Opini

Klaim Sesat Manfaat Hilirisasi (1): Jokowi Semakin Layak Dimakzulkan

Klaim Sesat Manfaat Hilirisasi (1): Jokowi Semakin Layak Dimakzulkan

Klaim Sesat Manfaat Hilirisasi (1):
Jokowi Semakin Layak Dimakzulkan

 

 

Oleh : Marwan Batubara (IRESS)

 

Jakarta, 15 Agustus 2023

 

Polemik soal hilirisasi nikel terus bergulir setelah Presiden Jokowi menjawab (10/8/2023) kritik Faisal Basri (9/8/2023) yang mengatakan hilirisasi nikel menguntungkan China. Jokowi dalam pernyataannya mengatakan Indonesia untung besar dari hilirisasi mineral. Kata Jokowi: ”Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun”.

Pembelaaan diri Jokowi tersebut telah ditanggapi Faisal Basri dengan berbagai argumen yang sangat relevan dan faktual. IRESS pun akan segera membuat artikel untuk mendukung kebenaran sikap dan analisis Faisal Basri.

Namun sebelum itu, kami perlu ungkap gugatan IRESS terhadap Jokowi atas manafaat hilirisasi nikel yang sebelumnya juga telah diklaim Jokowi (18/11/2021) seperti diedarkan IRESS akhir November 2021. Saat itu IRESS menggugat klaim manfaat hilirisasi Jokowi sebagai sebuah halusinasi. Karena relevan dan sejalan dengan sikap Faisal Basri, tulisan IRESS tersebut kembali kami sampaikan sebagai berikut.

Pada 18 November 2021, Presiden Jokowi mengatakan Pemerintah RI siap melawan Uni Eropa (UE) yang menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena melarang ekspor bijih nikel ke Eropa. Larangan ekspor nikel mentah atau bijih nikel mulai berlaku 1 Januari 2020 sesuai Permen ESDM No.11/2019 tentang Perubahan Ke-2 Permen ESDM No.25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini digugat UE ke WTO karena dianggap melanggar Pasal XI:1 dari GATT 1994.

Presiden Jokowi mengatakan: “Jangan tarik-tarik kita ke WTO karena kita setop (ekspor nikel). Dengan cara apa pun kita lawan. Sekarang ini lompatan ekspor kita tinggi ini dari (kebijakan) ini. Di bulan Oktober saja, sudah US$ 16,5 miliar. Sampai akhir tahun perkiraan saya bisa sampai US$ 20 miliar, hanya dari kita setop (ekspor) nikel” (Kamis, 18/11/2021).

Menurut Jokowi dengan larangan ekspor nikel mentah Indonesia dapat meraih keuntungan hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 284 triliun (kurs US$/Rp 14.200). Jika larangan ekspor berlaku pula untuk bauksit dan tembaga, maka Indonesia bisa untung hingga US$ 35 miliar. Kata Jokowi: “Kenapa kita lakukan ini? Kita ingin nilai tambah, kita ingin menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Mau tidak mau mereka harus inves di Indonesia atau ber-partner dengan kita” (18/11/2021).

Kata Presiden Jokowi ada empat manfaat utama mengapa larangan ekspor bijih nikel dilakukan. Pertama, membuka peluang investasi di sektor hilir industri nikel (hilirisasi). Kedua, dengan hilirisasi, Indonesia akan memperoleh nilai tambah 10 kali lipat. Ketiga, hilirisasi dan investasi membuat Indonesia meraih keuntungan puluhan miliaran US$. Keempat, hilirisasi dan investasi menciptakan lapangan kerja yang cukup luas bagi rakyat Indonesia.

Sikap Presiden Jokowi melawan gugatan UE layak didukung. Namun terkait manfaat yang diungkap, tampaknya terdapat hal-hal yang perlu digugat, terutama terkait proses hilirisasi, lapangan kerja, dan “keuntungan negara”. Dalam hal ini telah terjadi pelanggaran terhadap beberapa peraturan yang berlaku dan hal-hal yang merugikan negara, sehingga klaim keuntungan negara yang disebut puluhan miliar US$ menjadi tidak valid, sarat pencitraan dan menyesatkan!

Pertama, pada 2015 pemerintah menyatakan hilirisasi bijih nikel menjadi produk siap pakai memberi nilai tambah 19 kali. Ternyata mayoritas produk puluhan smelter China dan investor lain di Indonesia adalah hasil “pemurnian” berupa Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Hidroxite, serta sedikit hasil “forming” berupa stainless still. Karena masih jauh dari siap pakai, produk-produk ini diekpsor ke China untuk proses lanjutan berupa fabrikasi. Karena itu, negara yang memperoleh manfaat terbesar dari hilirisasi nikel mentah adalah China. Sedangkan Indonesia, menurut LPEM-UI (2019), hanya memperoleh nilai pengganda sekitar 3 hingga 4 kali saja.

Kedua, ternyata nilai tambah tangible 3-4 kali yang sudah rendah ini pun sebagian besar tidak masuk menjadi pajak atau PNBP, tetapi justru lebih banyak dinikmati China, investor China, konglomerat, dan TKA China. Sebab para investor China dan konglomerat mendapat banyak insentif berupa: 1) bebas Bea Masuk (karena mekanisme Master Lists); 2) bebas Royalti (sebagai pemegang IUI, bukan IUP); 3) Tax Holiday; 4) bebas PPN; 5) bebas Pajak Ekspor; 6) bebas PPH-21, Iuran Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA China menggunakan visa kunjungan 211 (bukan visa kerja 311).

