Palestina, Dan Kilas Balik Sejarah Heroisme Mahasiswa UII Yogyakarta
Palestina, Dan Kilas Balik Sejarah Heroisme Mahasiswa UII Yogyakarta
Palestina, Dan Kilas Balik Sejarah Heroisme Mahasiswa UII Yogyakarta
Oleh : Pril Huseno ( Jurnalis Senior )
Jogjakarta,27 November 2023
Pagi itu di kantor Dewan Mahasiswa (DEMA) UII Jogja era ‘89 an, suara dering HP jadul memekik kencang. Rupanya Nasrullah Nawawi, sang ketua panitia memberi kabar gembira.
“Bro, Ribhi Awad bersedia hadir di kampus kita..!” teriaknya senang.
“Tidak itu saja bro, Dubes Palestina untuk Malaysia Akhmad Al Farra juga akan hadir ke Jogja…!!!” lanjutnya, teriakannya makin kencang.
“Yupp..alhamdulillah..!!!” teriakku sambil menggebrak-gebrak meja mirip Prabowo. Tanda puasnya jerih payah persiapan yang terbilang dadakan.
Betapa tidak. Dua duta besar Palestina untuk Indonesia dan Malaysia bersedia untuk hadir di acara Pekan Persahabatan Indonesia – Palestina yang diinisiasi oleh mahasiswa UII di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja.
Ribhi Awad, dubes Palestina di Jakarta menyambut gembira inisiatif mahasiswa. Dia bahkan segera mengontak koleganya di kedubes Palestina Malaysia untuk mendukung acara di Jogja.
Kejutan lain adalah, selain akan dihadiri oleh 2 duta besar Palestina, acara itu juga akan diusahakan menghadirkan Imam Masjidil Aqsha Shaikh Ikrima Sabri (mantan Mufti Besar Palestina) dan seorang anak muda Palestina pelaku perlawanan Intifadah.
Luar biasa kejutan untuk kami para awak panitia waktu itu. Gembira dan bersorak di kantor DEMA.
Tulisan ini sengaja dibuat untuk mengenang semangat dan heroisme mahasiswa UII kala itu (1989-1990) ketika menghadirkan acara yang melambangkan dukungan penuh rakyat Indonesia khususnya kaum muda terdidik Indonesia pada perjuangan Intifadah anak-anak muda Palestina, yang berdarah-darah melawan tentara pendudukan zionis Israel.
Hal lain, tulisan ini juga disemangati oleh situasi saat ini di Gaza-Palestina, yang masih terus digempur Israel. Walau ada gencatan senjata sementara, namun angka kematian warga Palestina di Gaza sungguh menyedihkan. Kebiadaban pasukan zionis Israel telah menyebabkan gugurnya 15.000 jiwa rakyat Palestina, separuhnya adalah anak-anak. Puluhan ribu lainnya luka-luka. Tak terbilang kehancuran bangunan dan perumahan. Begitu miris dan menyedihkan situasi yang ada, namun dunia terutama para pemimpin negara-negara Arab hanya diam membisu. Hanya Iran yang amat vokal memperingatkan Amerika Serikat (AS) dan Israel akan konsekuensi serius yang terjadi, bila Israel dan AS terus saja menyerang Gaza.
Hamas, organisasi militer Palestina di Gaza, menyatakan bahwa serangan ke Israel pada 07 Oktober 2023 lalu adalah buah dari kesewenang-wenangan Israel dalam memperlakukan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, khususnya di area Masjidil Aqsha di Yerusalem Timur, di mana berulang kali terjadi tindak kekerasan dan pembunuhan oleh tentara Israel terhadap warga Palestina.
Perlawanan ‘07/10/2023’ adalah puncak dari kemarahan Hamas terhadap Israel. Dunia terkejut atas operasi “Badai Al Aqsha” Hamas, hal mana hampir 1.500 tentara dan warga Israel tewas oleh serangan Hamas di Israel Selatan.
Konflik Palestina vs Israel adalah perseteruan 75 tahun sejak 1948 ketika Israel melakukan agresi ilegal terhadap tanah-tanah Palestina. Perang Arab – Israel pada 1948, Perang 1967, dan Perang Yom Kippur 1973 menandai konflik panjang dan berdarah akibat politik agresi Israel.
