Opini

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. : “DEMI KEDAULATAN HUKUM, PK MOELDOKO HARUS DITOLAK”

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. : "DEMI KEDAULATAN HUKUM, PK MOELDOKO HARUS DITOLAK"

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. : “DEMI KEDAULATAN HUKUM, PK MOELDOKO HARUS DITOLAK”

 

 

Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia)

 

Tajur Bogor, 2 Juni 2023

 

 

Perihal Peninjauan Kembali yang diajukan Moeldoko sudah masuk tanggal 15 Mei 2023 dan teregister dengan nomor perkara: 128 PK/TUN/2023. Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melalui putusannya Nomor: 150/G/2021/PTUN-JKT menyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard). Pertimbangan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, antara lain menyebutkan, “apabila Peradilan TUN memasuki persoalan perselisihan yang masih harus diputus secara internal kepartaian, maka langkah seperti ini selain akan cacat yuridis dan menimbulkan anomali hukum….” Anomali hukum menunjuk pada keganjilan, keanehan atau penyimpangan. Tentunya anomali demikian harus dihindarkan.

 

Badan peradilan hanya dapat mengadili perkara sepanjang penyelesaian secara internal melalui Mahkamah Partai telah dilakukan. Dengan demikian penyelesaian sengketa internal Partai Politik (incasu Partai Demokrat), maka penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Partai bersifat primum remedium. Keberlakuannya mendahului badan peradilan. Dengan kata lain penyelesaian melalui badan peradilan berlaku sebaliknya (ultimum remedium). Fakta yang terungkap dipersidangan menunjukkan bahwa pihak Penggugat (in casu Moeldoko) belum pernah mengajukan sengketa ke Mahkamah Partai Demokrat.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah sesuai dengan prinsip keadilan prosedural yang menunjuk ketaatan pada hukum acara. Norma dalam Pasal 32 Ayat (2) UU Parpol merupakan pengecualian dalam hukum, sebagaimana adagium “no law without escape clause”. Pada prinsipnya pengaturan pengecualian dalam produk hukum dapat dibenarkan sepanjang pengecualian tersebut mendatangkan kemanfaatan, bahkan demikian itu dianjurkan. Atas dasar norma Pasal 32 Ayat (2) UU Parpol telah menempatkan Mahkamah Partai sebagai langkah pertama yang harus ditempuh guna menyelesaikan perselisihan internal dalam Partai Politik.

Pasal 32 Ayat (2) UU Parpol menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan internal Partai Politik dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai politik. Pasal a quo menjadi dasar legalitas Mahkamah Partai Demokrat dan oleh karenanya sudah benar pertimbangan hukum Majelis Hakim yang menyatakan bahwa otoritas Mahkamah Partai menempati prioritas utama dalam penyelesaian sengketa internal Partai Politik. Dengan demikian penyelesaian secara eksternal hanya dapat berjalan sepanjang penyelesaian internal telah diupayakan terlebih dahulu. Oleh karena penyelesaian melalui Mahkamah Partai belum dilakukan, maka Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat menggantikan apalagi mengambil alih kewenangan Mahkamah Partai. Keberadaan Mahkamah Partai dimaksudkan guna memberikan jaminan pemenuhan kesamaan hak dan juga sekaligus terpenuhinya kepastian hukum yang adil.

Adanya fakta bahwa objek sengketa menunjuk pada persoalan internal Partai Demokrat dan oleh karenanya yang memiliki kewenangan adalah Mahkamah Partai, maka kedudukan hukum atau kualitas Penggugat tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, Penggugat tidak memiliki legal standing. Objek sengketa yang notabene persoalan internal Partai Demokrat tidak ada relevansinya dengan Keputusan Tata Usaha Negara dan oleh karena itu dalil Penggugat yang menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan Tergugat telah secara nyata-nyata merugikan hak dan kepentingan hukum Pengguggat tidak beralasan. Tegasnya tidak berdasar hukum. UU PTUN sudah menentukan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, yakni: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Menjadi jelas, bahwa objek sengketa yang dimajukan Penggugat tidak termasuk dalam cakupan Keputusan Tata Usaha Negara dan tidak ada kaitannya dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene Beginselen Van Behorlijk Bestuur). Dalil adanya kerugian atas hak dan kepentingan hukum Penguggat tidak dapat dibenarkan. Dikatakan demikian, oleh karena Penggugat tidak memenuhi kedudukan hukum atau kualitas sebagai Penggugat. Tidak terpenuhinya kedudukan hukum atau kualitas, sudah barang tentu tidak ada keterhubungannya dengan akibat hukum dari Keputusan Tata Usaha Negara. Dapat dikatakan bahwa keseluruhan dalil-dalil Penggugat dianggap tidak benar.

