Anak Adam Dalam Tantangan Dinamika Dunia
Oleh: Maria A. Alcaff
Jakarta, 14 September 2023
Maka Allah perintahkan Malaikat dan Jin untuk menyembah Adam, seperti dalam Al Quran Surah Al Baqarah ayat 34: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur, dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
Awal penciptaan manusia sudah menimbulkan kecemburuan dan kedengkian bagi Iblis yang menolak perintah Allah untuk menyembah Adam.
Apa keistimewaan manusia yang terbuat oleh tanah sehingga Iblis yang terbuat dari api harus menyembahnya?
Namun seistimewanya manusia diciptakan, maka Al Quran surah Adz Dzariyat ayat 56 menuturkan “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Bahwa semua makhluk Allah, termasuk jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah SWT.
Ya, sebagaimana kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallah” yang berarti Tiada Tuhan (sesembahan) yang patut disembah selain Allah.
Tauhid berasal dari kata kerja wahhada-yuwahhidu-tauhiidan, maka pengertian tauhid adalah: mengesakan, dengan dimaksud mengesakan Allah SWT adalah dzat-Nya, asma-Nya dan sifat-Nya. Esa, Tunggal, Satu.
Apakah Adam hanya mengikuti perintah Allah saja?,mYa, hingga akhirnya Adam memutuskan melanggar perintah Allah dan memilih menuruti keinginan Hawa.
Saat itu Hawa ingin sekali memakan buah khuldi yang mana Allah telah perintahkan kepada Adam untuk tidak mendekati pohonnya apalagi memakan buahnya. Apa daya Adam tak sanggup menolak permintaan Hawa, maka diambillah buah khuldi itu dan diberikannya kepada Hawa. Hawa memakannya dan akhirnya Adam pun mengikutinya memakan “buah terlarang” itu.
Alkisah karena melanggar perintah Allah, maka Allah mengeluarkan Adam dan Hawa dari kehidupan di surga. Dan semua bermula dari sini.
Manusia meski hidup di dunia di mana mereka harus menjalaninya dengan memanfaatkan seluruh sarana yang ada pada diri mereka, maka dunia ini berjalan dengan berbagai pasang surut kehidupannya.
Manusia bertumbuh. Apakah karena “sifat bawaan sejak awal penciptaannya”? Seperti dalam Al Quran surah Al Mu’minun ayat 12: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”
Sepanjang sejarah, manusia bisa melanjutkan keturunan anak Adam, mereka hidup berbangsa, bernegara, membangun budaya, ilmu pengetahuan, memanfaatkan azas saling melengkapi di antara mereka, mengekplorasi bumi tempat mereka hidup, dan lain-lain, bahkan menghidupkan gagasan cita rasa.
Sebut saja para penemu, semisal : Alexander Graham Bell, penemu pesawat telpon, dia menjadikan yang jauh jadi dekat di telinga kita.
Atau Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar, yang karena upayanya kita bisa menikmati dunia di malam hari dengan penuh gemerlap dan kelap kelip.
Atau Wright bersaudara, Orville dan Wilbur, penemu pesawat terbang, yang pada akhirnya mengilhami perkembangan dunia dirgantara. Kita bisa dalam beberapa saat berpindah tempat dengan cara membumbung tinggi ke angkasa, duduk di antara awan berarak sambil menikmati menu hidangan dan minuman segar, bahkan tertidur dengan balutan selimut hangat. Atau jasa dari penemu televisi, komputer, mesin pendingin, fotografi, kesehatan, dan lain-lain.
Terlebih lagi berkembangnya teknologi dunia kesehatan yang dapat membantu persalinan bermasalah, penyakit-penyakit kronis, hingga prediksi penyakit yang akan timbul di tubuh kita serta cara pencegahannya.
Di bidang sosial, ekonomi, bahkan politik pun, dunia tak luput mengikuti perubahan dari zaman ke zaman.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka berkembang pula tingkat kebutuhan manusia.
Mulai dari kebutuhan paling primer, seperti pangan, sandang, papan (fisiologis), kemudian rasa aman, pengakuan sosial (cinta, kasih sayang dan hak kepemilikan), penghargaan, hingga aktualisasi diri (Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan Manusia).
Dan tentu saja dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut, sebagai makhluk sosial, di mana manusia saling membutuhkan manusia lainnya, maka alam mendorong perkembangan sistem kerja sama antar manusia dalam pemenuhan tersebut.
Dari ke lima hirarki ini kita melihat sampai hari ini perkembangan industri pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, menjadi bukan sebatas pemenuhan atas kebutuhan, melainkan menjadi industrialisasi.
