Vonis Majelis Hakim Gus Nur, Bambang Tri Dan Komparasi Antara Vonis Habib Rizieq Shihab Dengan hubungan Bohongnya Luhut, Serta Teori Pakar Hukum
Vonis Majelis Hakim Gus Nur, Bambang Tri Dan Komparasi Antara Vonis Habib Rizieq Shihab Dengan hubungan Bohongnya Luhut, Serta Teori Pakar Hukum
Vonis Majelis Hakim Gus Nur, Bambang Tri Dan Komparasi Antara Vonis Habib Rizieq Shihab Dengan hubungan Bohongnya Luhut, Serta Teori Pakar Hukum
Oleh : Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
Jakarta, 19 April 2023
Adagium hukum, ” keadilan mesti ditegakkan sejak saat proses hukum dimulai, jika tidak, maka jangan harap keadilan akan didapatkan”
Adagium hukum dimaksud terbukti Selasa, 18, April 2023 melalui Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Solo, telah menjatuhkan vonis terhadap Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono/ BTM. Penjara selama 6 ( enam ) Tahun, seolah vonis sebagai ucapan Congratulation dari hakim majelis yang ” mewakili rezim” untuk menyambut jelang Ied Mubarok atau Iedul Fitri, 1444 H. Kepada Kedua Terdakwa dan tim pengacara, termasuk kepada publik yang memberi dukungan moril kepada GN. Dan BTM.
Atau pesan khusus yang isinya seolah ungkapan “jangan suka usil menanyakan keaslian ijasah Jokowi,”. Walau bertanya itu merupakan hak publik sesuai undang – undang”, jadi publik yang lain juga mesti tahu. Bahwa ganjarannya adalah penjara bagi yang mengutak – atik soal ijasah.
Kembali, vonis ini sebagai salah satu rekam jejak yang akan menambah catatan cacatan buruk dari historis penegakan hukum di era kepemimpinan Jokowi 2014 – 2023.
Fenomena bak “April Mob” jelang hari raya, serius dan telanjang secara kasat mata hukum, menambah realitas terhadap kwalitas pada semua sektor penegakan hukum, yang dimata publik amatlah berkualitas moral rendah, bahkan situasi dan kondisi penegakan hukum yang dijalankan para aparatur telah mencapai titik nadir menuju negara zenith kehancuran, oleh sebab banyak vonis dari lembaga peradilan didapatkan ” temuan tidak adil “( oneerlijk ) dan tidak berkepastian hukum ( geen rechtszekerheid ).
Sebagai ilustrasi putusan ” yang menyimpang ” yang pernah terjadi, salah satunya dari sekian banyak putusan sesuai data empirik ( tidak apriori ) diantaranya selain putusan terhadap tuduhan bohong yang menimbulkan keonaran yang dilakukan oleh Gus Nur dan BTM.ini, ( tuduhan pelanggaran pada Pasal 14 Kuhp ) adalah juga yang sama sebelumnya.
Peristiwa dan putusan terkait peristiwa delik “perkataan bohong” yang pernah dituduhkan kepada Sang Imam Besar umat Islam di negeri ini, Ulama Kharismatik di republik, Muhammad Habib Rizieq Shihab (HRS ) identik dengan Gus Nur (GN) dan Bambang Tri Mulyono (BTM) Yang secepat kilat dinyatakan sebagai tahanan dan langsung diborgol lalu dipenjara, walau perkara sekedar dugaan menyatakan “sehat” lalu ada rekayasa, hitungan jari orang berkumpul ( walau berkumpul melanggar prokes ), lalu seolah timbul kegaduhan, tanpa kerusakan tanpa adanya orang yang dieksekusi dianiya, tidak ada kematian, lalu mendapat tuduhan lainnya yang sekedar dugaan melakukan ” pelanggaran Prokes Covid 19, yang sanksi hukum dengan cukup berbayar uang atau denda dan denda ini sudah dilakukan ( dibayar ), dan secara yuridis formil jenis pelanggaran prokes covid 19, memiliki kedudukan hukum hanya sebagai ius konstituendum atau cita – cita hukum, yang derajat hukumnya hanya sebatas mudah – mudahan berlaku. Bukan melanggar ketentuan hukum positif atau hukum yang berlaku ( ius konstitum ), sehingga masyarakat hukum dan publik pencahari dan pemerhati penegakan hukum dan keadilan berkesimpulan bahwa aparatur hukum ( Polri, Kejari dan lembaga Peradilan ) serta lembaga penegakan hukum lainnya, nampak menggunakan pola ala suka – suka dan fenomena penegakan hukum suka – suka ini sebagai fenomena general, karena sering terlihat nyata pada beberapa peristiwa hukum, dimata banyak mata publik bangsa ini.