Presiden Pertama Indonesia Soekarno, amat membenci politik agresi Israel. Tidak diundangnya Israel pada Konferensi Asia-Afrika 1955 adalah sikap tegas Indonesia terhadap politik kolonialisme Israel, yang amat ditentang Soekarno. “Selama Palestina masih dijajah Israel, maka tidak ada kata pengakuan apapun terhadap negara yahudi zionis..!!!” kata Soekarno.
*Intifadah, Bangkitnya Kesadaran Baru*
Pada akhir 1987, anak-anak muda Palestina serentak di seluruh negeri melakukan perlawan total terhadap tentara Israel. Perlawanan tersebut dilakukan hanya dengan bersenjatakan batu dan melempari tentara Israel di manapun ditemui. Sekitar 3.000 an anak muda Palestina gugur syahid, begitu pula banyak tentara Israel luka parah dan tewas akibat hantaman batu.
Perlawanan tersebut diberi nama “Intifadah” atau Perlawanan, Pemberontakan. Berlangsung sengit hingga 1993 (Intifadah ke 2).
Gema Intifadah, bergaung ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Membangkitkan kesadaran baru bahwa perjuangan anak anak muda Palestina harus didukung penuh. Sekumpulan anak muda, mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang kerap berdiskusi masalah-masalah dalam negeri Indonesia masa orde baru sampai pada masalah internasional, menyinggung rasa solidaritas kaum muda Indonesia pada anak-anak muda Palestina yang sedang berjibaku hidup-mati.
Kepala bidang Eksternal Dewan Mahasiswa/KUA UII Nasrullah Nawawi semasa Nerozelly sebagai ketua DEMA, bersama beberapa aktivis kampus lainnya, sepakat akan melaksanakan “Pekan Persahabatan Indonesia – Palestina” di Kampus UII Jogya. Penulis, yang kala itu sebagai Kabid Litbang, juga ikut semangat mendukung gagasan tersebut, segera menyusun konsep Proposal Kegiatan sekaligus Ketua Steering Committee (SC). Ketua OC adalah Nasrullah Nawawi sendiri.
Alhamdulillah, berkat perjuangan keras tak kenal lelah, acara “Pekan Persahabatan Indonesia – Palestina” berlangsung sukses selama satu minggu. Dua orang duta besar Palestina, Ribhi Awad dan Akhmad Al Farra hadir dan ikut memberikan orasi pada diskusi panel tentang Palestina, yang menghadirkan banyak sekali pakar dan pemerhati Timur Tengah selama 3 hari diskusi. Amien Rais, Ridwan Saidi, Emha Ainun Najib, Jenderal Hasnan Habib, Satrio Arismunandar dan banyak lagi, ikut diundang dalam sesi disksusi dan memberikan pandangan-pandangannya tentang konflik Timur Tengah dan Palestina.
Dubes Akhmad Al Farra bahkan dua kali didaulat mengisi ceramah. Pertama, ketika ceramah tunggal di depan civitas academica UII dan ratusan aktivis mahasiswa se Jogja, dan kedua pada sesi diskusi panel para ahli dan pemerhati yang dimoderatori oleh Hamid Basyaib. Sambutan atas kehadiran Akhmad Al Farra bukan main gegap gempita. Ruangan auditorium UII di jalan Cik di Tiro gemeretak oleh teriakan “Allahu Akbar…!” dan dukungan bagi perjuangan rakyat Palestina.
Menjadi semakin menarik, acara tersebut juga dimeriahkan dengan Pekan Budaya Palestina, ketika Akhmad Al Farra sang dubes Palestina untuk Malaysia, membawa serta artefak-artefak berharga bangsa Palestina. Maket Masjidil Aqsha, Pameran foto budaya masing-masing wilayah di Palestina, dan hal seru lainnya. Acara pemeran budaya Palestina juga dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang sekaligus membuka acara Pameran dan Pekan Budaya Palestina.
*Imam Masjidil Aqsha dan Pawai Kafiyeh SMA se Jogja*
Imam Masjidil Aqsha ketika itu, Shaikh Ikrima Sabri, akhirnya bisa didatangkan setelah melewati berbagai rintangan dan hambatan dari rezim zionis Israel. Keberangkatannya ke Jogjakarta untuk menghadiri Pekan Persahabatan Indonesia – Palestina di kampus UII Jogja amat dirintangi oleh penguasa zionis. Akhirnya setelah berbagai macam rintangan yang dibuat, Shaik Ikrima Sabri bisa berangkat ke Indonesia. Sayangnya, pemuda pelaku intifadah Palestina gagal berangkat karena dihadang oleh tentara zionis.
