OpiniPress Release

“Negara Pancasila Dan Cita-Cita Islam: Pemikiran Sukarno”

"Negara Pancasila Dan Cita-Cita Islam: Pemikiran Sukarno"

“Negara Pancasila Dan Cita-Cita Islam: Pemikiran Sukarno”

 

Jakarta, 4 Juni 2023

 

Studi Islam dan Pancasila dilakukan karena pertama, Adanya keprihatinan bahwa Pancasila sekarang agaknya tidak lagi dikenali dengan baik terutama oleh generasi milenial dan generasi Z. Kitapun terasa kurang lagi mendalami sejak di mata kampus dulu mata kuliah Pendidikan Pancasila tidak lagi berdiri sendiri tetapi masuk dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Budhy Munawar Rachman (Direktur PCRP/Dosen STF Driyarkara) pada kajian yang diselenggarakan oleh Paramadina Center For Religion and Philosophy (PCRP), bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama Dan Filsafat (LSAF), Silapedia dan Universitas Paramadina, pada Sabtu (3/6/2023).

Paramadina Center For Religion and Philosophy (PCRP), bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama Dan Filsafat (LSAF), Silapedia dan Universitas Paramadina, pada Sabtu (3/6/2023)

 

Dr. Budhy Munawar Rachman melanjutkan, yang paling memprihatinkan adalah kita semakin kehilangan dalam berbangsa dan bernegara dan juga ada praktik-praktik politik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dulu telah kita bangun dengan susah payah dikembangkan.

 

Kajian Islam dan Pancasila ini diharapakan dalam beberapa bulan ke depan akan menghasilkan satu artikel atau karya/jurnal yang membuka jalan kita untuk terus memikirkan tentang Pancasila, baik terkait dengan filsafat Pancasilnya ataupun terkait pemikiran Islam hal mana Universitas Paramadina telah concern dengan persoalan pemikiran Islam, tuturnya.

Jika didalami lebih jauh, persoalan Islam dan Pancasila sangat mendalam dan banyak detailnya. Mulai dari bagaimana pandangan Sukarno tentang Islam dan Pancasila, sampai pada akhir-akhir ini di mana terdapat kelompok-kelompok garis keras yang coba menafsirkan Pancasila dengan cara berbeda, atau disebut dengan “Pancasila yang bersyariah”, kata Budhy.

 

Nuansa-nuansa di atas juga diperkaya dengan pandangan-pandangan yang lebih positif dari para cendekiawan muslim yang sangat menarik untuk dipelajari. Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafii Ma’arif diketahui punya nuansa-nuansa yang khas, dan pandangan dari ormas Islam NU dan Muhammadiyah yang mempunyai penafsiran tentang Pancasila secara unik dan khas, serta bisa dituliskan sebagai topik tersendiri dalam sebuah artikel/jurnal. Belum pemikiran dari Yudhi Latif sebagai pemikir Islam kontemporer yang mempunyai pandangan tersendiri tentang Pancasila, tutupnya.

 

 

Semetara, dalam “KAJIAN ISLAM DAN PANCASILA”
Yang mengusung Topik: “Negara Pancasila Dan Cita-Cita Islam: Pemikiran Sukarno” itu , Syaiful Arif (Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila/CEO Silapedia) mengatakan , Pertanyaan kenapa di Pembukaan UUD 1945 aline ke 4 tidak terdapat kata Pancasila, itu tidak menegasikan fakta historis dan yuridis bahwa alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila. Alinea ke 4 itu boleh kita sebut sebagai “Pancasila tanpa nama Pancasila.”

Terdapat hubungan dari 3 rumusan ide tentang Pancasila yang menjadi awal dari pembentukannya. Yakni Pertama rumusan 1 Juni dari Sukarno, lalu rumusan dari panitia 9, Sukarno sebagai ketua pada 22 Juni yang menghasilkan Piagam Jakarta (tokoh-tokoh Islam berperan sentral) dan rumusan 18 Agustus 1945 dari PPKI, Sukarno Ketua PPKI, Hatta dan tokoh-tokoh Islam berperan sentral, ungkap Syaiful Arif.

