide. Pasal 27 ayat 1 : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Lalu atas dasar pandangan atau pendapat hukum a quo, perihal jawaban MK. Melalui jawaban langsung Ketua MK Sdr. Suhartoyo, S.H.,M.H. selaku Yang Terhormat, oleh karenanya TPUA berpendapat hukum dengan konklusi hukum sebagai berikut :
“Bahwa Ketua MK telah sengaja opzet/dolus melanggar sistem hukum positif, atau ketentuan hukum yang wajib diberlakukan ( ius konstitum ), yakni Keseluruhan pada Pasal 17 Undang Undang RI. Nomor 48 dengan cara sengaja ( Opzet ), serta tidak mau tunduk dan patuhi UU. UUD 1945 Khususnya Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Tentang status persamaan hukum pada setiap orang WNI atau asas equality before the law dan selanjutnya, atas dasar dalil dalil hukum yang ada dan menyertainya”:
Dan oleh karenanya TPUA terhadap perilaku Sdr. Suhartoyo, S.H.,M.H. selaku Ketua MK selaku subjek hukum yang melekat tupoksinya selaku Ketua MK. Maka TPUA akan melakukan upaya hukum melalui lembaga yang berwajib, sesuai ketentuan sistem hukum ( Konstitusi ) atas dugaan delik pidana pelanggaran nepotisme, sesuai pasal 22 UU. RI. Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Jo. Pasal 421 Tentang Pembiaran adanya Pelanggaran Jo. Pasal 55 Jo. Pasal 52 KUHP serta sistem hukum positif lainnya.
Namun, sebelum kami TPUA melakukan upaya hukum, maka kami tetap berharap dan memberi kesempatan serta mempersilahkan agar MK melalui Sdr. Suhartoyo, S.H.,M.H. selaku Ketua MK RI membuka ulang persidangan melalui sidang terbuka untuk umum terkait perkara a guo in casu, nomor 90/PUU-XXI/2023 Jo. Putusan MKMK Nomor 2/ 2023 Jo. sesuai pasal 7 ayat (7 ) UU. A avo. UU.Ri. Nomor 48 Tahun 2009.
Namun apabila dalam jangka waktu 14 (empat hari) setelah surat tanggapan ini kami sampaikan tidak melakukan sidang ulang dimaksud. Maka kami dengan sangat menyesal dan terpaksa demi kepastian hukum ( rechtmatigheit ) dan demi keadilan yang harus dijunjung tinggi ( gerechtigheid ) serta demi utility, atau daya guna hukum ( doelmatigheit ), kami TPUA akan melaporkan Sdr. Suhartoyo, S.H.,M.H. dan penyertanya kepada pihak penyidik dan atau pihak-pihak yang berwenang sesuai merujuk ketentuan hukum yang berlaku.
Demikianlah jawaban atau tanggapan hukum kami TPUA untuk dan atas nama kepentingan penegakan hukum semata ( pro justicia ).
Dan atas perhatian dan tanggung jawab atas tindakan serta kewenangan hukum yang dimiliki yang idealnya ditegakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), semoga Saudara selaku Ketua MK dan seluruh anggota MK diberikan taufik hidayah oleh Allah SWT untuk dapat berlaku adil, selebihnya teriring ucapan terima kasih, tutup keterangan tertulis yang ditandatangani oleh Damai Hari Lubis, S.H.,M.H ( Kordinator TPUA), Azam Khan, S.H ( Sekjen TPUA ), Prof. Dr. H. Eggi Sudjana, S.H.,M.Si ( Ketua Umum Dan Penanggung Jawab TPUA)
Sekedar informasi sebelumnya,Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mengirimkan surat ke Mahkamah Konstitusi (MK), surat yang bertanggal 14 November 2023 tersebut ,berisi permintaan pelaksanaan ulang perkara pengujian undang-undang Nomor 90/PUU-XXI/2023.