Sesampainya di bandara Adisucipto Jogjakarta, Ikrima Sabri disambut oleh ratusan mahasiswa UII berjaket almamater dan berkafiyeh! Berpawai memenuhi jalan-jalan utama di Jogja sampai ke kampus UII Cik di Tiro.
Shaikh Ikrima Sabri juga menjadi pembicara pada sesi diskusi panel dan menjadi khatib pada sholat jumat di Masjid UII Cik di Tiro.
Dukungan Rektor UII dan jajaran pengurus kampus amat menentukan dalam mensukseskan acara Pekan Palestina UII. Sebab, acara tersebut dilaksanakan tanpa seizin aparat keamanan. Akibatnya, pihak aparat keamanan Jogja harus ekstra keras menjaga para tamu penting : Dua Duta besar negara sahabat dan Imam Masjidil Aqsha. Shaikh Ikrima Sabri bahkan sempat dikawal tertutup dan terbuka, ketika berjalan-jalan di Malioboro bersama mahasiswa pada malam hari.
Selain Diskusi Panel, Pekan Budaya Palestina, dan kehadiran Imam Masjidil Aqsha, Pekan Palestina di UII juga melaksanakan Lomba baris berbaris dengan Kafiyeh!, untuk anak-anak SMA se Jogja. Jadilah kota Jogja dipenuhi oleh rombongan berkelompok siswa-siswi berbusana khas Palestina memakai Kafiyeh, berbaris memenuhi jalan-jalan kota Jogja.
Penutup
Rasa senasib sepenanggungan dan empati yang teramat besar dari rakyat Indonesia bagi perjuangan Kemerdekaan Palestina, telah berlangsung sejak paska kemerdekaan 1945. Tali batin amat kuat dari rakyat kedua negara terpatri sejak masa orde lama dan orde baru. Pernah pula ada pawai mendukung perjuangan rakyat Palestina di masa orde lama.
Hal itu tak lepas pula dari rasa terimakasih rakyat Indonesia atas dukungan moral bangsa Palestina bersama Mesir, sebagai yang pertama-tama mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945.
Pekan Persahabatan Indonesia – Palestina di UII Jogja juga adalah salah satu mata rantai dari solidaritas dan rasa ukhuwah Islamiyah panjang bagi perjuangan rakyat Palestina. Terlebih ketika rakyat Gaza mendapat cobaan berat sekarang ini. Satu buku khusus dicetak oleh para mahasiswa berisi rangkuman ceramah para narasumber diskusi panel beserta foto-foto Pekan Palestina UII Jogja, dan diserahkan oleh penulis dan saudaraku (alm) Fattah Hidayat langsung ke duta besar Palestina di Jakarta Ribhi Awad sebagai kenang-kenangan. Penulis juga sempat menerima lencana dan medali “PLO” dari Akhmad Al Farra. Demikian juga bagi para panitia lainnya.
Tak lupa juga nama-nama panitia yang telah bekerja keras harus dicantumkan pada akhir tulisan ini. Susi Yusvita, Nunung Marzuki, Tenny, Syahrir Irwan, Imang Jasmine, Sholeh UG, Nasrullah Nawawi, Nerozelly AP, Nursamin, Ade Nursyam, Ridwan MY, Fitri, Ichsan, Hendri Hakim, Ongen Sopalauw, Yudhi Chen, Rigo Wijaya, Herizal Jazz, dan lain-lain nama panitia yang tidak sempat disebutkan. Tak lupa pula nama Fikri Thalib, yang ketika itu merupakan dedengkot aktivis PIJAR, bersama kawan-kawan lainnya yang ikut mensupport acara Pekan Palestina di UII.
Imam Masjidil Aqsha Shaikh Ikrima Sabri, dilepas bersama ketika harus pulang kembali ke Palestina. Di Bandara Adisucipto, panitia menangis haru ketika melepas keberangkatan Shaikh Ikrima Sabri. Terbayang tantangan apalagi yang harus diterima, setibanya di Palestina.