Kajian HukumKajian Politik

“Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024, Dulu Kolonial Sekarang Oligarki”

“Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024, Dulu Kolonial Sekarang Oligarki"

“Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024, Dulu Kolonial Sekarang Oligarki”

 

Jakarta, 14 Juli 2023

 

Prof. Ward Barenschott, KITLV Leiden/Universitas Amsterdam menyampaikan 3 Argumen Pokok dari hasil penelitian meliput 150n kasus konflik perusahaan sawit dan rakyat, seperti ditulis di bukunya bersama Prof Afrizal Universitas Andalas yang diluncurkan dan diseminarkan Universitas Paramadina – LP3ES, buku tersebut  berjudul “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”. Kamis (13/07/2023).

 

Peluncuran Buku Dan Seminar “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”, pada Kamis (13/07/2023)

 

lahan yaitu mendirikan badan mediasi di tingkat propinsi dan kabupaten. Itu untuk mengatasi tidak adanya kompetensi SDM di bidang penyelesaian hukum di tingkat daerah.

Selain itu Barenschott menyoroti transparansi. Transparansi terhadap Izin HGU yang diberikan kepada perusahaan memonitor apakah perusahaan peroleh fee, prior and informed consent dari warga terdampak Government harus tegas terhadap masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang menolak kewajiban.

 

Prof. Ward Barenschott, KITLV Leiden/Universitas Amsterdam

 

“Pemerintah pusat dan daerah harus menindak tegas perusahaan yang menolak kewajiban dan menolak terlibat dalam penyelesaian konflik, pungkasnya.

Sementara itu, Dr Bvitri Sutanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera mengatakan, ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara pemerintah kolonial dengan pribumi, namun setelah kemerdekaan relasi buruk tersebut tidak pernah dibedah setelah kolonialisme pergi. Dan ternyata pemerintah Kolonial sekarang digantikan oleh oligarki.

“Jadi relasinya pada reproduksi. Kalau dulu kolonialisme, sekarang adalah korporasi. Lalu di mana pemerintah? Mestinya ada yang memediasi relasi yang tidak seimbang tersebut. Sementara aparat pemerintah hanya menjalankan fungsi-fungsi administrasi belaka, dan tidak ada respek, penghormatan terhadap hak hak warga dan HAM. Karenanya, masalahnya terjadi reproduksi terhadap relasi yang tidak setara,” kata Bvitri.

 

 

Menurut Bvitri, masalah besar pertanahan saat ini terjadi karena terkait dengan hukum kolonial. Rata-rata negara eks kolonial tidak membongkar hukum kolonial karena dia ternyata menguntungkan orang yang punya kekuasaan.

“Itulah yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia. Pola hukum lama kembali digunakan. Juga pola hukum penghasutan warisan kolonial yang kembali digunakan,” paparnya.

Jadi, lanjutnya, tidak ada yang berubah setelah lebih 70 tahun merdeka. Yang berbeda, munculnya pemain baru yakni Civil Society. Civil society yang tidak hanya mengganggu oligarki tapi juga berupaya melaksanakan edukasi hukum kritis terhadap hak hak warga.

“Kalau relasi-relasi kekuasaan tidak pernah dibongkar, maka kita tidak akan pernah bisa membongkar konflik-konflik yang ada, dan tidak hanya konflik agraria. Namun penyumbang masalah-masalah yang paling tinggi memang konflik agrarian,” paparnya.

 

Menurut Afrizal dosen Universitas Andalas, buku ini bermula dari kasus besar di mana warga Desa Olak-Olak bersama 9 warga desa lainnya di Kalimantan barat menuntut PT Sintang Raya (Kelapa Sawit) membayar kompensasi atas tanah mereka yang diambil dan meminta mengembalikan sebagian tanah.

“Buku ini juga mengupas perkara di atas dan 150 kasus konflik lahan warga dengan perusahaan kelapa sawit. Masalah konflik kelapa sawit merupakan masalah besar dan mendesak diselesaikan. Tidak hanya untuk komunitas perdesaan tapi juga pemerintah dan perusahaan kelapa sawit. Konflik kelapa sawit juga menyediakan jendela untuk mengeksplorasi karakter kewarganegaraan dan hak warga negara di Indonesia,” terangnya.

 

Wijayanto dosen Undip/LP3ES menyatakan bahwa hak adalah satu konsep yang asing dalam benak warga negara di Indonesia.

Di dalam kurikulum Pendidikan Orde Baru, warga negara yang baik didefinisikan berdasarkan kesediaannya melakukan kewajiban kepada negara yang secara sempit diartikan sebagai kepatuhan kepada pemimpin.

“Kita tidak mengenal meminta hak kepada pimpinan sebagai manifestasi dari negara. Yang kita kenal adalah memohon kebaikan hati pemimpin sebagai pemegang kekuasaan,” jelasnya.

“Pemilu adalah satu prosedur demokrasi untuk mendiskusikan kualitas pemenuhan hak-hak warga negara. Ini karena demokrasi substantif pada dasarnya adalah tentang seberapa besar hak warga negara telah terpenuhi,” ungkapnya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button