Kebenaran dan keadilan merupakan dwitunggal, satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi. Kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Pertimbangan hukum Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa penyelesaian secara eksternal oleh badan peradilan atau secara ultimum remedium hanya dapat dilakukan sepanjang penyelesaian internal telah ditempuh terlebih dahulu sudah benar. Dikatakan demikian, oleh karena perihal pengecualian dalam penyelesaian terlebih dahulu oleh Mahkamah Partai sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 32 Ayat (2) UU Parpol telah diterapkan dengan benar. Justru apabila Pengadilan Tata Usaha Negara Jakara menerima perkara tersebut yang terjadi adalah anomali hukum yang mencederai asas kepastian hukum dan keadilan.

Perlu disampaikan disini bahwa pemberlakuan pengecualian tersebut tidak dimakudkan sebagai bentuk “membedakan yang sama”. Mahkamah Partai dan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah dua organ yang berbeda dan masing-masingnya memiliki kompetensi. Oleh karena itu tidak dapat didalikan pengajuan Peninjauan Kembali sebagai bentuk mencari keadilan atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Apabila Peninjauan Kembali mengabulkan permohonan Penguggat, maka disini justru terjadi ketidakadilan. Ketidakadilan dapat terjadi dalam hal “menyamakan dua hal yang berbeda” dan “membedakan dua hal yang sama”. Dengan ungkapan lain “menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Mahkamah Partai dan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat dipersamakan. Menyamakan keduanya adalah bentuk ketidakadilan.

Dalam pandangan Islam, keadilan adalah “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”. Disini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional). Pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda. Dengan demikian yang menjadi tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Dikaitkan dengan penyelesaian perselisihan internal Partai Politik melalui Mahkamah Partai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (2) UU Parpol, maka hal itu sejalan dengan kaidah “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”.

Derajat perselisihan internal Partai Politik tidaklah sama dengan sengketa dalam Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, ketidakadilan akan timbul jikalau mereka yang sederajat tidak diperlakukan secara sederajat. Dengan kata lain, jikalau orang-orang yang tidak sederajat diperlakukan secara sama atau seolah-olah sederajat akan timbul ketidakadilan. Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik adalah tidak sederajat dengan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak sederajat disini menunjuk pada perbedaan objek sengketa dan oleh karena itu berbeda pula kepentingan hukum masing-masing pihak. Dengan dasar itu, maka objek sengketa pada Mahkamah Partai berbeda dengan objek sengketa pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan masing-masingnya memiliki kompetensi.

Terkait dengan novum sebagai persyaratan Peninjauan Kembali dalam sengketa Tata Usaha Negara, dapat penulis katakan bahwa novum tidak ada relevansinya dalam perkara a quo. Pasal 33 Ayat (1) UU Parpol menyatakan: “Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri.” Pada Ayat (2) disebutkan: “Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.”

Mengacu pada ketentuan tersebut, maka harus ada terlebih dahulu penyelesaian perselisihan melalui Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik dan itu bersifat primum remedium. Sepanjang telah dilakukan penyelesaian perselisihan secara internal, namun ternyata tidak tercapai barulah diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.

Dari semenjak awal, gugatan yang diajukan Penggugat menyelisihi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili perkara yang merupakan perselisihan internal suatu Partai Politik. Demikian itu berdasarkan ketentuan Pasal 32 UU Parpol yang menempatkan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik sebagai organ yang berwenang menyelesaikan konflik internal atau perselisihan suatu Partai Politik. Dapat dikatakan gugatan Penggugat salah pihak (error in persona) dan salah objek (error in objecto). Terlebih lagi diketahui bahwa pokok perkara yang diajukan Penggugat adalah menyangkut perselisihan tentang kepengurusan Partai Demokrat.

Pada prinsipnya novum menjadi berharga sepanjang berkorespondensi dengan adanya fakta kepentingan seseorang atau badan hukum perdata yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam perkara a quo, kedudukan hukum atau kualitas Penggugat tidak berhubungan dengan objek sengketa Tata Usaha Negara. Dengan demikian tidak ada hubungan kausalitas timbulnya kerugian dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Pengugat tidak memenuhi syarat dan oleh karena itu tidak mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan pada Pengadilan Tata Usaha Negara termasuk melakukan upaya hukum biasa maupun Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa.

Dari uraian di atas, menjelaskan bahwa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang telah berkekuatan hukum tetap tidak bertentangan dengan kepastian hukum dan keadilan. Dikatakan demikian, oleh karena dalam perkara a quo tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pihak Tergugat. Tidak pula menyalahi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Oleh karena itu, Majelis Hakim Peninjauan Kembali seyogyanya menolak permohonan Penggugat. Sampai kapan pun Peninjauan Kembali diajukan harus tetap ditolak. Keadilan harus ditegakkan, walaupun dunia akan binasa (fiat justitia et pereat mundus). Demikian itu wujud pemenuhan asas kepastian hukum yang adi

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button