Jangan Jadi Presiden, Kalau Tidak Mau Dicaci
Oleh : Nuim Hidayat (Wakil Ketua Majelis Syura Dewan Da’wah Depok)
Jakarta, 6 Agustus 2023
Di negeri kita, presiden diberikan fasilitas nomor satu. Keamanannya, kesehatannya, makanannya, tempat tinggalnya, pengawalannya, pembantunya dan lain-lain.
Presiden adalah orang kuat nomor satu di tanah air. Ia mengangkat puluhan menteri, kapolri, panglima TNI, komisaris-komisaris BUMN dan lain-lain.
Ia juga digaji tinggi oleh rakyat, di samping bisa mengeluarkan uang untuk beli ‘apa saja’ dan menerima uang dari mana-mana yang seringkali rakyat tidak mengetahuinya.
Karena fasilitas dan berbagai kemewahan yang diberikan rakyat kepada presiden, maka rakyat berhak untuk mengontrol presiden. Bisa secara langsung atau lewat anggota DPR.
Rakyat berhak mengritik presiden bahkan ‘mencaci makinya’. Lihatlah di Amerika yang seringkali dijadikan rujukan demokrasi oleh para pejabat kita. Di sana rakyat bebas membuat tulisan atau buku yang membedah keburukan presiden. Di sana juga bebas rakyat untuk mengritik sekeras-kerasnya kepada presidennya.
Bahkan di masa Presiden Donald Trump, kita lihat bagaimana kelompok oposan penentang presiden membuat boneka Trump dan meninjunya beramai-ramai.
Maka bila Rocky Gerung mengatai presiden dengan bajingan tolol harusnya tidak dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan harusnya kelompok-kelompok pendukung presiden yang mencegah Rocky ceramah di berbagai kampus dan melaporkan Rocky ke kepolisian.
Moeldoko, kepala staf presiden, yang marah-marah di hadapan pers dan pasang badan untuk Jokowi, juga aneh. Mantan panglima TNI ini sepertinya tidak paham dengan demokrasi. Kalau paham, mestinya ia mengajak debat Rocky atau melaporkannya ke kepolisian.
Para pendukung presiden juga tidak konsisten dengan demokrasi. Kalau mereka konsisten, laporkan saja puluhan orang atau ratusan orang yang tiap hari berseliweran menghina atau mencaci maki presiden di medsos, khususnya Twitter.
Di ‘alam kebebasan’ mengadili pikiran atau perkataan seseorang bukan waktunya lagi. Biarkan orang bebas menulis atau bicara. Omongan balas omongan, tulisan balas dengan tulisan. Kecuali tulisan atau omongan yang arahnya pornografi atau ancaman penghilangan nyawa mungkin bisa dipidanakan.
Pihak kepolisian sendiri, bila sampai menjadikan tersangka Rocky Gerung, menunjukkan polisi tidak bisa berbuat adil. Polisi hanya menuruti kelompok pendukung presiden dalam memperkarakan Rocky. Harusnya polisi berpegang pada asas keadilan dalam masalah penghinaan, kabar hoaks atau apapun pasalnya pada kasus Rocky ini. Kalau Rocky ditangkap, harusnya puluhan atau ratusan orang tiap hari ada yang ditangkap. Karena, sekali lagi, di era internet atau medsos ini, hinaan atau cacian adalah biasa terjadi.
Tentu sebagai Muslim, kita mempunyai ada adab dalam bicara. Tapi kalau Anda jadi presiden, gubernur, walikota dan sebagainya, anda harus memberi kebebasan bagi rakyat untuk bicara. Dengan kebebasan bicara, maka dapat ditemukan pendapat mana yang terbaik. Dan rakyat, kita tahu, mempunyai gaya bicara yang berbeda, ada yang halus, datar dan ada yang kasar dalam bicara.
Maka jangan heran, sewaktu Presiden SBY dulu berkuasa, ia tidak memperkarakan dirinya dikata-katai pendemo seperti binatang kerbau. SBY juga tidak mengerahkan pendukungnya untuk mempersekusi para pendemo.
.
Dalam sejarah Islam, kita ingat bagaimana Khalifah Umar bin Khattab begitu egaliternya. Ia tidak memperkarakan rakyatnya yang saat itu protes keras terhadap kain yang dibagikannya. Disebut dalam satu riwayat, seorang rakyatnya saat itu mengancam dengan pedang kalau Khalifah Umar tidak bisa menjelaskan tentang pakaian yang ia kenakan saat itu. Sebagaimana diketahui saat itu ada pembagian jatah satu potong pakaian untuk seluruh rakyat, termasuk Khalifah. Umar yang badannya tinggi besar, perlu dua potong pakaian untuk ukuran bajunya. Karena dipermasalahkan, Umar akhirnya menjelaskan bahwa bajunya itu ia dapatkan dari satu potong jatahnya dan satu potong jatah anaknya, Abdullah bin Umar.
Presiden Jokowi dalam kasus Rocky ini juga aneh. Ia menyatakan bahwa kasus Rocky ini masalah kecil, tapi ia membiarkan stafnya Moeldoko untuk marah-marah membela presiden di hadapan pers. Harusnya kalau ia menganggap kasus Rocky itu masalah kecil, ia mencegah Moeldoko untuk pasang badan kepadanya, melarang pihak kepolisian memproses kasus hukumnya, dan melarang para pendukungnya ‘mempersekusi’ Rocky.
Tapi begitulah di negeri ini. Sifat hipokrit itu biasa terjadi. Sebagaimana banyak politisi, mengatakan A tapi yang dilakukan B. Apalagi istana memang menerapkan demokrasi ini dengan setengah hati. China kini jadi rujukan dalam pembangunan dan kesejahteraan.
Jadi bila Rocky Gerung dijadikan tersangka dan dihukum penjara, maka demokrasi di negeri ini benar-benar telah sekarat. Kebebasan bicara yang dijamin UUD 45 dikebiri dan pemerintah berubah menjadi otoriter, sebagaimana negara China.
Sekaratnya demokrasi itu telah terlihat ketika Menko Marves Luhut Pandjaitan menuntut Haris Azhar dan Fathia di pengadilan. Hanya gara-gara pernyataan keduanya yang menghina Luhut.
Istana memang sedang tersihir oleh kemajuan China. Mereka rabun akan bahaya komunis China dan sifat diktatornya. Kini mereka terapkan sifat diktator itu untuk Haris Azhar, Fathia dan Rocky Gerung. Setelah sebelumnya gaya diktator itu mengena pada Syahganda, Edy Mulyadi dan lain-lain. Tentu rakyat yang mayoritas pendukung demokrasi (yang berketuhanan) tidak akan diam.
Maka disinilah pentingnya perubahan. Membawa Indonesia kembali ke jalan demokrasi, bukan jalan diktator ala China. Wallahu azizun hakim.