Opini

“IMPIAN TETAPLAH IMPIAN”

"IMPIAN TETAPLAH IMPIAN"

“IMPIAN TETAPLAH IMPIAN”

 

Oleh : Dr. Sobirin Malian, SH.,M.H (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)

 

 

Jakarta, 17 Agustus 2023

 

Pasca vonis oleh hakim pimpinan Wahyu Iman Santoso, Maret 2023 lalu, intelektual trengginas Mochtar Pabotinggi, menulis di Kompas (8/3/2021), dengan judul “Panggilan Kerinduan”. Dalam tulisan itu dia begitu bersemangat dan menilai yang intinya “hukum dan keadilan” di Indonesia ternyata masih ada, tidak seperti yang dipersangkakan (oleh publik) selama ini bahwa hukum dan keadilan sudah lenyap. Sembari menguraikan bagaimana di masa perjuangan para founding father umumnya sangat idealis dan tulus tidak tergoda oleh hal-hal duniawi, senafas dengan para hakim yang menghukum berat Ferdy Sambo,cs.
Saya kutipkan salah satu alenia tulisan Mochtar Pabotinggi dalam Kompas itu, “Dalam keutuhan tekad bakti mayoritas Bapak/Ibu Bangsa, mereka kebal terhadap pelbagai godaan duniawi dan dorongan untuk korupsi. Mereka pantang terpikat, apalagi berlupa, dalam kenikmatan ragawi di tengah derita mayoritas rakyat yang masih berkalang puing-puing penjajah demi bangunan Cita-Cita Luhur Indonesia. Tegar mereka menampik “aji serakah” dan “aji mumpung.” Semua menolak instant and greedy gratification.” Begitu tulisnya dengan bangga bahwa para pendiri bangsa itu benar-benar demi kemajuan dan eksistensi bangsanya. Kaitan dengan vonis Ferdy Sambo (yang dihukum mati) itu, Mochtar beranggapan, itu sudah sejalan dengan idealisme para pendiri bangsa itu.