Dengan berbagai insentif pajak dan fiskal terhadap proses “seperempat hilirisasi” yang diuraikan di atas, rakyat harus sadar bahwa yang kita dapatkan sebagai pemilik SDA mineral nikel sangatlah rendah, jauh dari nilai yang seharusnya! Bahwa klaim keuntungan hingga US$ 16,5 miliar (hingga Oktober) dan US$ 20 miliar (hingga Desember 2021) yang dibanggakan Presiden Jokowi hanyalah halusisnasi. Sebab dari nilai besar NKRI mendapat bagian sangat minimal, diperkirakan hanya sekitar 5-10%. Sisanya justru dinikmati China, investror China, konglomerat, TKA China dan para anggota oligarki.

 

Ketiga, nilai tambah intangible program hilirisasi berupa kesempatan kerja ternyata tidak pula dapat dinikmati rakyat Indonesia secara adil dan berdaulat. Para investor China, taipan dan oknum-oknum pejabat pemerintah justru memilih mempekerjakan TKA China yang hanya lulusan SD, SMP dan SMA untuk menjadi buruh kasar dibanding pribumi. Apalagi jika yang dibutuhkan adalah pekerja terampil/skilled. Maka kesempatan kerja tersebut pasti jatuh kepada TKA China. Kondisi berbeda hanya yang terjadi pada Antam (BUMN), Vale segelintir smelter investor domestik yang mayoritas pekerjanya adalah tenaga kerja domestik.

Ditemukan smelter China, Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) mempekerjakan sekitar 2000 TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Sedangkan smelter Obsidian Stainless Steel (OSS) ke DPR RI mempekerjakan lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%. Hanya 1 dari 608 orang (0,1%) TKA di VDNI dan 23 dari 1167 orang TKA di OSS yang memiliki pengalaman diatas 5 tahun sesuai peraturan pemerintah!

Jika ditelusuri lebih lanjut mayoritas smelter China dan konglomerat yang menguasai sekitar 85% industri nikel mempekerjakan puluhan ribu TKA China. Kuantitas TKA China lebih besar dibanding pekerja lokal/pribumi. Smelter tersebut meliputi VDNI, OSS, Tsingshan Stainless Steel, SMI, Guang Ching Nickel, Broly Nickel Industri, QMB, Ruipu Nickel and Chrome, Puqing Recycling Tech., Hua Pioneer, Karyatama Konawe Utara, Bintang Smelter Indonesia, Cahaya Modern Metal Industri, MBG Nikel Indonesia, dll.

Merujuk kembali pada pernyataan Presiden Jokowi bahwa larangan ekspor dilakukan agar lapangan kerja terbuka luas, ternyata yang mendapat kesempatan lebih banyak adalah TKA China, hanya dengan kualifikasi ijazah SDM, SMP dan SMA. Bahkan gaji TKA ini justru lebih besar 3 hingga 4 kali lipat dibanding tenaga kerja domestik/pribumi. Kondisi ini jelas melanggar berbagai aturan terkait sektor minerba dan ketenagakerjaan yang berlaku.

IRESS mendukung Indonesia melawan gugatan EU di WTO. Hilirisasi merupakan hak kita sebagai negara berdaulat demi rakyat. Namun, terkait berbagai manfaat yang diklaim Presiden Jokowi, kita pantas menggugat. Hilirisasi yang terjadi masih jauh dari kondisi ideal dan konstitusional. Nilai tambah justru lebih banyak dinikmati China dan investor China. Begitu pula klaim keuntungan sebesar US$ 20 miliar. Negara hanya memperoleh bagian kecil, tidak lebih dari 10%, sebab untung terbesar milik China, investror China, TKA China dan para taipan oligarkis. Adapun klaim lapangan kerja, yang menikmati lebih banyak justru TKA China yang bebas masuk dengan berbagai fasilitas melanggar aturan, termasuk saat pandemi.

Kita tidak tahu apakah Presiden Jokowi paham dengan apa yang diklaim dan fakta lapangan yang diuraikan di atas. IRESS juga khawatir, jangan-jangan Presiden Jokowi memang sengaja memanipulasi informasi sebenarnya demi citra. Minimal tulisan ini bisa mengungkap fakta, serta menunjukkan klaim absurd dan sesat Presiden Jaokowi. Tidak seharusnya publik disuguhi klaim hiperbolis dan sarat pencitraan, padahal negara hanya mendapat bagian sangat kecil dari nilai hilirisasi puluhan miliar US$ yang diklaim. Bahkan hak rakyat lokal/nasional pun telah dirampok atas nama program hilirisasi, investasi dan pembukaan lapangan kerja sarat kepentingan oligarki dan China!

Setelah tulisan ini dirilis pada November 2021, ternyata pada 2022 dan 2023, Presiden masih saja mengulang-ulang keberhasilan absurd dan sesat tersebut. Presiden dan para pembantunya malah terlibat agresif mengecam Faisal Basri yang mengungkap fakta manfaat minimalis program hilirisasi, maksimum hanya 10%. Sikap Jokowi dan para pembantunya ini akan IRESS tanggapi lebih lanjut pada tulisan berikut (tulisan No.2).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button