PolitikHukumKajian HukumKajian PolitikPeristiwa

Menurut Saksi Ahli,Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Dinilai Tidak Sesuai Konstitusi

Menurut Saksi Ahli, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Dinilai Tidak Sesuai Konstitusi

Menurut Saksi Ahli,Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Dinilai Tidak Sesuai Konstitusi

 

 

Jakarta, 9 April 2023

 

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (5/4/2023) lalu mengelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), sidang yang di Ruang Sidang Pleno MK tersebut menghadirkan keterangan dua orang saksi yakni Pengajar Hukum Tata Negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STH Indonesia Jentera) Fritz Edward Siregar, dan Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Agus Riewanto.

 

Dalam Sidang pengujian UU Pemilu untuk Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut Fritz Edward Siregar menyampaikan pandangannya.

Fritz Edward Siregar selaku Ahli Pemohon memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Rabu (05/04) di Ruang Sidang MK

Menurut Fritz , Perubahan dalam sebua demokrasi konstitusional adalah bagian dari suatu proses yang sangat penting untuk memastikan perlindungan, dan pemajuan prinsip-prinsip demokrasi yang berkelanjutan. Ketika perubahan dibuat untuk mendukung proses demokrasi, maka perubahan tersebut berkontribusi pada ketahanan sistem demokrasi itu sendiri.

 

Dia melanjutkan,“Selama perubahan ini dilakukan melalui proses yang transparan, inklusif, dan partisipatif yang menghormati norma-norma konstitusional dan nilai-nilai demokrasi, maka perubahan tersebut diperlukan untuk kelangsungan fungsi dan pertumbuhan demokrasi konstitusional kita. Dan perubahan yang saya maksud adalah perubahan dari sistem proporsional terbuka kepada sistem proporsional tertutup.”

Fritz diketahui merupakan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tahun 2017-2022 itu, menjelaskan proses pemungutan suara, dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara adalah proses yang rumit, melelahkan dan sangat berpotensi kepada kesalahan. Proses pemungutan suara di mana harus memilih calon, dengan daftar nama, sangat berpotensi menyebabkan suara tidak sah.

Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu Fritz Edward Siregar diambil sumpahnya untuk memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Rabu (05/04)

 

 

Pada pemilu 2019, jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953, atau setara 11,12%. Proses penghitungan suara juga terkena dampak akibat pilihan sistem proporsional terbuka. Proses penghitungan yang memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar.

Dia memberikan contoh Pada pemilu 2019, jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953, atau setara 11,12%. Proses penghitungan suara juga terkena dampak akibat pilihan sistem proporsional terbuka. Proses penghitungan yang memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar.

Dirinya melanjutkan,Potensi manipulasi suara rentan terjadi pada proses penghitungan suara dalam proses pencatatan pada kolom nama calon atau nama partai. Dalam proses rekapitulasi, persoalan yang sering terjadi TPS pada saat rekapitulasi adalah perpindahan suara dari satu calon kepada calon lain dalam satu partai.

Dalam Pemilu 2019, terdapat sebanyak 69 putusan pengadilan terkait pelanggaran pidana politik uang.

Begitu banyak literatur, baik yang ditulis para ilmuwan dari dalam atau luar negeri, bagaimana politik uang merusak proses pemilu yang sedang terjadi. Dan perubahan melaksanakan pemilu dengan sistem propostional tertutup, menjadi salah satu cara yang efektif untuk menghilangkan politik uang dalam proses pemilu,merupakan Persoalan yang sering terjadi dalam suatu pemilu lanjutnya.

Sementara itu, Agus Riewanto dalam pandanngannya memaparkan, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tidak sesuai kehendak konstitusi. Sehingga patut dinyatakan inkonstitusional.

sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan pelembagaan organisasi partai politik (parpol) di negara demokrasi. Bentuk pelemahan pelembagaan parpol dari bangunan sistem proporsional terbuka, antara lain calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih dalam pemilu tidak berperilaku dan bersikap terpola untuk menghormati lembaga parpol, karena merasa yang menentukan terpilihnya bukan melalui organisasi parpol melainkan berbasis suara terbanyak, kata agus yang memberikan keterangan secara daring tersebut.

Dalam praktik penyelenggaraan Pemilu legislatif tahun 2009, 2014 dan 2019 di Indonesia tidak sesuai kehendak konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, karena peserta pemilu bukan parpol melainkan individu atau caleg. Organisasi Parpol kehilangan perannya secara signifikan dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Karena sistem ini dimaknai dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut yang disiapkan oleh parpol dalam surat suara,ungkap Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta itu.

Dia meneruskan,dalam praktiknya sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini berdampak pada pemilu yang hanya bergantung pada figur atau kandidat (candidate-centered politics). Sehingga pemilih dalam memilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang. Dalam praktiknya kendati Parpol diberi kewenangan melakukan perekrutan caleg dan menempatkan ke dalam nomor urut, namun hanya bersifat formalitas belaka karena caleg yang ada di nomor urut tersebut tidak secara otomatis dapat terpilih dalam Pemilu.

sistem pemilu proporsional terbuka ini telah mendorong parpol untuk berlomba-lomba merekrut caleg yang memiliki modal dana yang besar dan popular agar dipilih oleh pemilih bukan merekrut caleg berdasarkan pada ikatan ideologi dan struktur partai politik, dan memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya saat caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili dirinya sendiri, menurut agus sebagaimana dikutip dari halaman resmi https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19079&menu=2

 

Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka telah menjadi penyebab utama mengapa caleg memiliki sikap yang tak loyal pada organisasi parpol, karena caleg merasa parpol hanya kendaraan dan yang menentukan keterpilihannya adalah pemilih bukan organisasi parpol. Akibatnya berdampak pada krisis kewibawaan organisasi parpol. Melemahkan partisipasi masyarakat untuk menjadi pengurus partai politik. Akibatnya partai politik tidak menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang bersifat ideologis dan organ pengkaderan calon pemimpin politik, tutup pria yang akrab dipanggil Agus itu.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button