Melki Sedek Huang (Ketua BEM UI 2023) : “Perlukah Kami Memperingati 25 Tahun Reformasi?”
Melki Sedek Huang (Ketua BEM UI 2023) : "Perlukah Kami Memperingati 25 Tahun Reformasi?"
Melki Sedek Huang (Ketua BEM UI 2023): “Perlukah Kami Memperingati 25 Tahun Reformasi?”
Jakarta, 24 Mei 2023
Tulisan Ketua BEM UI 2023 di bawah, cermin kesenjangan berpikir sekaligus gugatan. Kesenjangan berpikir, karena gen Z sekarang ini menganggap mereka adalah generasi yang sama sekali terputus dan seolah ditimpa beban kesejarahan yang begitu berat dari terjadinya Reformasi 1998. Sekaligus gugatan, karena gen Z melihat dengan mata kepala sendiri, betapa nilai-nilai dari enam tuntutan reformasi yang di antaranya adalah pemberangusan KKN, saat ini menjadi tidak lebih hanya PKK (Permainan Kata Kata) saja. Nyaris semuanya gagal untuk bersikap konsisten! Lalu, apa yang seharusnya diperbuat? Gen Z atau generasi mahasiswa sekarang lah yang punya jawabnya. Mereka punya bekal ilmu yang tiap hari digeluti di kampus, punya alat kelengkapan lain termasuk kecanggihan teknologi digital sebagai motor perubahan, dan energi anak muda yang tidak ada habisnya (mestinya). Belum lagi kejernihan berpikir sebagai basic dari moral force. Seperti kata bang Dolah (Abdullah Hehamahua) tempo hari : Bagaimana mengatasi kerusakan zaman reformasi? tanyalah kepada anak muda kampus hari ini..
“Perlukah Kami Memperingati 25 Tahun Reformasi?”
Oleh : Melki Sedek Huang ( Ketua BEM UI 2023 )
Bagi kami yang terlahir sebelum Reformasi 1998 tersauh, reformasi dan sejuta cerita tentangnya tersebut tak lebih dari sekadar cerita rakyat. Sama seperti kisah Jaka Tarub dan Sangkuriang, momentum di tahun 1998 tersebut tak pernah kami lihat dan rasakan, namun kami selalu dituntut untuk memahami makna dan mendalami betul moral ceritanya.
Para pelaku sejarahnya pun seringkali bertingkah sama, tak pernah untuk berhenti mengagungkan momentum yang dianggapnya sebagai sebuah karya terbesar. Bahkan, mereka menganggap karyanya itu lah yang paling membangun pondasi bangsa hingga hari ini. Belakangan, kita pun dipertontonkan tentang beberapa aktor lapangan momentum tersebut yang kini hanya menjadikan keagungan karya terbesarnya tersebut sebagai bahan jualan untuk turut menjual dirinya di kontestasi politik lima tahunan.
Apabila berkaca ke belakang, reformasi yang dimulai sejak 25 tahun lalu tersebut berjalan dan didasari oleh mimpi-mimpi yang besar. Jengahnya masyarakat akan rezim militeristik yang gagal hadirkan kebebasan dan kesejahteraan kemudian memancing lahirnya reformasi yang gemboknya dibuka oleh gelombang besar gerakan rakyat. Berbagai ide-ide pembaruan pun berusaha diwujudkan dan termaktub ke dalam tuntutan-tuntutan.
Kita tentu mengenal tuntutan reformasi, enam hal besar yang disinyalir menjadi nyawa dari perubahan yang diperjuangkan 25 tahun lalu tersebut. Kerinduan rakyat untuk menggapai mimpi-mimpi besarnya itu pun ditulis dalam enam tuntutan yang secara lugas menuntut adanya amendemen konstitusi, adili Soeharto dan kroninya, pencabutan dwifungsi ABRI, supremasi hukum, pemberian otonomi daerah secara luas, dan pemberantasan KKN.