Begitu juga upaya kemajuan teknologi digital yang bisa melayani pemenuhan rasa aman manusia. Dulu, orang menempelkan tulisan “Awas Anjing Galak” atau gembok besar untuk melindungi keamanan aset mereka, mulai dari nyawa keluarga, rumah hingga aset-aset dalam bentuk materi. Sekarang rasa aman itu bisa dalam bentuk sejenis kode-kode atau password-password yang saat kita klik saja, berbagai perisai pelindung sudah bisa kita hadirkan. Bukan lagi dalam bentuk “gembok pagar rumah” tapi mulai dari handphone, saat kita menyalakan komputer, menyalakan kendaraan bermotor, menghidupkan televisi, mengambil uang, membayar belanjaan, semua lewat “jalur on-off” keamanan lewat satu ujung jari telunjuk.
Yang menarik adalah, meski dengan kemajuan teknologi yang memudahkan segala upaya pemenuhan kebutuhan di atas, manusia sebagai makhluk sosial ternyata bukan semata sebatas berasal dari tanah.
Meski tanah mampu menghidupkan segala sumber daya alam, bisa dibentuk apapun secara fisik, Tuhan menciptakan manusia juga dari segumpal darah.
Dalam Al Quran surah Al Hajj ayat 5: “Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah.”
Demikian pula dalam Al Quran surah Al Alaq ayat 1-5, tersirat makna Allah menciptakan manusia dari segumpal darah yang dengan KemuliaanNYA, Allah mengajarkan manusia dengan (qolam) pena dan mengajarkan apa yang tidak diketahuinya.
Menurut penulis di sini lah manusia tidak hanya terdiri dari bongkahan gumpalan daging dengan organ-organ tubuh yang menyertainya, namun juga “Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan”.
Bukankah rahim itu “sifat Allah” ? Rahman dan rahim adalah kesatuan sifat yang di dalamnya terkandung rasa cinta kasih dan sayang, maka manusia pada “waktunya” akan tumbuh rasa kasih dan sayang. Manusia butuh energi ajaib ini dalam kehidupan sosialnya. Saling membutuhkan satu sama lain dan saling menumbuhkan kasih sayang di antara mereka.
Dan Allah mengajarkan apa yang tidak diketahui manusia lewat perantaraan “qolam”, yaitu ilmu pengetahuan, yang dari membacanya, mengolahnya, merekayasanya hingga melembagakan pengetahuan tersebut.
Di sini lah akhirnya manusia bisa “mencipta” apa yang tadinya hanya di alam akal. Keberhasilan-keberhasilan manusia tentu memerlukan penghargaan. Menghargai dan memberikan penghargaan atas sekecil apapun upaya manusia akan merangsang kebutuhan manusia berikutnya, yaitu aktualisasi diri. Di mana keberanian manusia untuk berkontribusi memberikan apa yang bisa dilakukannya demi kepentingan bersama.
Iman Syafi’i mengatakan bahwa: “Ilmu pengetahuan adalah binatang buruan dan tulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh karena itu, ikatlah dengan tali yang teguh”.
Menurut penulis di sini lah makna “qolam”.
Qolam bukan semata sebuah mata pena yang mengikat ilmu pengetahuan dengan menuliskannya. Melainkan qolam adalah ikatan yang teguh, di mana saat kita menuliskan semua ilmu itu, ujung akhirnya bukan semata “pembukuan” tetapi juga sejarah bahwa kapan sesuatu ditemukan, lalu dibukukan dan seiring waktu, perubahan akan menuntun pada kebutuhan yang sesuai. Makna yang terkandung di sini adalah “mata pena yang dalam sejarahnya menjadi mata penuntun pikiran manusia”. Masyaa Allah…
Kita juga tahu, bahwa meski Allah meniupkan ruh pada proses pembentukan anak Adam dalam rahim ibunya, kita pun belajar dari sejarah perkembangan anak keturunan Adam di awal sejarah.
Bagaimana Habil dan Qobil “bersaing” mendapatkan pemenuhan kebutuhan cinta dari pasangannya namun harus pula memenuhi “rasa keadilan” yang saat itu disyaratkan oleh Adam. Dari sini kita belajar tentang persaingan dalam upaya pemenuhan tersebut, dari sini kita belajar bagaimana pikiran dan hati menuntun kita saat kita memutuskan melakukan sebuah tindakan.
