Opini

Ketika Fiksi Terbaik Adalah Kenyataan Sastra

Ketika Fiksi Terbaik Adalah Kenyataan Sastra

Ketika Fiksi Terbaik Adalah Kenyataan Sastra

 

Oleh : Dr Hendrajit ( Global Future Institute )

 

Jakarta, 7 Oktober 2023

Dari sejak sekolah ada pelajaran mengarang. Dan penulis fiksi disebut pengarang. Akibatnya sampai sekarang tertanam di benak kalau menulis fiksi itu berarti tidak nyata. Mengada ada.

Padahal karya fiksi terbaik ketika mencerminkan kenyataan. Baik kenyataan lahir maupun batin. Makanya karya yang lahir disebut kenyataan sastra. Inilah yang membedakan novel atau roman biasa. Dan karya sastra.

Maka kualitas penulisnya bukan pengarang. Harus yang telah mencalpai maqom sutradara atau Ki Dalang.

Maka tidak salah dalam kosa kata Inggris. Penulis fiksi disebut the Author. Bukan sekadar the writer.

Satu lagi. Penulis novel yang baik jika berhasil mengubah pribadi dirinya sebagai narator novel, entah itu sebagai orang pertama atau orang ketiga, melebur menjadi salah satu karakter dalam cerita.

Misal sosok dokter Watson dalam Sherlock Holmes atau kapten Hasting dalam kisah detektif Hercule Poirot, diri pribadi Conan Doyle dan Agatha Christie sebagai narator kisah, melebur sebagai karakter Watson dan Hasting yang punya wajah biografis.dan wajah geografis yang berbeda dengan diri sejati Conan Doyle dan Agatha Christie.

Menurut saya setelah menyelami karya karya sastra dunia maupun dalam negeri sejak kecil hingga kini, transformasi kepribadian si penulis melebur jadi salah satu karakter cerita, jadi penentu bermutu tidaknya karya sastra.

Bahkan sebuah karya sastra bisa makin hidup ketika sang penulis mampu melakukan trans-persepsi. Yang mana karakter karakter utama dalam cerita, mewakili ragam sudut pandang dari diri sang penulis yang ia sampaikan sebagai narator cerita.

Sosok Minke karakter utama Bumi Manusia yang merupakan sosok orang pertama (aku) maupun Nyai Ontosoroh ibu mertua Minke, sama sama mewakili pikiran dan pandangan Pramudya Ananta Toer sebagai penulis novel. Sehingga percakapan antara Minke dan Ontosoroh adalah percakapan antara diri Pram yang sudah menjelma jadi Minke dan diri Pram yang sudah merasuk jadi Ontosoroh.

Kuncinya bukan pada penjiwaan peran melainkan kualitas jiwa manusianya. Jangan jangan, inilah akar penyakit bangsa kita saat ini di semua tingkatan. Tak punya hasrat untuk berempati dan trans-persepsi terhadap orang lain maupun lingkungan sosial.

Senangnya asyik dengan dunianya sendiri.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button