Mimpi-mimpi itu adalah dasar dari kita menjalankan reformasi. Idealnya, semua pemimpin yang lahir dari rahim reformasi harus mampu dan berupaya penuh untuk mewujudkan mimpi-mimpi ini agar tak lagi tercipta kondisi negara sebelum reformasi yang dahulu dengan keras ditumbangkan tersebut. Namun, para pemimpin republik tampaknya terlalu terbawa suasana, dengan menganggap ini semua betul-betul hanya mimpi, lalu tidur siang dan melanjutkan mimpi-mimpinya yang lain.
Jika reformasi menjanjikan adanya supremasi hukum, hari ini realitanya hukum sudah dikencingi. Dasar hukum tertinggi, konstitusi, tidak pernah dengan segan dilangkahi, proses-proses hukum sering dikangkangi, dan sulit untuk temukan aparat penegak hukum yang melayani dengan hati.
Hadirnya Perppu Cipta Kerja hanyalah satu contoh kecil bukti bahwa konstitusi telah dilanggar semau hati dan proses pembentukan produk hukum malah tak sesuai aturan hukum. Hukum tak pernah jadi panglima, selalu dikalahkan oleh kekuasaan, kita telah beranjak dari negeri hukum menjadi negeri kekuasaan.
Jika reformasi menjanjikan hilangnya dwifungsi ABRI, nyatanya hingga kini dwifungsi ABRI tak pernah tercabut dari akarnya. Para tentara dan polisi tak pernah berhenti jadi opsi untuk mengisi pos-pos di luar pertahanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat yang bukan miliknya.
Para tentara dan polisi dianggap sebagai aktor serba bisa yang ahli mainkan semua peranan, mereka ditempatkan untuk mengurusi badan-badan publik, sektor sipil, olahraga, bahkan menjadi penjabat kepala daerah. Ide untuk mencabut dwifungsi ABRI nyatanya jalan di tempat.
Jika reformasi bermimpi akan adanya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), nyatanya mimpi itu lah mimpi yang paling jauh dari waktu bangun tidur. Reformasi terbukti tak berhasil dalam menihilkan KKN dengan paripurna. Komisi Pemberantasan Korupsi yang malah dilemahkan, kolusi yang masih menggila, dan nepotisme yang dilakukan secara bangga masih jadi musuh besar yang menggerogoti masa depan generasi kami. Bagaimana kami bisa berjalan di jalan-jalan publik, memakai transportasi umum yang bagus, dan berobat gratis di masa depan jika uang untuknya dengan rakus dikorupsi sekarang?
Bagaimana kami bisa bermimpi jadi pemimpin dan kepala daerah jika nepotisme malah dianggap wajar?
Reformasi harusnya bermakna perubahan. Membanggakan reformasi berarti membanggakan perubahan. Pertanyaannya, apa perubahan yang ingin kita ingat dan banggakan jika hal-hal besar yang diperjuangkan tempo hari itu berjalan di tempat? Orde baru tidak berakhir, para kroco dan kroninya hanya berpindah tempat dan berkeliaran ke banyak muka di orde yang lebih baru. Orde baru tidak berakhir, hanya berganti topeng tanpa menanggalkan sisi buruknya yang kita harapkan hilang sejak dulu.
Selain itu, reformasi pun harusnya jadi milik semua. Reformasi harusnya turut menjadi milik para petani di desa-desa, milik para buruh di tiap pabrik, dan juga milik tiap kuli panggul di pasar. Reformasi bukanlah sekadar milik mereka yang empunya gelar terhormat dalam jabatan publiknya, apalagi milik mereka yang menyandang gelar mantan aktivis ’98. Oleh karena itu, hikmah reformasi harusnya dirasakan semua pihak, tidak hanya segelintir elit dan pemilik kapital. Jika ia sudah gagal dan berpotensi mengganggu yang ada di depan mata, saatnya menggagas reformasi yang lebih ideal versi generasi kita!