Ki Hajar Dewantara sebagai anggota BPUPKI pada 1950 memberikan rumusan Pancasila bahwa di dalam Pancasila ada 3 elemen, Pertama Isi, kedua, Bentuk dan ketiga, Irama. Isi Pancasila adalah tema dari 5 sila, 1. Kebangsaan, 2. Internasionalisme (Demokrasi), 3. Mufakat (Demokrasi),4. Kesejahteraan Sosial dan 5. Ketuhanan YME, kata dia.

 

Syaiful Arif melanjutkan , Kedua, Bentuk Pancasila adalah Sistematika Pancasila sejak rumusan 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Ketiga, Irama Pancasila adalah Perspektif dalam mengkonseptualisasikan Pancasila berdasarkan perspektif tertentu yang masuk melalui sila-sila tertentu. Misalnya Irama Kemanusiaan untuk mengkonseptualisasi Pancasila sebagai Falsafah Kemanusiaan sehingga menjadikan Kemanusiaan sebagai “urat tunggang Pancasila”.

 

Buya Hamka juga menggunakan Ketuhanan sebagai Irama Pancasila sehingga HAMKA menjadikan Ketuhanan sebagai Urat Tunggang Pancasila. Sukarno sendiri menempatkan Kebangsaan sebagai Irama Pancasila dan Urat Tunggang Pancasila, pungkasnya.

 

Menurut Ki Hajar, yang tidak berubah adalah “Isi Pancasila” yang tidak berubah sejak diusulkan oleh Sukarno, direvisi oleh Panitia 9 dan disahkan oleh PPKI. Artinya dari 5 tema yang diusulkan oleh Sukarno tidak diganti misalnya Kebangsaan tidak diganti dengan Kebudayaan, katanya.

Sumber tertib hukum di Indonesia baru ditegaskan dalam Tap MPR No 20/1966 tentang Memorandum DPRGR ihwal sumber tertib hukum di Indonesia, ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, Pancasila sebagai dasar negara yang ada di dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945, yang dijiwai oleh Piagam Jakarta dan pidato Sukarno 1 Juni 1945, terang dia.

Memorandum DPR GR itu telah mendefinisikan dengan tepat eksistensi dari Pancasila secara komprehensif dan faktual berdasarkan fakta sejarah dengan menyatakan bahwa Pancasila adalah yang termuat dalam aline ke 4 Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta dan pidato 1 Juni 1945.

Dia mengatakan, Pancasila 1 Juni adalah konsep yang mengalami transformasi awal untuk membentuk rumusan yang kompromistik di dalam Piagam Jakarta. Di antara ke 3 rumusan Pancasila (1 Juni,22 Juni,18 Agustus 1945) yang berbeda secara tematik dan gagasan dari Pancasila 1 Juni adalah Piagam Jakarta. Karena, sila Ketuhanannya tidak bersifat inklusif melainkan bersifat syar’i dan Islamis. Jadi itu rumusan antara. Ketika Sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa kembali menjadi bagian dari Pancasila, maka secara tematik kembali ke 5 sila yang diusulkan Sukarno.

 

Sukarno mengusulkan rumusan sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa karena Ketuhanan YME merupakan rumusan yang dapat diterima oleh semua agama yang berbeda beda. Tanpa adanya lobby bung Hatta kepada 4 tokoh Islam dalam sidang PPKI yang bersedia menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, maka tidak akan pernah ada rumusan Pancasila resmi. Sidang PPKI hanya mengesahkan rumusan hasil lobby bung Hatta tersebut, tutup Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila/CEO Silapedia tersebut.

 

 

https://www.youtube.com/live/4JYCaPeYllU?feature=share

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button