Justru perbuatan bohong yang riil dan patut diproses hukum, diborgol dan diganjar sanksi dengan sanksi penjara, adalah terhadap perbuatan delik yang telah dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP) Selaku pejabat MenkoMarves, komparasi ini amat pas karena pernyataan bohong yang dilakukan oleh LBP. Amat jelas, dirinya menyatakan, ” memiliki big data terkait 110 juta WNI menginginkan atau berwacana melanggar pasal 7 UUD. 1945 “.
Selain ternyata sebuah kebohongan, apa yang disampaikan LBP Merupakan kejahatan atau kontra konstitusi, dan menimbulkan implikasi keonaran sedemikian rupa, juga menimbulkan berbagai aksi unjuk rasa atau demo, serta berakibat timbulkan kerugian moril dan immoril pada bangsa ini, termasuk kerugian materil bagi negara, yakni berdampak dibakarnya Pos Pol di Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, terjadi persekusi dan atau eigenrichting ( dihakimi massa ) terhadap diri korban Ade Armando dan nyaris bugil, termasuk mengakibatkan luka – luka dan dirawat di rumah sakit, serta mengakibatkan hilangnya nyawa seorang hamba hukum anggota Polri di Kendari, Sulawesi Tenggara. Terhadap beberapa peristiwa hukum yang sama ini, ternyata penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur berbeda tidak ekual, polanya suka – suka, pilih tebang, terbolak balik. Penegakan hukum nyata sungsang, karena LBP Lolos dari jerat hukum, walau ada laporan dan pengaduan kepada penyidik kepolisian/ Polri terhadap dirinya.
Bahwa apa yang dituduh kepada GN dan BTM Yang menuduh Jokowi, berbanding hanya dengan kegaduhan Jokowi menggunakan ijasah palsu di Medsos dari berbagai media, maka tentunya yang dilakukan oleh GN. Dan BTM jika dijadikan barometer, maka amat jauh ” kegaduhannya”. Dan yang terpenting secara hukum perbuatan GN Dan BTM Plus sumpah bukan sebuah tindak pidana. Dan BTM mendapatkan info pun bukan dari mimpi di goa atau wangsit hasil semedi dipinggir laut, dari berita berbagai media, dan berakhir dengan wajah poto dan nomor kembar ijasah yang sama dengan milik Jokowi. Dan pernyataan Jokowi soal ” fakultas perkayuan”, serta hingga kini ini tidak menampilkan bukti penolakan tuduhan atau keraguan publik terhadap ijasah dirinya selaku pejabat publik, sampai muncul berita kepalsuan ijasah di media hingga proses penyidikan dan dakwaan, kesaksian hingga vonis 6 tahun penjara bagi GN dan BTM Ijasah Jokowi asli tidak pernah ditunjukkan, baik oleh penyidik JPU maupun kepala sekolah pelapor dan para saksi maupun Gibran anaknya yang menjadi Walikota, Surakarta Solo, tuk sekedar mampir mengantarkan ijasah asli ayahnya Jkw . agar orang tuanya tidak berlanjut kotor nama dan sejarah hingga pensiun bahkan hingga masuk buku sejarah walau telah masuk tanah merah, sepaket dengan harga dirinya hancur babak belur serta penuh keburukan dan coreng moreng.
Dan terkait kepalsuan yang dituduhkan oleh BTM. Juga realitanya amat ramai, seramai- ramainya, diberbagai media sosial soal ijasah palsu S1 Jokowi.
Lacur pembantunya Mendiknas juga diam seribu bahasa, sampai dengan vonis, walau ada pernah satu kali dari rektor Jogja membuat klarifikasi melalui konpres dengan stasiun TV. namun dengan cara bodoh. Tidak jelas barang bukti ori ijasah diperlihatkan dan tidak ada aparatur penyidik yang menyaksikan ijasah Jokowi. tentang ini semua adalah bentuk perlawanan hukum justru dari penguasa terhadap undang- undang tentang pelaksanaan hak publik terhadap hak asasi mereka yang memiliki hak kontrol, mengawasi, minta untuk transparansi, memiliki objektivitas serta patuh hukum, proporsionalitas dan qualified, profesional sebagai seorang pemimpin, seorang presiden kepala negara , yang tentunya terlarang menggunakan ijasah palsu, dampaknya ? wajah perlu menggunakan topeng selama hidupnya, hingga kematiannya, padahal sistim hukum tentang good governanance ( pemerintahan yang baik, penyelenggara negara yang benar dan amanah ) adalah mereka yang buat dan harapkan terbukti.
