“Perspektif Buah Simalakama Pilpres 2024 Dan People Power”
"Perspektif Buah Simalakama Pilpres 2024 Dan People Power"
“Perspektif Buah Simalakama Pilpres 2024 Dan People Power”
Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
Jakarta, 26 Juni 2023
Bukan andai, namun fenomena dan praktik politik Jokowi cawe – cawe, bersumber daripada pernyataan politiknya sendiri. Dan kasat mata politis, Jokowi ada di kedua belah pihak bakal Capres di Tahun 2024, serta menolak capres selainnya.
Realitas faktor kedekatan Jokowi selama ini kepada Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, adalah absolut, selain dari sisi politis Jokowi dan Ganjar sesama anak partai dan sesama petugas partai PDIP, serta hubungan Jokowi dengan Prabowo, ditinjau dari faktor Jokowi selaku presiden terhadap Prabowo selaku anggota kabinetnya, berikut dengan segala simbol dan simpul politik antara pimpinan dan yang dipimpin keduanya, alangkah eratnya, serta terpenting Jasmerah, terkait data empirik karakter Prabowo sudah menunjukan attitude yang luar biasa aneh dan imbal balik mengalahnya ?Tetap nunut kepada Jokowi, walau apapun yang dibuat Jokowi terkait hak dan prestise Prabowo, hal ini beberapa kali serius dan realitas terjadi dihadapan mata telanjang anak bangsa saat pra dan pasca Pilpres 2019.
Kesimpulan daripada praktek kepemimpinan Jokowi selaku Presiden RI pejabat Publik tertinggi atau Penyelenggara Eksekutif Tertinggi, didapati banyak keberlakuan Asas – Asas Penyelenggaraan Negara Yang Baik atau Good Governannce principles, tidak berlaku bagi Jokowi, prinsip – prinsip tersebut hanya berlaku untuk pejabat publik selain dirinya. “Sungguh kepribadian Jokowi jelmaan sosok otoriter”.
Pada sebagian lainnya ada kelompok anak bangsa yang berposisi diluar lingkar kekuasaan yang memiliki sudut pandang yang menggunakan fasilatasi nalar sehat, sehingga normal memandang seluruh dimensi sepak terjang Jokowi, baik dari sisi leadership ( attitude kepemimpinan ) dalam pengelolaan negara yang implemetasikan, yang begitu sarat unsur praktek dengan berbagai implikasi negatif, termasuk diskresi yang banyak Ia lakukan.
Sehingga prediktif dari sisi pandang mata bangsa ini dan catatan semua anak bangsa, yang riil masih mempunyai sisa – sisa mata, telinga serta nalar sehat tentunya jika PILPES LUBER, maka estimasi suara sekalipun jumlah ditotal antara pendukung dan simpatisan Jokowi yang ada di lingkar Ganjar dan lingkar Prabowo digabung, tentu akan berkesudahan suara konstituen Anies Baswedan akan tetap unggul.
Namun, sebaliknya Jokowi adalah super hero, Bapak Wong Cilik, Pelindung Rakyat Miskin, justru inilah kenyataan dari sisi pandang para mata, telinga dan nalar anak bangsa yang sudah terkontaminasi atau terjangkit ala revolusi mental.
Kembali kepada gejala perkembangan daripada intrik – intrik politik kenyataan yang berkembang dewasa ini, jika saja Anies tetap melaju walau segala obstruksi dalam bentuk kriminalisasi telah dilakukan oleh pihak – pihak yang tak bertanggung jawab, mulai dari mengenyampingkan bahwa, “hasil sektoral ( berbagai sektor pembangunan Ekonomi, Hukum dan budaya politik ) oleh sosok Anies amat berkualitas, malah sebaliknya pada kenyataan khususnya menampik hasil audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap sosok Anies yang mendapatkan
penghargaan tertinggi terkait akuntabilitas pengelolaan keuangan yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan nilai Opini WTP ( Opini Wajar Tanpa Pengecualian ).
Nyatanya, Anies tetap ingin dipaksakan sebagai pelaku korupsi, hal yang kontradiktif dengan hasil audit BPK yang justru terdapat temuan dari lembaga sah negara tersebut ( BPK ), bahwa selama Ahok menjabat Gubernur DKI Jakarta, dirinya telah menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Namun nyatanya, proses hukumnya stagnan.
Begitu pula terhadap temuan kepada Airlangga, Muhaimin, Zulhas, dan Soeharso Monoarfa serta Tito K.
Walau terhadap individu – individu, ditemukan terpapar korupsi, nyatanya oleh KPK, dan atau oleh aparatur negara lainnya, namun mereka malah dijadikan Para Menteri oleh Jokowi, atau petinggi publik negara, masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju.
