Harusnya Presiden Jokowi Dan DPR RI Perhatikan Nasib Para Bakal Korban Bangsa Serta Musnahnya Keadilan
Harusnya Presiden Jokowi Dan DPR RI Perhatikan Nasib Para Bakal Korban Bangsa Serta Musnahnya Keadilan
Harusnya Presiden Jokowi Dan DPR RI Perhatikan Nasib Para Bakal Korban Bangsa Serta Musnahnya Keadilan
Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 )
Jakarta, 18 Oktober 2023
Semua Objek Mahkamah Konstitusi adalah produk Undang – undang/UU RI Serta berhubungan hukum ketatanegaraan,TUN Oleh sebab dianggap pihak penggugat judicial review (JR ) bahwa Undang-Undang tersebut atau sebagian pasal – pasal atau sebuah frase dari pasal, telah bertentangan dengan UUD 1945 dan hak konstitusi Penggugat selaku WNI.
Sehingga pelaksanaan atau penegakan hukum-nya akan bias, maka demi kepastian hukum ( rechmatigheid ) serta dapat mewujudkan keadilan, perlu dicabut, dirubah pada pasal atau dibuang pada frase yang menjadi objek JR. Semata demi keadilan dan terhindarkan dari overlapping,Atau tidak berkepastiannya hukum, Sedangkan JR terhadap norma hukum dibawah hirarkis UU adalah di Mahkamah Agung
Dalam hubungan hukumnya, para tergugat di MK adalah UU dan sederajat UU diantarananya Perpu. Maka pihak yang akan menolak terhadap uji materi UU atau Perpu tersebut adalah pembuat dan atau pengesah UU yakni pemerintah RI dan DPR RI atau aparatur pemerintahan negara atau addinterim.
Sehingga pihak- pihak yang akan diberikan haknya sebagai pihak terkait adalah Pemerintah RI atau yang mewakili sesuai kementrian, atau user pada objek gugatan UU. Atau pihak yang pasti berkepentingan, sedangkan pejabat penyelenggara pemerintahan tertinggi adalah presiden dengan subjek hukumnya adalah Joko Widodo/ Jokowi dan Jokowi merupakan Kakak Ipar dari Ketua MK atau salah seorang Majelis Hakim atau ketua majelis hakim ketika dalam persidangan JR.
Maka keberadaan hubungan garis pertalian semenda ini, bagaimana tidak menjadikan adanya konflik internal, ketika sang adik Ipar mengambil keputusan hukum, terlebih hubungan pertalian keluarga semenda dilarang oleh kode etik hakim konstitusi. Namun atas pelanggaran etika hakim ini, seharusnya Anwar Usman mengundurkan diri, faktanya ? Justru jabatannya diperpanjang sebagai Ketua MK,Maka tuduhan publik terhadap fenomena hukum dan politik ( eksekutif dan yudikatif bahkan melibatkan legislatif atas adanya pembiaran pelanggaran kode etik hakim ), ini adalah bentuk konspirasi politik ( bajingan hukum) antara eksekutif atau Jokowi selaku presiden dengan yudikatif dalam hal ini, subjek hukumnya adalah Anwar Usman Sang adik Ipar Jokowi.
Wajar saja, ketika MK Mengadili perkara JR Terkait objek perkara
Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Komisi Pemilihan Umum dengan pihak tergugat adalah KPU, Maka publik banyak berteriak penolakan dan curiga atas keputusan MK yang dianggap sebagai mengabulkan missi Gibran RR Bin Joko Widodo dalam kepentingan dan kebutuhan dengan info santer publik yang berkelas notoire feiten atau sepengetahuan umum, bahwa ; “Gibran akan menjadi bakal
CAWAPRES dari seorang capres di Pemilu pilpres 2024”, terlepas walau penggugat prinsipalnya bukan Gibran, namun materi perkara yang di JR adalah kepentingan Gibran Terlebih, putusan MK merupakan putusan final, tanpa hak banding, dan kasasi, lalu putusan berkekuatan hukum tetap ( inkracht ) menjelma sebagai layaknya Undang – Undang.
Selebihnya penulis selaku pengamat Mujahid 212 sependapat dengan pendapat hukum dari Prof Dr. Suteki, S.H. M.Hum. yang menyatakan :
“Jika MK Mengubah Syarat Capres – Cawapres Demi Rezim. Maka MK Telah “Berkomplot” Dalam Mafia Hukum”.
Oleh sebab objek JR. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang lengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”
Dan selanjutnya amar Putusan tersebut, MK telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Jadi, dengan demikian Gibran RR yang sekarang sedang menjabat sebagai Walikota Surakarta dapat mencalonkan diri sebagai Cawapres meskipun usianya belum genap 40 tahun, atau tepatnya sekitar 35 tahun.
Putusan MK ini menurut prof Suteki betul-betul ambigu seperti putusan yang bersifat inkonstitusional bersyarat seperti memutus perkara JR UU Cipta Kerja atau conditionally constitutional seperti memutus perkara JR UU SDA. Orang Jawa bilang “jas bukak iket blangkon” sama juga sami mawon (sama saja), alias setali tiga uang. Dikatakan ambigu karena meskipun tidak menurunkan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun sebagaimana dimohonkan oleh para pemohon JR, MK sebagaimana diprediksikan telah menambah frase syarat mencalonkan presiden dan wapres “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Amar putusan ini dapat dinilai bahwa MK telah menjalankan wewenangnya untuk melakukan “negative legislature” dengan menyatakan Pasal 169 huruf q tidak konstitusional, sekaligus melakukan larangan melakukan “positive legislature” dengan norma baru berupa frase tambahan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Pendapat Prof. Suteki perihal ambiguitas putusan MK ini layak dibenarkan, disebabkan oleh adanya dugaan bahwa MK telah “berkomplot” dengan lembaga legislatif atau mungkin lembaga lainnya untuk memuluskan kemauan berbagai pihak agar Gibran RR Walikota Surakarta dapat dicalonkan sebagai Cawapres Prabowo Subiyanto atau pun Ganjar Pranowo. Pendaftaran Capres dan Cawapres Pemilu 2024 tinggal menghitung hari, apakah betul Gibran RR akan dipinang sebagai Cawapres Prabowo Subiyanto atau Ganjar Pranowo? Jika betul, maka dugaan bahwa MK telah berkomplot dengan pihak legislatif patut diduga telah terbukti. Peraturan hukum mudah sekali diubah oleh mafia hukum demi kepentingan rezim mafia hukum. Dan ketika aturan hukum sering diubah untuk kepentingan rezim status quo, maka dapat diyakini demokrasi telah mati (How Democracies Die (Ziblatt dan Levitsky (2018).
Dengan demikian MK memang patut disepakati , amat kuat diduga sebagai pihak yang “berkomplot” untuk membunuh demokrasi di Indonesia.