Inilah bentuk ambigu dan kepalsuan yang ditimbulkan oleh sebab ” palsukan diri”, sehingga sering membuat diskresi yang sungsang, karena bukan bidangnya, tidak percaya diri, walau percaya temporer, dan seolah – olah saja akibat rekayasa dan dipaksakan. Ibarat menteri kesehatan, namun memiliki disiplin ilmu teknik sipil, bukan seorang dokter. Bahayakan negara dan seluruh bangsa ini, terlebih jika para pejabat negara sepakat melakukan state of crime.
Maka semakin jelas fenomena penegakan hukum dengan pola suka – suka sungsang, hari ini terulang kembali di Pengadilan Surakarta Sesuai kenyataan, para hakim tidak menjalankan sesuai sumber hukum yang diamanahkan oleh Sila Kedua daripada Pancasila, dan vonis menunjukan penyimpangan terhadap teori para filsup hukum yakni teori keadilan dari Ibnu Khaldun, teori keadilan menurut Immanuel Kant dan jauh menyimpang daripada teori pakar hukum ternama di dunia pada abad modern, yakni Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Fakta hukum bahwa proses hukum dan isi putusan serta vonis Majelis Hakim pada a quo in case bertentangan dengan teori keadilan menurut Ibnu Khaldun.
Karena Teori Keadilan atau fungsi hukum menurut Ibnu Khaldun yang hidup pada abad pertengahan, sebagai satu-satunya cendekiawan muslim periode pertengahan. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei atau 1332 M – 1406 M.
Bahwa Keadilan yang ingin didapatkan oleh manusia umumnya merupakan pusat dalam suatu teori sosial tentang masyarakat. Kebutuhan bukan hanya sebagai kebutuhan jasmani, melainkan juga kebutuhan non-material ( rohani). Dan salah satu kebutuhan non material yang paling penting adalah keadilan.
Dan vonis Majelis juga bertentangan dengan teori pakar filsafat hukum Immanuel Kant yang hidup pada abad pertengahan namun masuk pada abad pencerahan.
Teori Immanuel Kent yang hidup pada tahun 1724-1804, dan Kant umumnya dianggap sebagai filsuf terbesar diantara filsuf modern, dan di Jerman namanya sedang mekar mekarnya, karena Eropa Barat saat abad itu mengalami zaman baru yang disebut dengan zaman pencerahan.
Kant mengatakan, bahwa keadilan itu bertitik tolak dari martabat manusia. Dengan demikian pembentukan hukum harus mencerminkan rasa keadilan dan bertujuan untuk melindungi martabat manusia.
Sehingga berdasarkan teori tentang keadilan vonis Majelis Hakim bertentangan dengan teori keadilan dari para pakar, termasuk dari pakar hukum abad modern, Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Sebagai justifikasi dari dalil pengamat hukum, kepada Teori Hukum dan sebagai Catatan hukum :
A. Hans Kelsen, Hidup, 11 Oktober 1881 – 19 April 1973) adalah seorang ahli hukum dan filsuf Austria dan Hans Nawiasky seorang ahli hukum yang berprofesi sebagai yuris atau hakim Kelahiran: 24 Agustus 1880 dan Meninggal: 11 Agustus 1961.
B. Walau ada perbedaan pendapat kedua ahli hukum modern ini, namun tidak prinsip, keduanya yang jelas menyatakan ada sumber prinsip hukum ( basic norm ) yang tidak boleh menyimpang daripadanya, sehingga menjadi sistim yang hirarkis, perbedaannya keduanya hanyalah Hans Nawiasky turut mengupas sisi politik dari sebuah negara sehingga bisa menjadi lahirnya sumber hukum lain.
C. Perbedaan pendapat kedua ahli hukum adalah
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar atau grundnorm (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau sebagai dasar ideologi negara, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Perspektif hukum Hans Nawiasky pun adalah membenarkan Pancasila sebagai dasar hukum, dengan argumentasinya ;
“Sejak lahirnya Negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka terbentuklah pula sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Teori jenjang norma hukum ( die theorie von stufenufbau der rechtsordnungi ) merupakan pencerminan dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Secara kontekstual dalam sistem hierarki peraturan perundang-undangan dikenal dengan tiga asas mendasar. Adapun tiga asas sebagaimana dimaksud antara lain asas lex superior derogat lex inferior, lex specialist derogat lex generalis, lex posterior derogat lex priori.
