Opini

Kebudayaan Sebagai Adab Bangsa

Kebudayaan Sebagai Adab Bangsa

Kebudayaan Sebagai Adab Bangsa

 

oleh : Maria A. Alcaff

 

Jakarta, 9 Agustus 2023

 

Berkereta, sesuatu yang telah lama sekali tidak saya lakukan. Bertahun-tahun saya melewati perjalanan antar kota, antar negara menggunakan pesawat terbang. Tentu bukan karena merasa mampu mengeluarkan sejumlah uang, namun karena waktu yang lebih cepat.
Terakhir saya mengunjungi Yogyakarta pada tahun 2018, juga menggunakan pesawat. Sedemikian ingin cepat sampai sehingga waktu menjadi berharga untuk dibuat berlama-lama.
Kali ini saya menuju Yogyakarta dengan berkereta, yang menjadi bagian dari agenda saya menutup bulan Juli 2023. Saya mendapatkan kesempatan menghadiri Pagelaran Budaya yang dihelat oleh Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 29 Juli 2023

Pagelaran Budaya yang dihelat oleh Universitas Islam Indonesia (UII) pada tanggal 29 Juli 2023

Di atas kereta, yang tentu saja sudah lebih maju kondisinya saat ini, ada sedikit “kenikmatan” mencicipi sesuatu yang lama terlewatkan. Bagaikan meneguk cita rasa kopi warisan yang telah lama tak terjamah oleh lidah. Ada kenangan-kenangan yang mondar mandir saat aroma kopi terhirup dan rasa pahit yang kembali menjadi istimewa seolah penyempurna hadirnya memori yang tersembunyi.

Malam itu saya bertemu dengan orang-orang hebat yang bernalar sehat, berkemampuan mencipta hal-hal besar serta memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan buah pikirannya.

Mereka juga orang-orang pemberani untuk memgungkapkan sesuatu, tanpa takut apapun reaksi orang lain pada apa yang diungkapkannya.
Saya bertemu dengan seorang budayawati yang karyanya sangat saya kagumi.

Beliau penulis novel yang kemudian kisah dalam novel-novelnya diangkat ke film. “Perempuan Berkalung Sorban”, “Kartini”, “Menebus Impian” adalah tiga film beliau yang saya tonton. Dibintangi oleh artis-artis papan atas seperti Reza Rahardian, Revalina S. Temat, Widyawati, Dian Sastrowardoyo, Christine Hakim, Acha Septriasa, Fedi Nuril, Ayu Diah Pasha, dan lain-lain. Meski saya belum membaca novelnya, tapi saya ingat betul kisah di film-film tersebut. Tak heran sineas sekelas Hanung Bramantyo menggarapnya dengan apik. Beliau adalah Abidah El Khalieqy.

Saya melihat Ibu Abidah malam itu sebagai sosok yang dengan pengalaman serta kemampuan bahasanya (film Perempuan Berkalung Sorban bahkan disubtitel dalam 3 bahasa, Indonesia, Jawa, dan Arab), sedang mengajarkan arti “berekspresi”.

Dalam 3 film yang saya sebut di atas, tokoh sentralnya adalah perempuan.
Bagaimana perempuan membangun karakternya tanpa harus kehilangan adat leluhur, adab kesantunan wanita serta semangat juang demi perubahan. Semua pembangunan karakter perempuan dalam karya Ibu Abidah ini menjadi referensi sepanjang zaman, setidaknya hingga saat ini tentang bagaimana mengenal “perempuan dalam budaya perjuangan”.

Ah… ternyata budaya, kebudayaan bukan semata cerita tentang adat, tentang budi pekerti, cipta rasa dan karsa semata. Namun sarat di dalamnya muatan nilai yang menjadi pranata sikap di mana  manusia membangun peradabannya.