Impian yang Kandas
Sayangnya, Mochtar Pabotinggi sudah almarhum, dan dia lupa bahwa perjalanan kasus itu sesungguhnya masih panjang. Masih ada prosedur banding, kasasi dan mungkin peninjauan kembali (PK). Benar saja, putusan atas Ferdy Sambo cs pun akhirnya berubah, ketika hakim ketua yaitu Suhadi mengubah putusan Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup, juga istri dan rekan-rekannya mendapat obral diskon pengurangan hukuman. Ferdy Sambo sendiri mendapat pengurangan hukuman paling spektakuler dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup (biasanya 20 tahun).
Putusan Kasasi MA atas Ferdy Sambo cs itu, kembali menjadi sorotan publik dan sebagian menganggap hukum di Indonesia lagi-lagi mengalami turbulensi ke titik nadir. Pandangan itu semacam penguatan negatif terhadap hukum di Indonesia saat ini.
Banyak sudah yang menggambarkan hukum kita sejak lama tumpul ke atas , tetapi tajam ke bawah. Situasi yang menggambarkan bahwa hukum Indonesia hanya mampu menghadapi orang-orang tanpa kekuasaan dan mati kutu di hadapan orang-orang berkuasa dan berduit. Dewi keadilan pun diibaratkan hanya membuka matanya saat dihadapkan dengan kekuasaan sehingga keadilan itu sendiri dapat dipermainkan.
Konstalasi hukum semacam ini pada kahikatnya menurunkan tingkat kepercayaan (trust) masyarakat akan keberadaan hukum itu sendiri. Hal ini melihat fakta bahwa, hukum kita yang sering kali lemah dan absurd terhadap kasus-kasus yang melibatkan para elit politik, pengusaha dan elit penguasa. Hukum juga kerap loyo tak berdaya saat berhadapan dengan cukong-cukong. Hukum menjadi sahabat bagi para pesakitan yang mampu membayar hukum itu sendiri.
Pada dasarnya, hukum memang dapat dilihat dari perspektif para personil penyelenggara hukum yang ada di negeri ini. Keberadaan institusi kehakiman, kejaksaan, kepolisian dan lembaga hukum lain menjadi representasi akan tinggi atau rendahnya kepercayaan (trust) masyarakat terjadap hukum itu sendiri.
Hakim dan Keputusan Hakim
Jabatan apapun dengan kewenangan dan kekuasaan luas, sebagaimana halnya hakim, memiliki potensi (moral hazard) untuk disalahgunakan (a buse of power). Perilaku menyimpang ini pada taraf tertentu akan berubah menjadi suatu tindak kejahatan dengan daya rusak yang teramat dahsyat. Hal ini karena efek perbuatan ini selain merugikan pihak yang dizalimi dalam suatu perkara juga akan merusak tatanan hukum. Akibat paling ringan dari penyalahgunaan kekuasaan ini, kalaupun tidak merusak sistem secara keseluruhan, akan mengacaukan penegakan hukum. Penyalahgunaan hukum tersebut semakin menjadi sempurna dengan pengetahuan hukum dan kekuasaan yang dimilikinya untuk merekayasa berbagai kasus.
Dalam menerapkan hukum, hakim memiliki kekuasaan bebas dan mandiri serta independen dari campur tangan pihak mana pun. Namun, akan menimbulkan multitafsir tatkala “kebebasan” tersebut juga dianggap oknum sebagai keleluasaan untuk melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri dengan memanfaatkan hukum sebagai alatnya. Perilaku ini akan menjelma menjadi kejahatan sempurna karena sengaja dikemas dengan hukum yang berlaku sehingga seolah-olah merupakan bagian dari penegakan hukum atau kebijakan resmi.
Berlindung pada asas kebebasan di atas, ditambah asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukumnya), godaan melakukan penyimpangan dalam profesi “suci” demikian besar. Seakan ditangan hakimlah semua persoalan dapat diputarbalikkan. Hitam menjadi putih, yang salah menjadi benar, dan seterusnya. Dengan kekuasaan ditangannya, pihak yang berperkara akan turut “tergoda” berspekulasi memanfaatkan diskresi tersebut.
Besarnya kewenangan hakim memang sengaja diberikan oleh undang-undang untuk mempermudah mereka menegakkan hukum; dengan menggunakan hukum itu sendiri sesuai dengan keadaan yang berlaku dan cita-cita yang dituju. Akan tetapi, ketika hukum bersinggungan dengan berbagai kepentingan, akan terjadi pergulatan (konflik kepentingan) antara menegakkan hukum di satu sisi dan menggunakan hukum di sisi lain. Dalam menegakkan hukum terdapat kehendak agar hukum tegak lurus sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Di sisi lain, dalam menggunakan hukum, belum tentu ada upaya serius untuk meraih cita-cita yang terkandung dalam aturan hukum karena sebagian dari hukum itu digunakan untuk membenarkan tindakan yang dilakukan (to use the law to legitimate their actions). Perilaku “menggunakan hukum” inilah yang marak dilakukan oleh oknum-oknum hakim nakal yang menyalahgunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi.
Seorang hakim yang amanah, tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat. Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim. Namun, oknum hakim yang tidak memahami beratnya tanggungjawab profesi mulia ini akan memanfaatkan peluang sekecil apapun. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan dalam kasus yang ditanganinya sangat jauh dari rasa keadilan karena telah terdapat kepentingan pribadi atau intervensi dari luar. Segala kemampuan dan pengetahuannya di bidang hukum akan diorientasikan untuk kepentingan pribadinya. Sebagaimana ungkapan (asas), nemo iudex idoneus in propria causa; asas ini bertujuan menghindarkan hakim dari keberpihakan dalam menjalankan tugasnya.
Setiap tindakan hakim dalam memutus suatu perkara merupakan tafsir hakim atas hukum. Keputusan yang berdasarkan keadilan dan hati nurani sangat ditentukan oleh keterampilan, pengetahuan, pengalaman, integritas, akhlak dan keyakinan hakim. Namun, salah satu faktor paling dominan dan menentukan dalam memberikan keputusan hukum berkekuatan hukum tetap yang memenuhi rasa keadilan adalah diri pribadi hakim yang bersangkutan. Dalam catatan Garret Friffith (1998), pribadi hakim berintegritas yang menggunakan hati nurani akan terlihat dari cara dia bertanggungjawab; pertama, terdapat akuntabilitas dalam pengertian dapat menjawab (bertanggungjawab) terhadap cara melaksanakan wewenang/kekuasaan. Dalam hal ini kekuasaan kehakiman dapat menjawab dengan logika hukum. Kedua, dalam pengertian bahwa pelaksanaan wewenang hanya dilakukan dengan pembatasan tertentu. Misalnya, pengadilan tidak memasuki wilayah politik. Ketiga, dalam pengertian memungkinkan adanya sanksi dimanapun ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan/wewenang.
Oleh karena itu, kaidah-kaidah hukum dipandang sebagai suatu generalisasi dari perilaku para hakim (Theo Huijbers, 1995). Atas dasar itulah, budaya hukum hakim sangat dipengaruhi kualitas perorangan dari hakim, antara lain intelektualitas, pengalaman, akhlak dan juga latar belakang kehidupan yang bersangkutan. Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku para hakim sangat menentukan keputusannya.
Dimensi komitmen dan berpihak pada rakyat
Dalam konteks penegakan hukum di negara kita, salah satu dimensi penting yang harus melekat pada seorang hakim adalah dimensi perhatian dan kepedulian (komitmen). Dimensi ini menjadi salah satu ranah penting agar mampu mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Dalam dimensi ini, kepercayaan akan terbentuk saat adanya persepsi yang muncul terkait seberapa jauh dalam memperhatikan ataupun mempedulikan kepentingan pihak lain, di samping kepentingan diri pribadi (integritas).
Dalam ranah hukum saat ini, para penegak hukum dirasa tidak mampu membentuk kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan rakyat. Para penegak hukum_umumnya_gagal menjadi pihak yang terpercaya, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang hanya mementingkan diri sendiri dengan menerima suap atau menjadi mafia hukum. Tayangan drama -drama “Ferdy Sambo cs” layak menjadi contoh, gagalnya hakim memperdulikan rasa keadilan rakyat seperti “impian” Mochtar Pabotinggi yang tinggal impian itu.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button