Atau mungkinkah Majelis walau melanggar pendapat bijak Ibnu Khaldun, teori Kant, Hans Kelsen serta Hans Nawiasky juga melanggar Sila Kedua Pancasila, namun sudah tepat pelaksanaannya dari sejak proses perkara serta dari sisi keadilan versi KUHAP dan KUHP. Berikut sistim hukum positif lainnya yang berlaku.
Jawabannya dapat dipastikan Majelis Hakim telah melanggar sumber hukum dan norma hukum yang berlaku tanpa terkecuali oleh sebab hukum :
Pertimbangan pelanggaran hukum oleh majelis hakim karena didasari, dengan Sila Kedua Pancasila yang lahir pada 18 Agustus 1945 ( 1 Juni 945 ), yang sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala undang – undang, sebagai alas filosofi sistim dan penegakan hukum di tanah air, karena semua putusan hukum mesti berdasarkan ” Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” sehingga hakekatnya jika dihubungkan dengan vonis terhadap GN. Dan BTM. Vonis melanggar sistim hirarkis tertinggi hukum nasional, oleh sebab Pancasila melekat sebagai bentuk perintah tertulis pada alinea ke- 4 pada pembukaan UUD. 1945. Serta sesuai isi pasal 2 UU. No.12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, bahwa Pancasila adalah sebagai sumber hukum nasional, sehingga subtantif Pancasila merupakan sumber yang fundamental dari segala sumber hukum.
Selebihnya, dasar hukum kedua Terdakwa GN dan BTM justru konstitusional atau se – liner dengan sistim hukum yang berlaku.
Oleh sebab justru pelaksanaan proses hukum dan vonis penjara 6 tahun terhadap GN. Dan BTM ini, merupakan hal yang kontradiktif dari sisi sudut pandang hukum, karena sistim yang mendasari KUHAP adalah sistim hukum ” presumption of innocence.” Atau praduga tak bersalah. Namun pada kenyataannya Kedua Terdakwa sudah dikerangkeng dalam sel penjara.
Dan terpenting apa yang dilakukan kedua orang terdakwa semuanya merupakan perintah undang – undang yang mesti dijalankan yaitu peran serta masyarakat sebagai controleur ( kontrol hukum ) dalam pelaksanaan undang – undang oleh seluruh para penyelenggara negara, serta perintah keberlakuannya sebagai norma hukum yang mesti dijalankan ( ius konstitum )
Pastinya hukum bukan hanya berlaku untuk masyarakat umum, namun juga mengikat kedua pihak, yaitu masyarakat dan utamanya terhadap pejabat publik penyelenggara negara, karena pejabat publik merupakan sebagai pihak yang diwajibkan oleh konstitusi sebagai pelaksana dan penegakan terhadap undang – undang, sesuai kebutuhan dan tupoksi daripada pelaksanaan sistim – sistim hukum yang berlaku terkait job discription para pejabat menurut amanah jabatan dan konstitusi.
Tindakan hukum yang dilaporkan lalu dituduhkan oleh penyidik lalu menjadi dakwaan, kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Solo terhadap Kedua Terdakwa tersebut, adalah salah karena proses hukum terhadap kedua terdakwa menurut lokasi delikti pada Pasal 84 KUHAP. Bukan kompetensi Pengadilan Negeri Surakarta, dan melanggar Pasal 85 KUHAP. tentang perpindahan kompetensi relatif.
Sehingga PN. Surakarta , Solo, melalui Majelis hakimnya dan JPU. Melakukan proses hukum Terhadap kedua terdakwa , telah terbukti menyimpang dari sistim hukum positif.
Dan sebenar – benarnya perbuatan Para Terdakwa justru melulu merupakan hak hukum mereka selaku WNI, karena dipayungi grund norm atau asas legalitas yang terdapat pada :
Undang – undang UU. No. 9 Tahun 1998, Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Tentang UU. No. 28 Tahun 1999. Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU. No. 39 Tentang Kebebasan HAM. serta UU. No. 14 Tahun 2008. Tentang Keterbukaan Informasi Publik, untuk menjamin hak WNI. yang harus dilayani secara tranparansi oleh Para Pejabat Publik dan kesemuanya hal terkait hak masyarakat untuk mendapatkan prinsip tentang tranparansi itu terakumulasi pada asas good governance sebagai implementasi daripada good governement yang terdapat pada semua sistim hukum pidana dan Hukum Tata Negara, terkecuali tidak ada hanya pada UU. Keperdataan / KUHPer. Atau Burgelijk Wetbook.