Kita beralih ke zaman di mana hari ini kita berdiri. Di mulai dari bangun pagi kita melihat dunia dengan begitu cepatnya menghasilkan populasi yang tinggi, hiruk pikuk transportasi yang memberikan layanan untuk mobilitas manusia, industri informasi dan digital yang melayani hasrat manusia untuk rasa ingin tahu tentang kondisi dunia saat itu lewat berita-berita online, bahkan digitalisasi lewat klik telunjuk jari di pagi hari bisa menghadirkan sepotong roti atau semangkok bubur ayam untuk sarapan serta segelas kopi panas lewat aplikasi order makanan.
Di belahan dunia lain, ada sekelompok manusia dengan rutinitasnya menebar jala, menanam benih bahkan ada yang memecah batu, atau menjahit kembali kulit manusia setelah mengeluarkan gumpalan tumor dalam tubuh seseorang.
Ada mereka yang menutup telinganya dengan “headphone” sambil terus menatap layar komputer, ada yang sedang mengajarkan huruf demi huruf dan cara membunyikannya, a ba ta tsa…
Manusia berhasil melewati perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, cinta kasih dan kepemilikan, sukses dengan berbagai penghargaan serta memberikan kontribusinya pada kepentingan hidup bersama yang diaktualisasikan dalam karir-karir mereka.
Tapi, mengapa perang tetap ada? Mengapa pertikaian tetap terjadi? Mengapa pertumpahan darah masih terlihat di depan mata? Berbagai pembodohan, keserakahan, manipulasi, kekerasan seksual, penindasan atas hak asasi tetap ada?
Ya! Mungkin ini yang dimaksud dalam Firman Tuhan bahwa manusia telah melampaui batas, seperti dalam Al Quran surah Al Alaq ayat 6-8: “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas. Ketika melihat dirinya serba berkecukupan. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).”
Saat Adam merasa kesepiannya terpenuhi berkat kehadiran Hawa, maka Adam pun melampaui batas. Ia menembus demarkasi dan melakukan pelanggaran untuk tidak mendekati pohon khuldi, tetapi justru memetik dan memakannya bersama Hawa.
Ketika manusia dalam amanahnya sebagai “Khalifah fil ardh” seperti dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 31: “(Ingat) ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku ingin menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? Padahal, kami bertasbih memuji dan menyucikan nama-Mu.’ Dia berkata, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” justru lalai. Kepemimpinan untuk merawat kerjasama antar makhluk Allah menjadikan manusia melampaui batas.
Pembelajaran atas apa yang terjadi pada masa Adam dan Hawa dianggap sebagai dongeng belaka.
Merasa serba berkecukupan dan mampu melewati semua pemenuhan kebutuhan dasar hingga ruang-ruang kehidupan lain, akhirnya batasan pada hirarki tersebut diterabas.
Pemenuhan atas kebutuhan perut, pakaian dan wilayah tinggal tak segan-segan melampaui
kesepakatan antar manusia.
Seperti kita alami bagaimana negara-negara Eropa menjajah bangsa-bangsa Asia dan Afrika, atau pendudukan Zionist Israel atas Palestina. Gusur menggusur terjadi untuk memenuhi hajat hidup di sejengkal area perut ke bawah.
Amerika menggusur Indian, Australia menggusur Aborigin, Portugis menggusur masyarakat Maluku, Halmahera dan sekitarnya, Belanda menggusur masyarakat Jawa, dan di banyak tempat lainnya.
Hingga saat ini, kejadian seperti masih kita alami dalam versi modern. Gusur lahan, aneksasi atau konsesi tanpa keadilan, terjadi secara kasat mata. Perampasan tanah ulayat, pembakaran hutan juga menjadikan tragedi kemanusiaan.
Belum lagi pemaksaan atas pajak, penentuan harga barang pangan dan bahan bakar dikenakan demi memenuhi hasrat sebuah “kewenangan dengan dalih pengaturan”.
Industrialisasi di bidang kesehatan menjadikan penelitian dan eksperimen atas nama perkembangan teknologi kesehatan menjadikan ilmu kedokteran bagaikan monster yang menakutkan. Uji coba kehamilan bayi tabung sebagai penemuan berharga yang menjawab kebutuhan pasangan usia subur untuk memiliki keturunan namun bermasalah, akhirnya justru menjadikan perkembangannya terseret pada rekayasa genetika yang berpotensi lahirnya “anak manusia tanpa orang tua manusia”.
Penelitian atas berbagai penyebab penyakit yang bermula dari bakteri ataupun virus menjadikan jalan untuk pengendalian nyawa manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan lagi sebagai “penemuan” melainkan senjata penentu kapan manusia boleh lahir, hidup, dan mengalami kematian karena suatu sebab.
