Opini

“Jokowi Presiden RI Yang Terjorok?”

"Jokowi Presiden RI Yang Terjorok?"

“Jokowi Presiden RI yang Terjorok?”

 

Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)

 

Jakarta, 11 November 2023

 

Perspektif publik, walau Jokowi riil Presiden RI 2 periode, Namun alangkah banyak cacat diskresi yang telah Jokowi lakukan melalui pola kebijakan politik ekonomi dan hukum dan diskriminatif, yang kesemuanya telah dan bakal tercatat sebagai lembaran historis catatan cacatan hitam.

Catatan hitam dimaksud, dikarenakan empiris melalui fakta, khususnya soal kebohongan terdapat puluhan, bahkan jika diakumulasi dan breakdown, bisa jadi estimasinya melebihi 100 kebohongan.

Selebihnya catatan hitam Jokowi lainnya, di bidang politik dan ekonomi, data empirik menunjukan terdapat tumpukan utang negara walau sebelumnya Jokowi, dengan mimik serius mengatakan “tidak akan berhutang”

Lalu, indikator kerjasama ekonomi negara ini, nampaknya lebih erat kepada negara Republik Rakyat China ( RRC), termasuk RRC dibiarkan sebagai negara tempat beberapa partai, diantaranya partai Jokowi menjadi kader, telah mengikuti “kursus politik”.

Sehingga indikasinya, amat transparan politik dan sektor ekonomi negara dibawah Jokowi, begitu spesial dan nyaman kepada negara yang berpaham komunis tersebut. Ideologi yang sesungguhnya terlarang, bahkan mendapat sanksi penjara jika ada individu atau kelompok yang coba – coba menyebarkannya.

Hal larangan ini jelas terdapat pada tatanan hukum tinggi Negara RI. yakni, TAP MPR RI. No.XXV Tahun 1966 Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang KUHP.

Lalu diskresi hukum dan politik berkualitas cacat yuridis lainnya adalah, Jokowi sengaja secara sadar, terhadap para terlapor terjerat korupsi yang ancaman hukumannya berat ( Jo. UU. RI Tentang TIPIKOR ) sebagai pelanggar hukum positif ( ius konstitum ) atau hukum yang harus berlaku, yang para terlapor tersebut masih dalam proses hukum, adapun proses terhenti karena faktor diskriminatif atau akibat diskresi hukum yang ala suka – suka, lalu menjadi legitimate, maka oleh sebab hukum tentu sewaktu – sewaktu kasusnya tidak mustahil akan dibuka atau terbuka kembali.

Kemudian catatan sejarah yang ada pada publik, terbukti secara riil, bahwa sosok – sosok individu “para terpapar temuan korup” justru dijadikan orang – orang kepercayaan sebagai pejabat tinggi dan atau pejabat publik lainnya, untuk mengelola negara. Diantaranya Tito Karnavian, Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan serta beberapa petinggi di BUMN salah satunya Ahok dan Erick Thohir.

Selaku Presiden, Jokowi melakukan pembiaran terhadap tindakan keras dan tegas ( tidak sepatutnya ) yang dilakukan oleh para aparatur penegak hukum terhadap individu yang sekedar melanggar cita – cita hukum ( ius konstituendum ), dan rakyat sipil yang dituduh berkata bohong, namun tidak menjadi kegaduhan, lalu dituntut hukuman yang sama dengan pelaku extra ordinary crime ( koruptor ). Sebaliknya Jokowi mendiamkan kebohongan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dengan pernyataannya , “memiliki big data 110 juta rakyat indonesia, minta pemilu ditunda” dan implikasinya, melahirkan anarkisme sedemikian rupa, yaitu, dibakarnya pospol dan eigenrichting kepada korban Ade Armando yang nyaris bugil, serta hilangnya nyawa orang lain ( anggota Polri Kendari ), namun Jokowi diskriminatif ( non equal ) LBP bebas tak tersentuh serta lenggang kangkung.

Selebihnya yang juga amat krusial dan akan menjadi polemik, Jokowi yang harus memiliki kepribadian leadership dengan attitude yang harus role model, dan pastinya tidak terlepas daripada asas fiksi hukum, teori hukum yang mewajibkan “semua orang dianggap tahu akan keberadaan undang – undang serta ancaman hukumannya”. Namun, Jokowi malah selaku penyelenggara hukum pemerintahan tertinggi negara, begitu mudah melupakan tentang “percobaan makar terhadap Pancasila dan UUD 1945 ” atas fakta hukum terbitnya RUU HIP dan begitu simpelnya Jokowi menerbitkan Kepres Nomor 17 Tahun 2022 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 yang materi hukumnya bertentangan dengan TAP MPR No. XXV tersebut, perihal dilarangnya Partai Komunisme Indonesia aktivitas dan eksistensi dalam kancah perpolitikan tanah air termasuk apapun kegiatannya. Oleh sebabnya atas dasar hukum terkait dengan otak pelaku peristiwa pemberontakan 30 September 1965 atau yang diketahui oleh publik bangsa ini, bahkan secara Internasional, dikenal sebagai peristiwa pemberontakan G 30 S PKI.

Oleh karenanya secara hirarkis diskresi politik Jokowi terkait Kepres sebagai keputusan presiden serta tehnis dan pelaksanan Kepres, perihal ganti rugi terhadap keluarga PKI melalui Inpres adalah cacat hukum, oleh sebab hukum TAP MPR No. XXV yang hirakis lebih tinggi dikangkangi oleh kepres yang berlaku sekedar non yusial, lalu menjadi obscur ( kabur ), tak berguna, seolah tak berkekuatan hukum sehingga tidak berkepastian hukum ” dikarenakan terbitnya keppres No. 17 tahun 2022 dan inpres No. 2 Tahun 2023. Sehingga oleh karenanya, menjadi pertanyaan besar bagi publik bangsa ini pada umumnya lintas SARA dan atau lintas strata, tentang “siapa para korban dan siapa pelaku kejahatan pembunuhan dan atau makar” pada peristiwa pembunuhan para jendral dan ribuan masyarakat serta para tokoh dan ulama yang menjadi korban puncak kebiadaban para komunisme ( PKI ) pada 30 September 1965 .

Maka, patut dinyatakan sebagai presiden yang seharusnya menjadi pemimpin ideal, yang memiliki kecerdasan dan wibawa, serta berkewajiban berlaku bijaksana dan adil, maka parameter ideal ini, tidak terdapat pada jatidiri Jokowi, melainkan Jokowi adalah presiden terkotor, terjorok dari Presiden RI yang pernah ada.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button