Sedangkan payung hukum sebagai hak publik ( hak kedua Terdakwa) hirarkis-nya dalam perbuatannya berasal dari Pancasila sebagai sumber hukum ( staatfundamentalnorm ) sesuai yang tertera pada pembukaan UUD. 1945 lalu turun ke Pasal 28 UUD. 1945, yang isinya menetapkan, ” bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang.”
Lalu Penjabaran asal dsri Pasal 28 UUD. 1945 terdapat pada konsideran di pembukaan atau awalan semua pertimbangan pembentukan undang – undang, serta pada realitanya, didalam setiap sistim perundang undangan yang ada dan berlaku positif, didapatuli pasal-pasalnya tentang ” peran serta masyarakat “, sebagai peran kontrol terhadap setiap sepak terjang individu para penyelenggara negara atau pejabat publik secara keseluruhan dan belaku equal ( terhadap pejabat eksekutif dan legislatif dan yudikatif ), lalu peran serta masyarakat yang dituntut oleh undang tersebut menjadikan tindakan – tindakan yang halal karena beralaskan hak bagi setiap individu maupun kelompok untuk dilaksanakan, bahkan sebagai bentuk kemuliaan karena memiliki wujud sinergitas atau kooperatif terhadap para penegak hukum dalam melaksanakan tupoksi masing- masing, serta konsekuensi logisnya adalah kedua belah pihak ( penyelenggara negara dan masyarakat ) harus mematuhi asas atau prinsip – prinsip tersebut demi pelaksanaan ideal terhadap sistim undang – undang yang wajib mesti dijalankan oleh penyelenggara negara dan masyarakat sebagai pemilik hak kontrol, melalui wujud atau implementasi ; ” penyelenggara harus siap menerima jika dikritisi, diingatkan, atau diprotes ( melalui aksi massa/ unjuk rasa atau demo ) dan atau diberi masukan, serta dimintakan informasi ( sesuai asas tranparansi dan asas akuntabilitas ) ” , bahkan kewajaran secara hukum sekalipun dilaporkan kepada pihak aparatur yang berwenang, dengan digaris bawahi, jika masyarakat memiliki fakta hukum berikut bukti temuan bahwa, ” penyelenggara negara dimaksud melanggar prinsip – prinsip atau asas – asas ” ;
1. Asas kepastian hukum atau legalitas ( rechtmatigheid );
2. Asas kepentingan umum ;
3. Asas keterbukaan publik atau asas tranparansi ;
4. Asas kemanfaatan ( utilitas/ doelmatigheit ) ;
5. Asas ketidakberpihakan/ non diskriminatif,
6. Asas kecermatan ( Prudential principe ) ;
7. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan / Taat hukum atau kridibilitas ;
8. Asas pelayanan yang baik;
9. Asas tertib Hukum dalam penyelenggaraan negara atau Asas akuntabilitas ;
10. Asas proporsionalitas;
11. Asas profesionalitas;
12. Asas keadilan atau gerechtigheid.
Maka putusan terhadap GN. Dan BTM oleh karenanya dengan sendirinya tanpa perlu kupasan mendalam, jika dikomparasi dengan beberapa teori, baik menurut teori ahli hukum Hans Kelsen maupun menurut hans Nawiasky pakar hukum abad modern yang hidup pada abad 18 – 19 M. Telah nyata, bahwa putusan atau vonis yang ada amat tercela, karena selain cacat proses hukum yang mengakibatkan cacat rasa keadilan dan cacat kepastian hukumnya, sehingga tidak berkualitas menurut hukum, dan sepantasnya batal demi hukum oleh juris facti Pengadilan Tingkat Pertama Pengadilan Tinggi Semarang, Jawa Tengah, dan Judex Juris Tingkat Terakhir, Mahkamah Agung.