Selain saya juga menjumpai banyak tokoh dari kalangan akademisi kampus-kampus Yogyakarta seperti UGM, UMY, dan lain-lain, yang menarik adalah Pagelaran budaya ini pun dihadiri oleh Dr. Hendrajit (Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute) yang memberikan orasi kebudayaan sebagai pembuka acara.
Sesaat saya sempat berpikir, Mas Hendrajit (saya memanggilnya dengan sebutan “Mas”, karena beliau kakak tingkat di kampus saya dulu) orang dengan latar belakang politik justru memberikan orasi kebudayaan sebagai gong pembuka ekspresi gelar budaya malam itu?, Mas Hendrajit menggunakan sudut pandang Geopolitik dan Geostrategi dalam melihat faktor kebudayaan yang dalam sejarahnya menentukan kebangkitan suatu peradaban dari keterpurukan sekaligus menangkal potensi runtuhnya peradaban.

Diulas pula bahwa fakta geografis hanyalah tinggal fakta jika hanya diamati, karena sejatinya, tanpa keberadaan manusia, dunia ini bukanlah lingkungan. Tanpa keberadaan manusia dunia ini tidak akan eksis. Bahwa kekayaan alam yang semula dengan berbagai persona virginitas dan misterinya, cara-cara manusia lah yang menentukan berbagai produk alam akhirnya dilahirkan dari perut bumi.

Bahwa pada akhirnya manusia dihadapkan pada sebuah keputusan, mengeksploitasi atau mengolah sambil menjaga keseimbangan.

Di bagian ini saya memandang bahwa Mas Hendrajit sedang mengajarkan kita sebuah peradaban tentang mempertahankan keseimbangan. Sebuah budaya tentang mengambil dan memberi, sebuah peran “merawat” (ekosistem) yang dengan budaya mempertahankan itu, kita merawat alam maka alam memberi kita sumber kehidupan.

Melihat, mendengar para budayawan dan budayawati malam itu, seolah saya sedang dalam ruangan kelas mata kuliah “Gelar Budaya”.
Bagaimana tidak, mulai dari rasa terpukau saya hingga saya berseloroh “Teman mainnya Om Pril kelas berat semua, semua yang ke luar lewat suaranya, otak semua”.

Om Pril yang saya maksud adalah Pril Huseno, yang saya anggap sebagai sahabat, mentor sekaligus guru saya dalam menulis. Lewat beliaulah saya menjadi tamu undangan di acara Parade Kebudayaan UII dan mendapatkan kehormatan membacakan puisi beliau.
Ya, malam itu saya seperti “kuliah lagi dengan bobot SKS hampir seberat skripsi atau seminar politik”.
Bahwa fungsi budaya adalah pranata nilai dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, yang di dalamnya ada upaya mempertahankan kelangsungan kehidupan manusia.

Pada kehidupan berbangsa pranata nilai ini menjadi pedoman untuk merekatkan antar perbedaan, menerima dan merawat berbagai keragaman, melestarikan warisan leluhur dan menjaganya sebagai sebuah bangunan nilai, rumah tempat kita memerlukan menemukan apa yang kita butuhkan dalam hidup.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kental dengan keberagaman, adat dan tradisi serta berbagai seni dan cara berkomunikasi. Dan tak kalah pentingnya juga kebijakan-kebijakan kesukuan serta agama dan kepercayaan. Ini adalah badan bangunan dan tiang-tiang yang berdiri di atas fondasi berbagai aneka kekayaan alam. Baik sumber daya tanah, yang meliputi di atas maupun di dalam tanah serta sumber kelautan.
Semuanya menjadikan kita sebagai manusia yang kemudian bangsa yang berdiri di atas sikap penuh rasa, daya cipta serta menjaga. Kerangka situasi inilah yang menjadikan sekelompok manusia membangun bangsa yang beradab.

Bahwa kekayaan alam yang menghampar di mana kita hidup dan berpijak di atasnya, bukanlah hadiah yang sekonyong-konyong hadir bagaikan doorprise atau durian runtuh.
Sebagaimana warisan, kekayaan alam adalah kolam tempat kita berenang di antara karang, rumput laut, pasir kemilau dan air yang mengandung garam. Jatah hidup anak bangsa untuk terus dirawat agar tidak dicuri ataupun dibuat kotor.
Isi kolam dikuras, dan dibiarkan ditinggalkan bak kubangan sampah.
Mungkin inilah yang membuat Prof. Sarbini Sumawinata mengekspresikan kekuatirannya. Meski banyak yang mengatakan, termasuk beliau sendiri mengatakan bahwa beliau bukanlah budayawan, namun Prof. Sarbini yang Ekonom Sosialis itu tiba-tiba menyerukan perlunya Revolusi Kebudayaan.