Oleh karena bukti cawe – cawenya Jokowi dengan segala bentuk antisipasi demi menghalangi dan menyumbat Anies melalui pola obstruksi dan pola barrirer, lalu politik pelanggaran hukum dan HAM ini menemui jalan buntu oleh sebab boomingnya perlawanan “peran serta masyarakat yang nampak radikal, namun tetap dalam batasan koridor hukum, atau masih dalam tatanan law enforcement, melalui pola peran serta masyarakat yang bebas dan merdeka untuk menyampaikan pendapat dari multi lapisan dan golongan masyarakat lintas SARA yang lahir begitu saja, atau tanpa faktor koordinasi, dan tanpa di kondisikan, selain faktor kesadaran diri masing – masing selaku WNI”.
Lalu para oknum nakal, nampak manuver menggunakan alternatif planning kedua, yakni, “metode mencuri cukup satu diantara partai pendukung KPP ( Koalisi Perubahan untuk Persatuan )” , walau ternyata tetap gagal, lalu Anies tetap bakal maju melaju ke gelanggang pilpres 2024.
Bukan hal yang nisbi, jika kekalutan Jokowi berada pada posisi titik nadir serta keterpaksaan akibat dampak kumulatif dengan mixed power syndrome, serta menyadari eksistensi penyelenggaraan negara yang pernah Ia lakukan, dan akan bersisa benang merah negatif dalam pengertian subjektif, semua perbuatan dan kebijakannya dengan berbagai penyimpangan hukum dan moral, yang mereka para kroni khawatirkan akan berakhir menuai badai. Bisa jadi Jokowi, mengambi putusan akhir dengan gelap mata, yang “beralaskan putus asa”.
Jika analisa rezim ini, menengarai ternyata bangsa ini, masih memiliki mata, telinga serta bernalar sehat. Sehingga suasana batin yang menghantui rezim terpaksa lakukan konspirasi ( kembali ) dengan para aparatur atau para kroni yang memiliki rasa kekhawatiran yang sama, lalu sepakat kembali gunakan planning pertama, “namun lebih ekstrimis dengan cara hantam kromo” tanpa peduli apa pun resiko chaotic ( keos ) terhadap bangsa dan negara, Anies mesti dikriminilisasi melalu KPK. sehingga Anies tersingkir dari kontestan pilpres 2024.
Kemudian, apa yang akan terjadi, jika gejala – gejala menyisakan dua opsi histroris bagi bangsa ini ;
1. Memilih salah satu diantara kedua calon. Yaitu Ganjar atau Prabowo, atas dasar ijtima ulama. Apakh tetap menggunakan mana yang sedikit manfaat daripada mudhorat serta atas dasar ketentuan,”yang berdiri diantara Hak dan Batil, adalah BATIL” ;
2. Atau sebaliknya dengan kaca mata jernih akan memilah – milah, sesuatunya mesti dari sisi sudut pandang objektifitas, yakni dasar ketentuan, “yang berdiri diantara Hak dan Batil, adalah BATIL” harus dicernai dengan sebuah gejala dan perkembangan politik, dan momentum yang bersifat kasuistis, sesuatu yang kondisional, tidak sekedar memperalat atau manfaatkan lalu jastipikasi terkait nomenkatur Netral dan Batil dari sudut pandang Sempit, atau sengaja memicikan diri, atau menerima netral tanpa mencari dalil solusi atau alternatif maha penting yang tersembunyi dan the best solution, karena rasa kapok ingin terhindar dari kegelapan yang ada menuju terang, bukan tetap ingin pada posisi sekedar netral atau tidak memilih karena faktor safety player, aman diri, hanya politis fragmatis, demi kepentingan, hal yang sama dengan “siap menolak hakekat kebenaran yang hakiki”.
Ahlak dan moralitas adalah nilai tertinggi, berupa jiwa yang sehat, wujudnya adalah mesti berkesuaian dengan, ahlak serta tingkah laku yang baik ( Menjunjung Tinggi moralitas ).
Berdasarkan data empirik atau jejak digital, maka idealnya, justru mengganggap pilihan terhadap kedua sosok tersebut, termasuk diam ditengah antara kedua calon pada opsi pertama, adalah kekeliruan fatal, dengan alasan kedua bakal capres 2024 pada opsi pertama tersebut adalah dibawah “pengaruh dan perintah Jokowi” pastinya bangsa ini wajib mencari sosok yang terbaru yang masih putih, jelas derita dan perjuangannya, sesuai bukti penglihatan dan nalar sehat berikut hati atau jiwa yang bersih dan manusiawi, yakni pilihan alternatif pada opsi yang kedua, ummat mesti preparing, mesti persiapkan sejak dini serta tidak tanggung – tanggung, tinggalkan rasa ewuh pakewuh, mesti tetap teguh dan normatif, jangan lagi berbuah simalakama, setelah lama mengalah kepada fenomena dan dinamika moralitas yang hancur – hancuran.
Prediksi terpahit pada penguasa rezim ini, khususnya Jokowi, harus menyadari bahwa bangsa ini akan marah besar, jika atraksi politik yang Ia mainkan jelang purnabaktinya diisi dengan berbagai diskresi aneh – aneh, atau kembali tunjukan sepak terjang cawe – cawe yang highrisk. Negara, hendaknya ekstra hati – hati “Api dalam sekam bisa berubah wujud menjadi people power”6