Kapan manusia bertumbuh sehat dan kapan suatu penyakit menjangkiti hingga berujung pada kematian.
Sedemikian sesaknya kah dunia hingga perlu ada ruang-ruang kosong untuk menggeser dan menggusur anak cucu Adam? Lewat wabah yang direkayasa ataupun lewat kejahatan hukum yang diputar balikkan?
Di aspek hukum kita juga melihat bagaimana hukum tidak lagi menjadi neraca pengukur keadilan, menjadi palu ketuk pemutus perkara, juga bukan lagi menjadi keputusan atas pemberlakuan rasa keadilan, melainkan sebagai algojo yang memenggal peri kemanusiaan, menggantung leher hingga nafas kearifan dan etika hukum menggelepar dan akhirnya terbujur kaku bak bagkai-bangkai korban pembantaian atas nama kekuasaan.
Amanah kuasa yang semula dilimpahkan oleh orang-orang yang menyerahkannya dianggap sebagai kewenangan untuk menjadi penguasa. Lalu berkuasa atas segala kebijakan dan melampaui kewenangannya. Jika dulu penjara untuk menjeruji para penjahat, maka pemandangan saat ini tak ubahnya sebagai sekap untuk orang-orang yang kritis, para ilmuwan atau ulama yang vokal memberi peringatan tentang batas-batas “peran khalifah/kepemimpinan seorang manusia di muka bumi ini”.
Teknologi juga ternyata menjadi “senjata makan tuan” dalam hal keamanan. Alih-alih secara digital kita menyimpan data justru data itulah yang diretas dan dijadikan senjata untuk mengambil apapun kepemilikan kita. Bahkan kamar tidur di rumah kita pun yang kita pikir menjdi ruang privat paling aman tidak lagi menjanjikan hal itu. Dalam keadaan tertidur pun, aset kita bisa saja raib.
Sikap melampaui batas manusia pun mengikis rasa hormat, kesopanan dan adab. Kita melihat bagaimana dalil-dalil kebebasan bukan ditujukan agar manusia bebas berkreasi dan berkarya, melainkan untuk melecehkan norma, menggulingkan nilai-nilai luhur serta tuntunan agama.
Kita sudah menyaksikan bagaimana batasan halal haram, dosa pahala, menjadi begitu tipis lalu dikoyak oleh jargon hak asasi abal-abal hasil pemiliran tak bernalar. Tiada lagi sikap menghargai dan pemberian penghargaan, karena jika sudah suka sama suka, seolah jalan halal untuk kehidupan seks bebas, pasangan sejenis, transgender dan degradasi moral lainnya. Dan jika orangtua menasehati, maka orangtua akan berakhir di panti jompo, sendirian dan kesepian karena impian hidup menua beserta keluarga sambil bercengkerama dengan cucu hilang lenyap digerus oleh kesibukan anak-anak yang dilahirkannya karena sedang memenuhi rasa lapar dan karir mereka.
Dunia begitu cepatnya hingga manusia tak lagi
menjalankan rutinitas alami melainkan menjadi robot-robot hasil bentukan kemajuan teknologi dan semua yang berkonsep “cepat saji”.
Rasanya kita tidak lagi berada di masa kecil yang melihat tayangan film Star Trek di tv, begitu terpesona melihat Kapten Kirk dan Mr. Spock bercakap lewat layar di tempat yang berbeda. Atau adegan mengirim awak pesawat ke planet lain lewat “teleport”.
Pesona yang kita rasakan “bila kah kita tiba di era itu”, itu buyar saat kita sudah merasa cukup terpenuhi, lalu menjadikannya sebagai alat pemuas nafsu.
Ya, dulu kebutuhan yang harus lewat upaya panjang untuk memenuhinya, kini hanya dengan jentikan jari, berubah menjadi senjata pemuas nafsu.
Manusia bahkan dengan segala keserakahannya ingin mengambil peran “Pencipta” yang ada pada Tuhan dengan menciptakan teknologi berkonsep AI (Artificial Intelligence).
AI dikenal sebagai teknologi yang memiliki potensi besar untuk mengubah kehidupan manusia di masa depan.
Secara umum, AI merujuk pada program komputer yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan, logika, dan karakteristik kecerdasan lainnya (Kemendikbudristek, 2023).
Lalu, dengan teknologi AI ini muncul lah fenomena robot meyerupai manusia.