Kekuatirannya akan runtuhnya budaya Indonesia yang membuat Guru Besar Ekonomi di Universitas Indonesia ini melihat bahwa Revolusi Industri, listrik, transportasi dan komunikasi mengubah Dunia kemanusiaan.
Pola pikir kita tidak boleh lagi seperti pola pikir orang miskin. Sikap anti kapitalisme diwujudkan sebagai anti AS, anti Barat, anti orang-orang kaya, dijadikan jualan yang membuat Dunia Barat enggan berinvestasi.
Begitu juga dalam pandangan agama yang diidentikan AS, Barat, Yahudi, sebagai musuh bersama perlu adanya Revolusi Kebudayaan.
Apakah Prof. Sarbini yang sosialis berubah menjadi Prof. Sarbini yang pro kapitalis?

Sementara menurut Prof. Dr. Kuntjaraningrat yang Antropog, mengemukakan bahwa kebudayaan atau unsur-unsur budaya adalah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Unsur-unsur itu meliputi:
1. Budaya berupa bahasa,
2. Budaya berupa pengetahuan,
3. Budaya berupa organisasi sosial,
4. Budaya berupa peralatan hidup dan teknologi,
5. Budaya berupa ekonomi,
6. Budaya berupa religi,
7. Budaya berupa kesenian.

Sehingga wujud budaya Indonesia meliputi nilai-nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial, kebudayaan fisik, yang akhirnya berfungsi sebagai identitas, sebagai batas, sebagai komitmen, sebagai stabilitas, dan sebagai pembentuk sikap dan prilaku.

Dari pembelajaran di penghujung Juli di Yogyakarta yang saya dapatkan sebagai “kuliah ekspresi” dari budayawan-budayawan lokal yang hebat, pendapat para ahli, serta apa yang saya serap, cerna lalu saya pikirkan, maka pandangan saya sebagai warga negara Indonesia, sebagai anak bangsa, cukup kiranya saya kembali pada sikap dan tindakan para pejuang Kemerdekaan di masa lalu.
Para pejuang yang membidani kelahiran NKRI adalah juga pejuang kebudayaan.
Mereka paham apa arti budaya berjuang, mempertahankan tiap jengkal tanah berharga sebagai kedaulatan, yang tak bisa lagi dirampas, dicuri lalu ditinggalkan mati perlahan.

Para pejuang kita terdahulu paham arti keseimbangan ekosistem. Mereka memperjuangkan tanah negeri yang kaya raya sebagai perhiasan batu jamrud yang layak diwariskan kepada anak cucu untuk menjamin kelangsungan hidup mereka kelak. Para pejuang kita paham arti berkomitmen meski harus mengorbankan nyawa. Mereka paham bahwa kematian mereka adalah tebar benih untuk tumbuhnya generasi penerus yang akan melanjutkan cita-cita Kemerdekaan.
Mereka paham tentang arti koneksitas dalam menghubungkan perjuangan di masanya kepada perjuangan anak cucu di masanya, yaitu dengan meninggalkan jejak warna merah putih pada sang Saka yang berarti keberanian (merah) untuk mempertahankan sebuah kesucian yang dijaga dari perjuangan mempertahankan kedaulatan (putih), serta meninggalkan dasar negara berupa 5 nilai tuntunan anak bangsa NKRI. Meronce-nya bagai ikatan yang tak kan tercerai berai, sebagai kalung azimat penjaga warga negara sebagai bangsa yang beradab.
Yaitu insan-insan yang berTuhan, berprikemanusiaan, saling bersatu, bermusyawarah dan bermufakat sebagai kekuatan rakyat, menuju masyarakat yang adil dan makmur, berdiri tegak tak tergoyahkan di atas Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghafur.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button