Selanjutnya, saat ini selain GN dan BTM beserta ummat pencahari keadilan, tinggal menunggu ” rasa keadilan dan kepastian hukum ” yang kelak pada vonis banding dan kasasi, akan ditimpakan terhadap kedua terdakwa, GN. dan BTM, atau sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap ( inkracht ). Yang jelas proses penegakan hukum sesungguhnya mesti due of process, dan vonis mesti akuntabel, objektif, mandiri atau berani menolak intervensi dari jatidiri si pemilik hak, yaitu para hakim sebagai pemutus, sehingga putusan memiliki rasa keadilan serta memiliki berkepastian hukum semua produk berkewajiban mengacu kepada prinsip konstitusi dasar negara RI ( UUD. 1945 ) yaitu harus berdasarkan Pancasila serta berkesesuaian dengan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa serta Nilai – Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Kembali dari sisi kacamata hukum positif proses hukum atau peran hukum yang dijalankan majelis hakim atau para penegak hukum sebelumnya amat bertentangan dengan sistim perundang- undangan atau semua konstitusi yang ada, menyalahi basic norm, atau asas hukum yang tertinggi pancasila, yang akhirnya berakibat fatal atau bertentangan dengan narasumber hukum tertulis lainnya secara hirarkis ( dibawah pancasila dan UUD. 1945 ) jika awalnya memperhatikan rujukan sistim hukum tidak mengacu sumber utama pancasila tepatnya Sila Kedua Pancasila.
Sehingga kwalitas vonis oleh sebab bukan didasari hukum, mungkin hanya didasari adanya intervensi dari pihak yang tidak bertenggung jawab, atau oleh mungkinkah rasa ketakutan diri para majelis hakim, yang khawatir akan kehilangan jabatannya atau setidaknya takut dimutasi oleh penguasa yudikatif
ke daerah yang terpencil
oleh sebab adanya perintah penguasa tinggi negara ?
Atau setelahnya apa mereka akan diendors demi mendapatkan ” kue – kue ” ?
Maka Publik pastinya akan monitoring eksistensi para hakim majelis PN. Surakarta, Solo, setelah vonis dengan berbagai perkembangan lanjutan yang ada pada mereka sebagai sosok – sosok pengadil atau pihak sebagai pemutus hukum yang menggunakan irah – irah yang hakikatnya sewajarnya amat berat di sanubari para hakim serta pertanggung jawabannya dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa di dunia dan kelak di akhirat, irah – irah itu tertera pada judul putusan/ vonis hakim sebagai atas nama Tuhan atau wakil Tuhan di Muka Bumi atau makna yang amat merasuk dihati para pemilik jiwa, oleh sebab kalimat berbunyi ” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ” sesuai kalimat dari Sila pertama Pancasila.
Kemudian selain publik akan me – monitoring para majelis hakim pemutus, tentunya publik pun akan monitoring kelanjutan ” sisi kehidupan” Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, selaku pemberi tugas kepada majelis hakim perkara a quo in casu, perkara Gus Nur dan BTM. Dan hakim pelaksananya sudah memutus pada hari Selasa, 18 April 2023, yang isinya menyatakan bahwa Kedua Orang Terdakwa terbukti bersalah telah melakukan kejahatan atau pelanggaran Pasal 14 ayat 1 UU. RI nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP. Jo pasal 55 ayat 1 KUHP, sesuai dan sebagaimana pasal dakwaan primer tentang perkataan bohong yang menimbulkan keonaran.
Kemudian secara perspektif hukum publik pastinya berharap, juris facti pengadilan tinggi akan memberikan putusan demi memenuhi rasa keadilan. Tidak atau jangan berharap akan mendapatkan hakekat keadilan atau materiele waarheeid.
Jika publik berharap putusan akan adil sesuai materiele waarheeid atau kebenaran sejati, itu tidak mungkin akan didapatkan, karena Gus Nur & Bambang Tri sudah menjalani presumption of Guilt atau praduga bersalah, terbukti Kedua Para Terdakwa sudah menjalani hukuman penjara selama 5 ( lima ) bulan penjara, belum lagi waktu yang akan bergulir saat pemeriksaan di Pengadilan Tinggi Semarang, Jawa Tengah.
Sebagai penutup, hendaknya bangsa yang beriman yang berkesesuaian dengan falsafah ” Ketuhanan Yang Maha Esa ” dan percaya kepada adanya kehidupan kedua atau akhirat, maka kepada Para terdakwa dan semua ummat atau publik baik individu maupun kelompok, termasuk Masyarakat Pemerhati Wajah – Wajah Penegak dan penegakan ( hukum), tentu yakini dan percaya karena faktor iman, semua kita bakal bertemu kelak di Mahkamah Akhirat kepada para pemilik wajah – wajah yang berkerja dan mendapat amanah dari ratusan juta bangsa ini serta pernah bersumpah atas nama Tuhan akan amanah terhadap sumpah dan janji yang pernah mereka ucapkan.