Robot yang dipresentasikan di forum AI mengatakan bahwa mereka diharapkan bertambah jumlahnya dan dapat membantu memecahkan masalah global. Manusa Robot itu juga memastikan bahwa kehadirannya tidak akan mencuri pekerjaan manusia atau memberontak melawan (CNBC, 08/07/2023: Manusia Robot Pertama Bicara: Beri Pesan ke Masyarakat Dunia).
Ini hanya lah awal, sangat berpotensi akan munculnya robot-robot menyerupai manusia dengan berbagai “size”, mulai dari bayi, anak-anak, hingga dewasa berjenis kelamin baik perempuan ataupun laki-laki beserta warna kulitnya.
Bukan hanya bisa membantu tugas pekerjaan manusia, namun juga sangat berpotensi menggeser dan menggusur peradaban manusia.
Seperti penulis singgung di atas, bagaimana teknologi yang semula adalah penemuan namun akhirnya berbalik menjadi senjata penggerus kehidupan manusia.
Sehebatnya robot, sepintarnya mengerjakan tugas manusia, sehematnya punya robot karena tidak perlu makan dan berobat, apakah bisa memberikan kasih sayang, menghargai dan memberikan penghargaan? Mengekspresikan perasaan hati, semburat malu, tersipu-sipu atau cemburu?
Bukan kah rasa-rasa itu yang dibutuhkan antar manusia?
Atau jika secara ekstrim, justru robot lah yang mengalami kerusakan sistem lalu malfungsi sehingga “melawan” manusia?
Atau bagaima jika robot-robot itu dibuat sebagai pasukan bersenjata.
Pasukan atau tentara yang tidak punya rasa rindu pulang, rasa ingin memeluk pasangan dan menggendong buah hati yang begitu dirindu saat bertugas?
Robot yang hanya mengenal instruksi “fire!” atau “cease fire”?
Apa jadinya dunia dihuni oleh makhluk tanpa “rasa kemanusiaan”?
Ke mana peradaban manusia akan dibawa?
Tak mengapa lah hidup tanpa robot, selama kita masih bisa melihat “rasa manusia” pada suami-istri, orangtua-anak, guru-murid, lelaki-perempuan, dokter-pasien, supir-penumpang, polisi-penjahat, hakim-terpidana, dan lain-lain.
Keberadaan mereka semua menjadi inspirasi dan pembelajaran atas sikap-sikap manusia.
Dari pembohong kita belajar jujur, dari yang acuh kita belajar peduli, dari yang sombong kita belajar bagaimana rendah hati, dari yang minder kita belajar meningkatkan kepercayaan diri, dari orang petakilan kita belajar bersahaja, dari orang jahat kita belajar baik.
Bukankah keberadaan manusia satu dengan lainnya untuk mengamalkan “nasihat menasihati dalam kebenaran”? (Al Quran surah Al Ashr ayat 1-3: 1. Demi masa, 2. sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran).
Maha Benar Allah dengan segala firmanNYA, semestinya adalah garis pembatas bahwa sebesar apapun kita bisa memimpin diri dan dunia ini, Tuhan Semesta Alam adalah Maha Raja Diraja.
Bahwa manusia hanyalah diberi amanah memimpin dan mengelola bumi. Bukan untuk menyerupai eksistensi dan sifatNYA.
Karena itu ratusan kali Allah menurunkan “Ratu Adil” sebagai Nabi untuk mencegah kekhilafan manusia dari hasrat ingin melampaui batas dan mengirim “Para Utusan Pembawa Risalah” sebagai Rasul dengan akhlak yang mulia sebagai Pengingat agar kita tetap di jalur yang Allah sediakan.
Manusia mulia yang menjadi “role model” akhalqul karimah yaitu Muhammad SAW meninggalkan pada kita petunjuk yaitu Dua Pedoman berisikan rambu-rambu yang wajib dipatuhi selama kita berselancar di dunia ini, yaitu Kitabullah dan Sunnatur Rasul. Pedoman ini lah yang berisikan persiapan kita menjadi pribadi-pribadi khalifah yang memenuhi kriteria insan kamil untuk bisa berselancar di lautan kehidupan ini dengan semua tantangannya. Dengan pedoman itulah kita selamat di dunia, terhindar dari gulungan ombak maksiat, hawa nafsu dan keserakahan, yang bisa menenggelamkan kita ke lautan dosa dan nista, serta karam di neraka, melainkan menjadi satelit pemantau posisi kita untuk terus stay tune on the track hingga syarat insan kamil itu terpenuhi dan Allah izinkan kita kembali menjadi penghuni surga.