Dicari : Pemimpin yang Membangun Tanpa Menyakiti Rakyat!
Dicari : Pemimpin yang Membangun Tanpa Menyakiti Rakyat!
Dicari : Pemimpin yang Membangun Tanpa Menyakiti Rakyat!
Oleh : Pril Huseno
Jakarta, 07 September 2023
Hari ini, Kamis (07/09/2023) penduduk Pulau Rempang Batam, berjibaku melawan 1000 lebih aparat gabungan TNI-Polri, BP Batam, dll yang hendak memaksakan pemasangan patok pembangunan “Rempang Eco City, Batam”.
Proyek Rempang Eco City (ROC) menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2023. Ada puluhan penduduk terluka, enam penduduk ditahan, ada juga siswa-siswa SD yang harus dilarikan ke rumah sakit terkena dampak gas air mata yang digunakan meredam perlawanan.
Menurut kabar, warga melawan karena mempertahankan hak ulayat, adat. Ada 16 kampung Melayu Tua yang eksis sejak 1834 bakal terkena gusur proyek PSN tersebut. WALHI dalam rilisnya meminta agar proyek ROC dihentikan karena dinilai tidak mengindahkan aspirasi masyarakat dan gagal melindungi dan melayani warga terdampak.
Kisah perlawanan warga yang terdampak proyek pembangunan, bukan cerita baru. Sebelumnya sebagai contoh, pada 15 juni 2023 lalu, warga Pulau Lae-Lae di Makassar-Sulsel yang berprofesi nelayan juga bentrok dengan petugas, akibat rencana pembangunan proyek reklamasi di pesisir Pulau Lae-lae.
Begitu pula nestapa yang mengancam warga Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT) akibat ambisi Pemprov NTT yang hendak menjadikan gugusan Pulau Komodo sebagai taman wisata premium kelas atas, sehingga penduduk Pulau Komodo yang sebelumnya berburu rusa, harus pindah tinggal ke pesisir dan alih profesi menjadi nelayan. Setelah jadi nelayan, mereka dilarang mencari ikan di laut karena lautnya dijadikan taman nasional untuk penyedap pandangan mata turis. Penduduk lalu beralih lagi ke sektor wisata menjadi pemandu wisata atau penjual souvenir. Setelah kadung tergantung pada sektor wisata, tiba-tiba – katanya – mereka harus pergi karena Pulau Komodo akan dijadikan destinasi wisata premium, dan Pulau Komodo akan ditutup selama satu tahun karena pembangunan fasilitas wisata premium tersebut.
Lalu penduduk asli harus ke mana, setelah pulau tersebut diserahkan kepada investor? Sampai kini rencana tersebut belum terlaksana karena tentu saja ditentang banyak pihak, dan Gubernur Victor Laiskodat terlanjur mundur dari jabatan karena mengikuti pemilihan Legislatif 2024.
Gagalnya Komunikasi dan Perencanaan
”Ideologi Pembangunanisme” sejak era orde baru ketika masuknya modal, menjadi masalah tersendiri ketika berbenturan dengan banyaknya kepentingan wilayah dan warga masyarakat terdampak pembangunan. Penduduk yang terkejut-kejut karena baru berkenalan dengan proyek pembangunan, konsep relokasi, penggusuran, dan uang ganti rugi, menjadi korban yang pertama kali merasakan dampak pembangunan. Muncul konflik-konflik lahan di sana sini akibat mulai digencarkannya industrialisasi dan berbagai proyek infrastruktur. Contoh kecil adalah protes mahasiswa dan kaum intelektual awal 70 an ketika proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) diperkenalkan. Para pejabat dan birokrasi menjadi petugas garda depan yang wajib menyukseskan proyek-proyek tersebut, betapapun harga yang harus dibayar antara lain meluasnya kebencian penduduk. Kasus bendungan Kedung Ombo, konflik lahan melawan petani di berbagai daerah juga menyeruak era 80 an.
Mulai dirasakan kebutuhan satu kajian ilmu sosial bagi pergeseran paradigma pembangunan yang harus memperhatikan juga kesinambungan ekologi dan pentingnya menjaga dan menghargai hak hak ulayat dan warga masyarakat terdampak pembangunan. Kajian tersebut menjadi masukan bagi para perencana pembangunan dalam mengkomunikasikan rencana-rencana proyek kepada warga masyarakat.
Orde Reformasi, Tetap Bermasalah
Alih-alih sukses besar dalam implementasi rencana dan pendekatan komunikatif kepada warga terdampak, era reformasi malah makin menunjukkan potret kegagalan perencanaan dan komunikasi. Deretan kasus konflik lahan perkebunan sawit dan industri, atau infrastruktur dengan warga masyarakat semakin banyak terjadi. Bahkan berlanjut dengan tuntutan warga masyarakat ke meja hijau. Namun, keputusan sidang pengadilan soal pertanahan dan agraria tetap jarang yang berpihak kepada warga pemilik lahan. Banyak putusan yang tidak efektif saat keharusan dieksekusi. Muncul pula mafia-mafia tanah yang ikut bermain dalam konflik tersebut dengan membangun akses dan jejaring di pengadilan (KPA : 2023). Terdapat ratusan konflik lahan yang sampai sekarang masih belum terselesaikan.
Sampai terakhir, muncul gagasan agar dibentuk pengadilan pertanahan khusus untuk mengakomodir konflik-konflik lahan tersebut. Namun Komisi Pembaharuan Agraria telah mengingatkan agar pengadilan khusus pertanahan tersebut jangan menjadi suaka bagi mafia tanah sehingga seolah mendapat legitimasi hukum di pengadilan. Kedua, Majelis hakim harus memiliki pemahaman terhadap hukum dan politik pertanahan di Indonesia, Ketiga, Perlu dibentuk lembaga atau komisi khusus yang menangani konflik agraria struktural. KPA juga mengusulkan adanya transitional justice untuk pemenuhan rasa keadilan sebelum dibentuknya Pengadilan Pertanahan.
Sebab, nantinya lembaga ad hoc tersebut ditujukan untuk menangani korban-korban konflik agrarian struktural warisan era kolonial Belanda, orba sampai era reformasi.
Penutup
Konflik lahan, memang bukan masalah sederhana. Tetapi sesungguhnya, masalah bisa dihindari jika sejak awal perencanaan pembangunan proyek telah dilakukan kajian total-komprehensif, termasuk apa jadinya jika proyek tersebut bersinggungan dengan lahan adat/ulayat, dan tempat kehidupan warga masyarakat nelayan, pertanian/kebun, dan warga perkotaan. Kasus jalan tol Pulau Jawa yang mengancam banyak warung pinggir jalan dan pedagang telur di sepanjang jalan nasional non tol sehingga dagangan mereka menjadi sepi pembeli, patut dijadikan pelajaran berharga. Dibutuhkan memang, kepemimpinan nasional yang benar-benar pro rakyat sehingga segala sesuatunya terkait laju pembangunan bisa dibuatkan konsep matang terlebih dahulu melibatkan para stakeholder. Apakah para perencana pembangunan tingkat pusat dan daerah tidak tersentuh hati dan pikirannya, mendengar jerit tangis warga yang terdzalimi seperti pada kasus Wadas tempo hari? Ataukah akan tetap terus kalah dengan desakan para pemodal yang mengumbar seribu janji bagi keuntungan finansial pribadi? Wallahu’alam…