“Rezim Kusut Rakyat Nunut Pro Kebodohan”
Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
Jakarta, 5 Juli 2023
Ketika sebuah negara yang berdasar rule of law (rechstaat) dengan asas penegakan mewajibkan equality before the law, ( semua orang sama dimata hukum ) nyata mengatur tentang pemisahan antara ius konstituendum, kaidah hukum yang levelnya sekedar cita-cita atau mudah – mudahan berlaku, serta sebagiannya lagi merupakan hukum positif, atau hukum yang harus diberlakukan atau ius konstitum. Namun dalam praktik diberlakukan secara suka – suka atau sungsang, nyata sebagian para terpapar korupsi, malah dijadikan pejabat negara, lalu ada fakta telanjang, bahwa terhadap aparatur negara yang sengaja menyalahi sistim hukum, dan akibatkan hilangnya nyawa 6 orang yang tak bersalah, Namun vonis hakim bebaskan para pelaku.
Ketika penguasa negara kontradiktif didalam law enforcement, malah menampilkan secara telanjang mata perilaku aparatur melaksanakan penegakan prokes yang levelnya ius konstituendum, sehingga sanksinya cukup denda berbayar, namun seorang tokoh ulama, yang diduga berbohong sehubungan adanya larangan publik dalam bentuk prokes ( protokol kesehatan ), yang derajat hukumnya bukan tindak kriminal ( mudah-mudahan berlaku ) dan tanpa timbulkan huru – hara, yang dilakukan melalui pernyataan lisan, bahwa, “dirinya sehat”, namun ternyata diketahui terjangkit virus covid 19, namun OTG ( Orang Tanpa Gejala ) sesuai ilmu medis, akibatnya sang tokoh diborgol, lalu dipenjara.
Sebaliknya yang berbuat bohong lalu mengakibatkan orang mati, korban eigenrichting atau amuk massa, pembakaran gedung Pos Polisi, serta banyak demo penolakan. Justru sang pelaku bohong, nihil proses hukum, malah lacur kepada diri si pelaku bertambah jabatan fungsionalnya.
Maka pola kepemimpinan nasional yang bentuk implementasinya suka – suka ini, merupakan kejelasan adanya “agenda jahat dengan misi terselubung” dari para penyelenggara negara secara general dan konspiratif.
Maka rakyat yang berdaulat yang hak nya dirampas dikotori dan dinodai, serta sebagai rakyat mayoritas dari sisi jumlah, dibanding jumlah para aparatur negara walau terhadap mereka pun sebagai bagian dari rakyat yang berdaulat namun minoritas, karena sekedar kelompok kecil penguasa berikut kroni ( kelompok oligarki ), yang sengaja menyalahi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab mereka dengan cara-cara sengaja menabrak rambu hukum secara telanjang mata.
Maka rakyat bangsa yang berjumlah mayoritas, serta negara berasaskan rule of law, nyatanya adalah bangsa yang amat bodoh, jika tidak menggunakan haknya secara bersama-sama menurunkan serta menggantikan seluruh penguasa oligarki tersebut secara konstitusional. Lalu dampaknya? Penguasa lalim akan terus larut dengan gaya politik yang brutal ( bad politics ) dan sementara, demokrasi dan rakyat yang berdaulat kandas, jika nyata – nyata menolak menggunakan fungsi hak politik dan hak konstitusi yang mereka miliki tuk melucuti kekuasaan oligarki.
Atau kah bisa jadi rakyat yang berjumlah mayoritas, memang terlanjur rela menikmati “pola kolonialisasi” dan diantaranya para intelektual dan para akademisi yang pro kebodohan atau sarat pembodohan seperti nasib rakyat umumnya secara sosiologi di negara komunisme ?.